Oleh: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
I. Prolog
Tulisan ini sebagian besar diambil dari keterangan tertulis penulis sebagai Ahli Teori Hukum Pidana guna kepentingan pemeriksaan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, pada perkara Ustadz Farid Ahmad Okhbah, Ustadz Zain An-Najah dan Ustadz Anung Al-Hamat. Ketiganya didakwa dengan Pasal 15 Jo Pasal 7 atau Pasal 13 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (untuk selanjutnya cukup disebut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme).
Penuntut Umum kemudian menuntut ketiganya dengan mengacu pada dakwaan Pasal 13 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan tuntutan 3 (tiga) tahun penjara. Pada akhirnya Majelis Hakim mengabulkan tuntutan Penuntut Umum.
II. Analisis Putusan Pengadilan
Pasal 13 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menyatakan sebagai berikut: “Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.”
Ketentuan Pasal 13 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menegaskan adanya perbuatan dengan unsur memberikan “bantuan” atau “kemudahan” terhadap pelaku tindak pidana terorisme dengan cara “menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme”. Dalam penjelasannya disebutkan yang dimaksud dengan “bantuan” adalah tindakan memberikan bantuan baik sebelum maupun pada saat tindak pidana dilakukan. Adapun yang dimaksud dengan “kemudahan” adalah tindakan memberikan bantuan setelah tindak pidana dilakukan.
Konstruksi Pasal 13 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menentukan bahwa adanya 2 (dua) jenis tindak pidana, yaitu setiap orang yang “dengan sengaja” memberikan bantuan dan memberikan kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Jika diperbandingkan mengenai cara pemberian kemudahan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 56 KUHP sebagai berikut: Dipidana sebagai pembantu kejahatan: (1) mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; (2) mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Menjadi pertanyaan penting terkait dengan pemenuhan unsur Pasal 13 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yakni kesengajaan yang bagaimana yang dimaksudkan oleh Penuntut Umum dan Majelis Hakim? Dalam membuktikan kesengajaan sebagai tanda konkrit kesalahan (mens rea), maka harus diuraikan secara konstruktif dengan pendekatan kausalitas atas perbuatan yang dilakukan. Kesalahan atas perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dibuktikan. Pembuktian tidak hanya dengan keyakinan Hakim belaka, akan tetapi harus juga berdasarkan minimal dua alat bukti yang telah diuji di persidangan. Terkait dengan itu berbagai fakta yang terungkap dipersidangan harus pula dipertimbangkan guna menjadi petunjuk bagi Majelis Hakim. Demikian itu diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”
Untuk menentukan adanya kesalahan seseorang, maka harus memenuhi beberapa unsur, salah satunya adalah adanya hubungan batin antara si pembuat (mens rea) dengan perbuatannya (actus reus) yang berupa kesengajaan (dolus/culpa). Mengenai hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya, keinginan/kehendak dalam melakukan suatu perbuatan pidana muncul dari keadaan batin pembuat delik yang kemudian pikirannya mengarahkan dirinya untuk melakukan perbuatan tersebut atau tidak. Disini kesengajaan berkedudukan sebagai tanda konkrit adanya kesalahan. Kesengajaan seseorang merupakan inti perbuatan (animus homis est anima scripti). Dengan demikian, dasar kesalahan yang harus dicari dalam psikis orang yang melakukan perbuatan itu dengan menyelidiki bagaimana hubungan batinnya itu dengan apa yang telah diperbuat.
Dalam kesengajaan mengandung 3 (tiga) gradasi yakni, kesengajaan sebagai maksud atau tujuan (opzet als oogmerk), kesengajaan sebagai kepastian atau keharusan (opzet bij noodzakelijkheids of zekerheidsbewustzijn), dan kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet met waarschijnlijkheidsbewustzijn). Ketiga sikap batin tersebut bersifat alternatif yang harus dikonfirmasi dengan perbuatan konkrit yang terjadi. Fakta dipersidangan menunjukkan ketidakmampuan Penuntut Umum membuktikan hal tersebut. Dalam putusan Pengadilan, penulis tidak menemukan uraian pemenuhan unsur kesengajaan sebagaimana yang dimaksudkan. Kedudukan kesengajaan merupakan bagian inti delik (bestandeel delict) yang secara tegas tercantum dalam rumusan delik.
Patut dicatat menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme merupakan informasi yang bersifat rahasia terkait dengan tindak pidana terorisme. Sifat kerahasiaan itu menunjuk pada adanya tindak pidana terorisme yang terjadi. Dengan demikian harus ada tindak pidana terorisme yang terjadi sebelumnya. Fakta menunjukkan tidak pernah ada tindak pidana terorisme yang terkait dengan peranan ketiga terdakwa. Tidak dapat dikatakan menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme, apabila tidak dapat dibuktikan adanya keterhubungan antara sesesorang yang memberikan “bantuan” atau “kemudahan” dengan pelaku tindak pidana terorisme dan terjadinya tindak pidana terorisme. Lebih lanjut dipertanyakan pemenuhan unsur “memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme”. Disini kepada siapa bantuan atau kemudahan itu diberikan? Demikian jelas delik ini menentukan harus adanya pelaku tindak pidana terorisme.
Kemudian, menurut keterangan dari Tim Penasehat Hukum bahwa Penuntut Umum dalam persidangan selalu mendalilkan adanya penyertaan, namun dakwaan tidak menyebutkannya. Delik penyertaan (deelneming aan strafbare feiten) sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP adalah perluasan pertanggungjawaban pidana. Dengan demikian, penyertaan bukan dimaksudkan sebagai perluasan tindak pidana. Pada delik penyertaan, antara satu peserta dengan peserta yang lainnya adalah satu kesatuan.
Dilihat dari pendekatan melawan hukum, maka delik penyertaan terdapat dua bentuk kesengajaan dalam penyertaan. Pertama, adalah elemen melawan hukum subjektif (subjective onrechtselement) berupa sikap batin (mens rea) diantara para pelaku. Disini terjadi kesengajaan untuk mengadakan kerjasama dalam rangka mewujudkan suatu delik. Kedua, adalah elemen melawan hukum objektif (objective onrechtselement). Terjadinya delik merupakan wujud kerjasama yang nyata. Jika salah satu hal tersebut tidak terpenuhi, maka tidak ada perbuatan turut serta, meskipun perbuatan pidana terjadi. Kerjasama melakukan merupakan inti perbuatan. Tidak mungkin delik terwujud tanpa adanya kerja sama dan pemufakatan diantara mereka.
Kerjasama mewujudkan kehendak menunjuk adanya kesengajaan sebagai tanda adanya kesalahan. Pada akhirnya harus dibuktikan adanya kesengajaan kerjasama oleh para pihak dalam penyertaan mewujudkan terjadinya tindak pidana. Hal ini dikenal dengan “kesengajaan ganda” (double opzet). Pada kesengajaaan pertama ditujukan pada adanya kerjasama. Dalam delik penyertaan harus tampak adanya suatu kerjasama kehendak dalam mewujudkan delik. Dikatakan demikian oleh karena kerjasama melakukan merupakan inti perbuatan. Tidak mungkin delik terwujud tanpa adanya kerja sama diantara mereka. Disini pelaku yang terlibat memiliki kehendak dan pengetahuan (willens en wetens) dalam kerjasama tersebut. Pada kesengajaan kedua ditujukan kepada objek perbuatannya, pada masing-masing pelaku memiliki kehendak dan pengetahuan terhadap keterlibatannya guna mewujudkan tindak pidana. Kerjasama dalam penyertaan demikian penting guna menentukan pertanggungjawaban pidana.
Sepertinya Penuntut Umum tidak menggunakan dakwaan Pasal 15 Jo Pasal 7 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai dasar tuntutannya sebab terkendala dengan ketentuan Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP yang notabene tidak ada dalam dakwaan. Oleh karena itu digunakan dakwaan Pasal 13 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sebagai catatan, Pasal tersebut juga digunakan pada perkara Munarman. Namun, Penuntut Umum tidak memahami bahwa perihal memberikan “bantuan” atau “kemudahan” kepada pelaku tindak pidana terorisme berhubungan dengan pemufakatan jahat (dolus premeditatus) diantara para pihak. Disini terdapat perjumpaan kehendak dan oleh karena itu jenis kesengajaannya bercorak dengan maksud (als oogmerk). Perihal tempat (locus) dan waktu (tempus) terjadinya pemufakatan jahat harus dipastikan. Termasuk terhadap hal-hal apa yang menjadi permufakatan jahat diantara mereka. Hal ini harus diungkapkan di persidangan bahwa memang ada pemufakatan jahat sebagaimana dimaksudkan. Dengan demikian, harus pula ada saksi yang melihat, mendengar dan mengalami secara langsung terjadinya pemufakatan jahat. Lagi lagi, penulis tidak menemukan hal tersebut dalam putusan Pengadilan. Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, tidak ada saksi terkait pemufakatan jahat tersebut.
III. Epilog
Semenjak awal perkara ini diproses banyak terjadi keganjilan. Kesemuanya itu berujung pada dakwaan Penuntut Umum yang tidak mencerminkan pemenuhan unsur, baik unsur objektif maupun unsur subjektif. Putusan Pengadilan hanya sepihak membenarkan tuntutan Penuntut Umum, namun meninggalkan tegaknya hukum dan keadilan.
Hakim minus dissenting opinion tidak mengedepankan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Adanya hakim yang menyatakan dissenting opinion memperkuat argumentasi penulis.
Terakhir disampaikan, diperlukan kajian khusus terhadap Pasal 13 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk kemudian dilakukan judicial review pada Mahkamah Konstitusi. Pasal tersebut demikian bias dan rawan menjadi alat kriminalisasi.
Jakarta, 20 Desember 2022.