Indonesia Perlu Belajar Kepada Pangeran Sambernyawa, Membangun Eksistensi di Tengah Turbulensi

Oleh: Jlitheng Suparman

13 Pebruari 1755 konon Perjanjian Giyanti ditandatangani oleh Pangeran Mangkubumi dan Nicolaas Hartingh. Secara sah kekuasaan dan wilayah kerajaan dinasti Mataram dibagi dua, menjadi Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi kemudian membangun kerajaan Yogyakarta dan bergelar Sultan Hamengkubuwono I.

Perjanjian Giyanti menjadi peristiwa penting yang mempertegas posisi Pangeran Sambernyawa, bahwa dia kini harus berhadapan dengan tiga lawan sekaligus: VOC, Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta. Mengingat orientasi Perjanjian Giyanti adalah VOC berupaya mengendalikan dua kekuatan yang saling berseberangan, Mangkubumi dan Pakubuwono III, guna disatukan dengan target menghancurkan perlawanan Pangeran Sambernyawa.

Singkat kata, Sambernyawa yang oleh M.C. Ricklefs disebut sebagai “Pangeran Jawa yang berapi-api” mampu memperlihatkan kehebatannya. Pasukan koalisi tiga kekuatan besar itu dibuat kalangkabut mengalami banyak kekalahan dalam menghadapi gerilya Sambernyawa. Dampak tak kalah berat adalah VOC hampir mengalami kebangkrutan ekonomi gegara membiayai perang.

Koalisi politik pada hematnya merupakan persenyawaan semu. Sebagaimana Hartingh, Hamengkubuwono I dan Pakubowono III, merupakan koalisi saling mengintip. VOC berkepentingan menjaga hegemoninya atas dua kerajaan Jawa tersebut. Pakubuwono III dan Hamengkubuwono I masing-masing memendam target menjadi penguasa tunggal kerajaan dinasti Mataram. Dalam situasi ini Pakubuwono III yang masih muda usia 23 tahun, belum banyak pengalaman, pihak yang paling lemah dan paling cemas.

Kelemahan dan kecemasan raja muda Surakarta itu terbaca jelas oleh Nicolaas Hartingh. Manuver kembali dimainkan oleh Gubernur VOC di Semarang itu. Pakubuwono III didorong agar minta perlindungan kepada kakak sepupunya, yang tiada lain Pangeran Sambernyawa, dari ancaman penyatuan dua kerajaan oleh Hamengkubuwono I.

Pangeran Sambernyawa yang sesungguhnya memang sudah dalam keletihan 16 tahun gerilya tanpa henti, permintaan adik sepupunya dibaca sebagai peluang pergerseran ruang perjuangan. Dari perjuangan militer bergeser ke perjuangan politik.

Pangeran Sambernyawa menyanggupi permintaan adik sepupunya, Pakubuwono III. Pangeran Sambernyawa kemudian diangkat menjadi Pangeran miji yang artinya memiliki kedudukan istimewa, dan diberi sejumlah otoritas sebagaimana termaktub dalam Perjanjian Salatiga, 12 Maret 1757. Pangeran miji bersifat semi independen, punya sejumlah otoritas namun masih ada kewajiban baginya sowan ‘menghadap’ ke raja Surakarta.

Perjanjian Salatiga, momentum bagi Pangeran Sambernyawa yang kemudian bergelar KGPAA Mangkunegoro I, untuk mengawali perjuangan politik. Diplomasi untuk memperluas wilayah kekuasaan, intrik politik yang kadang meletup perang militer terbatas, dan banyak liku permainan politik yang dijalani, yang kesemuanya bermuara menempatkan Mangkunegoro I sebagai aktor baru turut menentukan percaturan politik di Jawa.

RM Said, Pangeran Sambernyawa, atau Mangkunegoro I dapat disebut sebagai salah satu sosok fenomenal dalam sejarah perpolitikan Jawa, bahkan Nusantara. Keberhasilannya membangun Kadipaten Mangkunegaran atau Pura Mangkunegaran bukanlah sejarah biasa melainkan sejarah kepemimpinan yang fenomenal. Seorang pangeran remaja yang melarikan diri dari istana hanya didampingi dua orang teman, kemudian tampil menjadi pejuang militer dan pemimpin politik yang Tangguh.

Berdirinya Pura Mangkunegaran dapat dimaknai sebuah eksitensi baru yang terlahir dari turbulensi atau kekacauan besar ranah politik, ekonomi dan militer. Mangkunegoro I mengisi kekosongan keaktoran politik berprestasi sekurang-kurangnya sepanjang sejarah dinasti Mataram Islam. Penguasa kecil di ruang kekuasaan relatif terbatas namun justru memegang peran kunci di percaturan politik Jawa di masanya. VOC, Pakubuwono, Hamengkubuwono semua segan, jika agak berlebihan dikata takut, terhadap Mangkunegoro “Pangeran Sambernyawa”.

Fenomena sejarah “membangun eksistensi baru di tengah turbulensi politik-ekonomi-militer” dari Pangeran Sambernyawa tersebut semestinya menjadi bahan pelajaran penting bagi Indonesia saat ini. Turbulensi politik dan ekonomi global yang berlangsung saat ini boleh dibilang seperti dejavu kondisi masa perjuangan Pangeran Sambernyawa.

Saat ini ada tiga aktor yang menjadi pusat gravitasi geopolitik dunia: rejim kapitalis global, rejim Amerika dan Rejim China. Rejim kapitalis global sesungguhnya merupakan “VOC” di balik kompetisi, rivalitas, perang dingin antara dua negara yang tengah berpacu bertengger di posisi adikuasa. Sementara posisi Indonesia saat ini sebatas obyek incaran dari kepentingan ketiga aktor global tersebut.

Sesungguhnya Indonesia potensial membalik keadaan, dari posisi obyek menjadi subyek. Turbulensi global saat ini telah berdampak “VOC global” mengalami guncangan oleh karena koreksi sistem ekonomi dunia dampak revolusi industri 4.0. Amerika juga mengalami krisis ekonomi dan menjadi makin berat karena tak bisa menunda upaya menahan laju kemajuan China. Meskipun China sendiri juga mengalami krisis ekonomi bahkan mulai ada gejala krisis politik.

Turbulensi politik dan ekonomi global tersebut oleh Indonesia mesti dilihat dan diletakkan sebagai momentum untuk melepaskan diri dari hegemoni kapitalisme global sekaligus bangkit memperkokoh eksistensi sebagai negara berdaulat. Indonesia harus dapat tampil menjadi “Pangeran Sambernyawa” membangun eksistensi baru. Potensi geografis dan posisi geostrategis Indonesia semestinya dapat dijadikan tiket naik ke atas panggung menjadi aktor penting penentu permainan geopolitik dunia.

Ketika Soekarno bermimpi Indonesia menjadi mercusuar dunia, bukanlah angan ngayawara ‘ngelantur’. Potensi geografis dan posisi geostrategis Indonesia itulah dasar keyakinan mimpi sang proklamator. Keyakinan yang semestinya dielaborasi oleh generasi penerus, bukan malah diporak-porandakan karena tak tahan godaan ambisi kekuasaan dan keserakahan hingga tega menggadaikan rakyat dan negaranya.

Indonesia harus menjadi Pangeran Sambernyawa melangkah menyiasati kolapsnya “VOC global” berikut proxy kapitalisme Amerika dan China. Kuncinya adalah Indonesia harus memiliki pemimpin disertai rejim yang siap tempur bukan siap nempur (shoping).

Siap menjalani prinsip perjuangan Pangeran Sambernyawa yang disebut “tiji tibeh, mati siji mati kabeh mukti siji mukti kabeh” (mati satu mati semua, mukti satu mukti semua). Prisinsip yang menekankan jiwa senasib sepenanggungan, yang juga oleh Pangeran Sambernyawa dikatakan hanebu sauyun kalamun keleban banyu tan ana kang pinilih (bak serumpun tebu yang ketika tergenang air tak ada satu batang pun dapat terhindar).

Jangan seperti sekarang “tiji tibeh, mukti siji liyane mati kabeh” (hanya segelintir yang sejahtera, yang lain mati semua). Bahkan untuk menyelamatkan kekuasaan dan kepentingan segelintir orang sedemikian tega memecah belah, mengkriminalisasi, hingga membantai bangsa sendiri.

Ajaran Tridarma dari Pangeran Sambernyawa juga sangat penting dicatat: rumangsa melu handarbeni, wajib melu hangrungkebi, mulat sarira hangrasa wani (merasa ikut memiliki, sadar berkewajiban turut membela, mawas diri sebagai bekal mengukur keberanian untuk melangkah). Ajaran ini jika dikupas sangat luas dan dalam. Sebuah sikap batin yang benar-benar menuntun orang untuk bersatu dan bersama-sama meniti garis perjuangan.

Indonesia harus mampu menjadi Pura Mangkunegaran. Tapi maaf, bukan Pura Mangkunegaran yang sekarang lho ya, melainkan Pura Mangkunegaran era Pangeran Sambernyawa. Mengingat Pura Mangkunegaran yang sekarang kayaknya hanya akan membangun eksistensi sebagai gedung persewaan untuk resepsi pernikahan dan pariwisata.

Membangun ekstensi baru Indonesia merupakan pekerjaan maha berat. Beban kerja yang mustahil dipercayakan kepada kepemimpinan maupun rejim saat ini. Indonesia perlu perubahan radikal. Untuk itu Indonesia butuh lapis sosial baru dan kepemimpinan baru yang benar-benar punya hayatan sejarah masa lalu sekaligus memiliki visi masa depan.

Lapis sosial baru yang benar-benar berbeda dengan saat sekarang yang tak paham masa lalu sakaligus buta masa depan. Lapis sosial lama hanya tahu bagaimana sekarang berkuasa, sekarang kaya raya, sekarang berbuat seenaknya, tak peduli kepentingan rakyat dan negara merana.

Sebagai wong Jawa ataupun wong Nuswantara sudah terbiasa dengan hal mitis atau irasional. Yang perlu dicatat bahwa irasional belum tentu tidak faktual. Berburu Satria Piningit, Ratu Adil, kayaknya terlalu abstrak. Sebaiknya sekarang berburu “Pangeran Sambernyawa” saja yang lebih konkrit.

Belakangan berkembang kabar bisik-bisik adanya sosok trah Mataram dari jalur Mangkunegaran yang akan memimpin perubahan. Namanya memang belum muncul ke permukaan namun konon telah mempersiapkan diri untuk tampil memimpin membangun eksitensi baru Indonesia. Dan konon sosok itu diyakini tulen “darah” Pangeran Sambernyawa, bukan Pangeran Samberyatra ( yatra= arta= uang ).

Salam Nusantara Bangkit

Simak berita dan artikel lainnya di Google News