Kebangkitan Nasional 1908, yang dimotori oleh kaum terpelajar di Batavia, adalah tonggak awal tumbuhnya kesadaran pribumi Indonesia terhadap hak-hak sipil, nasionalisme dan kemerdekaan bangsanya.
Kebangkitan semangat kebangsaan itu tumbuh dan dimotori oleh para mahasiswa sekolah kedokteran di Stovia dengan tokoh utamanya dr. Wahidin Soedirohoesodo. Mereka, para mahasiswa kedokteran itu mendirikan perkumpulan yang kemudian dikenal dalam sejarah dengan sebutan Boedi Oetomo.
Kini, setelah satu abad lebih, semangat Kebangkitan Nasional itu rupanya masih harus terus digemakan. Bukan karena bangsa ini sudah mulai melupakan spirit sejarah kebangsaan tersebut, tapi karena banyak anak bangsa yang tampaknya saat ini tak peduli dengan catatan penting tentang awal mula tumbuhnya nasionalisme Indonesia tersebut.
Didorong atas fakta itulah, aktivis Tionghoa yang juga koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak), belum lama ini menemui seniman/ budayawan Setiawan Djodi yang adalah cicit dari dr. Wahidin Soedirohoesodo motor pendiri Boedi Oetomo tersebut.
Dalam pertemuan itu, Setiawan Djodi yang lahir pada 13 Maret 1949, selain menceritakan asal usul dan garis keturunan silsilahnya hingga sampai pada dr. Wahidin, juga banyak bercerita tentang berbagai aktivitasnya yang disemangati oleh sepak terjang dr. Wahidin yang merupakan kakek buyutnya itu.
Pentolan grup musik Kantata Takwa dan Swami, serta pengusaha sukses Grup Setdco yang antara lain membidangi usaha perminyakan dan perkapalan ini merupakan lulusan Universitas Wharton dan Universitas California untuk bidang Filsafat.
Menurut Lieus, Setiawan Djodi yang bernama lengkap Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Salahuddin Setiawan Djodi Nur Hadiningrat adalah sosok penting dalam sejumlah gerakan kesenian dan kebudayaan Indonesia pra reformasi 1998. Bersama WS Rendra, Iwan Fals, Sawung Jabo, yocky Suryaprayogo dan lain-lain, Djodi menjadi motor penggerak perubahan tidak hanya di bidang selera musik, tapi juga terhadap apresiasi anak-anak muda terhadap politik. Lagu-lagunya yang sarat kritik sosial, membuat Djodi, seperti diakuinya, sering dipanggil pak LB Moerdani yang waktu itu adalah tokoh kepercayaan Presiden Soeharto.
Djody mulai merintis karirnya sebagai seorang pengusaha saat ia menimba ilmu di Amerika Serikat. Di sana ia berkenalan dengan salah seorang anggota keluarga raja minyak Rockefeller. Dari perkenalan itu ia banyak mempelajari strategi bisnis. Awal tahun 70-an, saat menginjakkan kaki kembali di tanah air, Djody pun menerapkan ilmu yang telah didapatnya dengan mengembangkan bisnis perminyakan dan properti.
Namun pada pertengahan Juni 2009 Djodi jatuh sakit dan harus menjalani transplantasi liver dari putrinya sendiri. Transpalansi berlangsung di Singapura. Setelah operasi, Djodi mengaku mendapat kesempatan hidup kedua dan berusaha untuk menjalani hidup dengan lebih baik.
Memiliki garis keturunan seorang pahlawan, Djodi mengaku semangat sang leluhur itulah menular kepadanya. “Saya menemukan prinsip mengenai nasionalisme dari kisah mengenai kakek buyut saya,” ujarnya.
Menurut Djodi, meski kenangannya dengan sang buyut terlalu jauh, tapi ia mendapat inspirasi dari perjuangan buyutnya itu sehingga menjadi sumber prinsip manifesto nasionalisme yang bertumbuh mengalir terus dalam dirinya dari masa ke masa.
“Dari era dokter Wahidin Soedirohoesodo sampai bung Karno, pak Harto dan saat ini, kenangan atas spirit itu memang sangat jauh. Tapi jarak masa itu ternyata bukan halangan bagi kita untuk menumbuhkembangkan spirit kebangsaan itu saat ini dan di masa datang,” ujar Lieus.
Dalam konteks membangkitkan kembali semangat nasionalisme dr. Wahidin Soedirohoesodo dkk itu pula Lieus berharap peringatan 115 Tahun Kebangkitan Nasional 2023 nanti bisa dilaksanakan bersama dengan melibatkan para tokoh bangsa. Peringatan itu diharapkan menjadi kegiatan besar yang mempersatukan semua elemen bangsa bagi Kebangkitan Nasional Indonesia di masa-masa yang akan datang.
“Apa bentuk dari kegiatan tersebut, tunggu saja. Yang pasti kita berharap kegiatan itu bisa menarik kembali minat generasi milenial untuk memahami sejarah bangsanya,” ujar Lieus.