Budayawan Solo: Jokowi Mempertontonkan Perilaku Arogansi Penguasa

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperlihatkan perilaku arogansi penguasa yang mengadakan ngunduh mantu di Pura Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah.

“Kenekatan penyelenggaraan ngundhuh mantu di Pura Mangkunegaran hanya akan mempertontonkan perilaku arogansi penguasa,” kata Budayawan Solo, Jlitheng Suparman dalam artikel berjudul “Pura Mangkunegaran, Istana Bukan untuk Nikahan”

Kata Jliteng, Jokowi merasa sebagai penguasa di Indonesia sehingga bisa berbuat semaunya termasuk menggunakan Mangkunegaran untuk ngunduh mantu.

“Dumeh Presiden, dumeh Mangkunegoro, lantas dapat berbuat seenaknya tanpa peduli norma etika. Tindakan tersebut juga dapat dikategorikan pelecehan budaya,” paparnya.

Jliteng mengatakan, Jokowi sebagai orang Jawa dari Solo harus menghormati Pura Mangkunegaran dengan tidak memakai untuk ngunduh mantu.

“Bagaimana pun Pura Mangkunegaran sebagai sebuah representasi jejak peradaban berstatus Kerajaan keberadaannya beserta struktur nilai yang terdapat di dalamnya, tetap harus dihormati,” jelasnya.

Pura Mangkunegaran secara kesejarahan juga merupakan sebuah kerajaan. Pendhapa Ageng Mangkunegaran statusnya sama dengan Pendhapa Ageng Sasana Sewaka Keraton Surakarta maupun Yogyakarta, yakni sebagai Istana.

“Sama dengan Istana Merdeka di Indonesia sekarang. Istana itu bukan tempat tinggal maupun milik pribadi. Istana merupakan kantor, tempat kerja, ruang kerja resmi Raja ataupun Presiden. Statusnya sebagai asset negara bukan hak milik privat,” jelasnya.

Sesuai statusnya sebagai Istana, sudah tentu pemanfaatannya hanya untuk kegiatan resmi kenegaraan. Kegiatan-kegiatan pribadi sebenarnya tidak bisa diselenggarakan di situ. Sejauh pengetahuan belum pernah terjadi Istana dipakai untuk resepsi mantenan. Kalau pun memang pernah terjadi berarti pemegang otoritas bersangkutan tak mengerti atau sengaja menyalahgunakan otoritasnya.

“Pura Mangkunegaran, Keraton Surakarta, Keraton Yogyakarta, dan keraton-keraton setara lainnya di Indonesia sekarang ini memang sudah tidak lagi memiliki otoritas politik. Keberadaannya sebatas institusi (cagar) budaya. Sebagai sebuah cagar budaya terdapat nilai-nilai yang mesti dijaga supaya eksistensinya sebagai representasi jejak peradaban tetap lengkap,” pungkasnya.

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News