Pengesahan RKHUP menjadi undang-undang (UU) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menandakan Indonesia memasuki era tirani dan pembungkaman suara rakyat.
“Selamat datang era pembungkaman, era tirani yang makin represif. Penjajahan baru, bukan oleh Belanda, tapi rakyat dijajah oleh bangsanya sendir,” kata Ketua Umum LBH Lex Sharia Pacta Sunt Servanda (LESPASS) Ahmad Khozinudin kepada redaksi www.suaranasional.com, Selasa (6/12/2022).
Mahkamah Konstitusi (MK) kemungkinan besar akan menolak Judicial Review (JR) KUHP sebagaimana UU IKN. “Yang tidak sependapat silahkan ke MK. Sesampainya di MK, nantinya MK menyatakan rakyat tidak memiliki legal standing. Lalu maunya apa?” tanya Khozinudin.
Ketentuan pidana dalam pasal 218 RKUHP yang mengatur tentang penghinaan terhadap Presiden. Solusinya sederhana: Hapus pasal ini.
“Juga soal Pasal penghinaan lembaga Negara. Solusinya ya cukup menghapus ketentuan Pasal 349. Kritik kriminalisasi dan pembungkaman demonstrasi, solusinya tinggal menghapus Pasal 256,” paparnya.
Belum lagi Pidana penyebaran paham yang bertentangan dengan Pancasila, yang diatur dalam Pasal 188 ayat (1):
“Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.”
“Pasal 188 ayat 1 ini sangat subjektif. Tafsirnya akan sangat tergantung kehendak kekuasaan. Kalau ditanya apa solusinya? ya hapus saja, atau buat norma pasal yang lebih limitatif,” paparnya.
Selain itu, Khozinudin mengatakan, Pemerintah dan DPR digaji untuk melahirkan solusi. Bukan malah menambah masalah dan beban rakyat.
Sebut saja, ketika Pemerintah dan DPR melegislasi UU Cipta Kerja, UU Minerba hingga UU KPK, bukannya menjadi solusi malah menjadi masalah bagi rakyat. UU tersebut ditolak bahkan memakan korban rakyat (pendemo).
“Rakyat fokus mengkritik, karena UU tersebut akan diterapkan kepada rakyat. Rakyat adalah objek penerapan UU, sehingga rakyat berhak mengkritik,” pungkasnya.