Rakyat Berjuang Sendiri? Hasilnya buat kekuasaan Partai?

Oleh : Memet Hakim *)

GNPR (Gerakan Nasional Pembela Rakyat) gabungan ratusan ormas dan relawan yang dimotori oleh PA 212 dan GNPF sudah beberapa kali unjuk rasa ke istana. Dengan tiga tuntutan; Turunkan harga BBM, Turun harga lainnya dan Tegakkan supremasi hukum. Tidak digubris oleh pemerintah.

Terakhir pada unras 411 GNPR merubah tuntutannya menjadi tunggal yakni; Turunkan Jokowi. Pada kegiatan tersebut Buruh dan Mahasiswa juga turut serta dengan tuntutan tunggal yang seragam Turunkan Jokowi.

Presiden Jokowi dinilai sebagai sumber ketidak beresan di negeri ini, banyak “bohongnya”. The King of The Lip Service” menurut BEM UI. Tiga tuntutan GNPR agar harga-harga diturunkan dan tegakan supremasi hukum dengan dinaikannya harga BBM telah membuat kemiskinan dan penderitaan rakyat bertambah, PHK dimana-mana akibat kebijakan yang salah.

Melalui beberapa kali unras GNPR yang didukung oleh masyarakat sama sekali tidak digubris penguasa. Sehingga tuntutan mundur kepada Presiden Jokowi sangat lah wajar.

Aksi GNPR memang mewakili kebanyakan rakyat, mereka berjuang menyuarakan ketidak adilan karena DPR sebagai parlemen wakil rakyat sudah tidak bisa diharapkan. Fraksi di DPRD dan DPR-RI bersikap “membebek” dan “berdiam diri” membiarkan rakyat semakin miskin dan bergerak sendiri. Mereka Partai Politik asyik masyuk dengan mainannya sendiri.

Alangkah tidak terpuji dan tidak bermartabatnya sikap tersebut. Partai hanya mengambil untung dari penderitaaan rakyat. Mereka sangat pragmatis. Prinsip usaha dari peluang kekuasaan mencari untung sebesar mungkin dengan modal dan resiko sekecil mungkin. Partai telah bergeser dan tidak lebih hanya alat kekuasaan semata.

Baca juga:  Hanya Ada Visi dan Misi Presiden, Politikus Golkar: Ada Menteri Minta Penundaan Pemilu Artinya...

Sementara para aktivis, ulama, tokoh yang kritis menyuarakan penderitaan rakyat mereka biarkan dikriminalisasi oleh penguasa, dituduh radikal, intoleransi, bahkan dituduh teroris ditangkap dengan alasan yang semena-mena.

Para buzzer sewaan para penguasa menyerang para aktivis dan tokoh kritis dengan sebutan Kadrun dan memaki-maki dengan kosa kata binatang. Sudah tidak peduli penderitaan rakyat masih saja menyerang yang berjuang untuk rakyat.

Partai dan elit politik hanya mampu membuat baliho, menyebar spanduk bendera dimana mana, menyebar bantuan dengan bungkus kampanye terselubung. Mendekat Pemilu mereka rajin berkunjung ke Pesantren.

Tiba tiba tampak soleh dan solehah bersarung, berkopiah, berkerudung. identitas Islam mereka pakai dengan murah. Sebaliknya mereka juga menyatakan jangan, ada politik identitas. Munafik lebih tepat untuk label mereka.

Penulis menyakini memang tidak semua elit politik, sebagian mereka yang lurus hanya terikat dengan sistim fraksi. Namun jika saja ada yang cerdik dan berani “mendukung” gerakan rakyat memperjuangkan aspirasinya baik secara personal maupun partai atau sayap partai, mereka akan mendulang simpati dan suara rakyat. Disinilah seharus partai pro rakyat berada, berjuang bersama rakyat.

Dulu jaman memperjuangkan “kemerdekaan” rakyat yang dipimpin oleh para ulama berjuang, bersimbah darah dan berkorban harta “melawan kekuasaan” para penjajah Belanda. Sekarang melalui sistem demokrasi kriminal, jual beli jabatan. Partai yang full berdaulat. Berkoalisi mendukung penguasa untuk mendapatkan kue kekuasaan, melupakan rakyat yang memilihnya.

Baca juga:  Kajian Politik Merah Putih: Kemarahan Rakyat akan Menyasar ke Jokowi

Sekarang dijaman “mengisi kemerdekaan” rakyat yang “miskin dan menderita“ karena dijajah bangsa sendiri. Siapa yang memperjuangkan? Partai?. Rakyat yang berunjuk rasa dipimpin oleh Ulama melalui GNPR bergerak turun ke jalan. Tanpa dukungan partai. Tapi jika berhasil seperti dulu Proklamasi kemerdekaan. Setelah itu partailah yang rebutan kekuasaan. Akankah pola ini terjadi lagi ?

Teringat tahun 1965 di Jawa Barat, bagaimana pasukan baret hijau dari Kodam Siliwangi mengawal rakyat, mahasiswa dan siswa yang demo Tritura dan membubarkan PKI. Begitu juga terjadi didaerah lain. TNI masih bersama rakyat. Bukan dalam arti slogan. Sekarang bisakah terjadi.

Rakyat yang telah dibelah oleh kekuasaan, saat ini kembali bersuara dan ingin merdeka lagi tanpa bantuan partai atau TNI. Sejarah yang akan berbicara kelak, apakah partai dan TNI akan berjalan masing-masing atau bersama rakyat.

Bandung, 21 November 2022
*) Dr. Ir. Memet Hakim, Alumnus UNPAD, Pengamat Sosial, Ketua Umum APIB