(Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle)
Dalam Crux Channel, YouTube, pertemuan bilateral US-China yang diupload beberapa jam lalu, Biden menyampaikan kepada Xi Jin Ping bahwa dia ingin memastikan kedua negara itu mampu memenej perbedaan dan memelihara kompetisi untuk tidak menjadi konflik dan bersama dalam menyelesaikan isu global. Ketika masuk pada isu global, Biden menekankan dua hal yakni soal perubahan iklim dan “food security”. Xi dalam responnya setuju dengan perlunya komunikasi yang baik diantara kedua negara itu, namun tidak merespon isu kritis perubahan iklim dan kelangkaan pangan. Xi malah menekankan isu stabilitas dan keamanan dunia.
Pertemuan kedua pimpinan negara besar dunia ini, hari ini, yang didampingi oleh para menterinya, pastinya akan menjadi “guidance” besok dan lusa, dalam pertemuan resmi G20. Indonesia sendiri selama ini mengusung tema “Global Health Architecture, Digital Transformation and Sustainable Energy Transisition”. Hilangnya tema “Climate Change”, sebagai agenda utama, yang dimainkan Indonesia tentu saja sejalan dengan Tiongkok, India, Brazil dan Rusia yang masih menghadapi isu lingkungan. Kelompok negara ini, khususnya Indonesia dan China, berada pada Environment Index performance yang rendah sekali, di bawah 30, sementara Amerika 51, German dan Prancis di atas 60, sebagai bandingan (EPI, 2022).
Lebih dalam soal Indonesia,
Greenpeace mencatat misalnya selama 2015-2019, pemerintah Jokowi jilid 1, seluas 4,4 juta Ha lahan terbakar. Sebanyak 30% diantaranya berada pada konsesi kelapa sawit dan bubur kertas. (BBC Indonesia, 24/9/22). Sebelum Jokowi melakukan moratorium kelapa sawit, Jakarta Post melaporkan 2,6 juta Ha hutan terbakar tahun 2015 (6/11/21), 80% untuk pembukaan lahan sawit, dan BBC Indonesia mengatakan tahun 2016 saja deforestasi mencapai 929.000 Ha. (BBC 20/11/21).
Pengrusakan lingkungan lainnya adalah batubara. Eksploitasi batubara sengaja terus digenjot, khususnya ketika harga tinggi, yang membuat sumber energi tidak ramah lingkungan ini menjadi andalan Indonesia. Selain energi ini ikut memperkaya segelintir elit yang terlibat dalam wajah-wajah berseri di G20.
Biden memang konsisten bicara climate change. Pada Agustus 2021 di Inggris, sebelum acara G7 saat itu, bahkan dia menyebutkan Jakarta akan tenggelam dalam 10 tahun mendatang. Ini adalah peringatan besar juga bagi kita tentang seriusnya ancaman perubahan iklim. Namun, dalam situasi dunia yang tidak pasti, khususnya akibat perang Rusia vs Ukraina, dan munculnya krisis energi, akan membuat tema lingkungan dan energi bersih sulit untuk menjadi kesadaran bersama. Batubara Indonesia sendiri menjadi incaran berbagai negara barat yang sedang krisis energi saat ini. Begitu pula minyak sawit kita diborong habis oleh (jejaring) negara-negara maju yang ingin mengoplos sumber energi mereka, beberapa waktu lalu.
Biden dan Xi tidak menyinggung soal “Global Health Architecture” pada pertemuan mereka tadi. Kepentingan isu ini lebih pada negara-negara miskin seperti Indonesia yang menderita ketika pandemi terjadi. Sebagamana kita ketahui pada masa pandemi Covid19, negara barat dan China mengontrol penemuan, pabrikan dan distribusi vaksin COVID-19. Bahkan, Rusia yang sudah menemukan vaksin Sputnik, tidak diakui secara internasional oleh barat. Isu Global Fund mungkin kurang menarik, karena WHO (World Health Organization) sebagai lembaga kredibel sulit untuk “disaingi”. Menkes Budi Sadikin, dalam ” Forum: G20 and APEC”, Chinadaily, 14/11/22, meyakini Global Fund ini menjadi salah satu andalan untuk menopang ketimpangan antara negara miskin dan kaya ketika terjadi krisis. Tapi, sesungguhnya begitulah hubungan antara negara kaya dan miskin sepanjang sejarah manusia, kecuali negara miskin mempunyai daya tawar kolektif melakukan tekanan.
Dalam G20 ini sesungguhnya Indonesia kurang mengerti strategi yang tepat. Seharusnya Indonesia menggalang berbagai negara menengah yang tergabung dalam BRICS, yang ada di G20, yakni Brazil, Rusia, India dan China, serta Turky tentunya, membentuk front besar dalam menekan barat pada isu-isu dimana negara miskin atau menengah ini membutuhkan keadilan (share prosperity), seperti isu aku akses vaksin dan pengobatan yang adil, serta isu ekonomi lainnya. Sayangnya Indonesia selalu berpikir bahwa dengan menjadi organiser pertemuan G20 seolah-olah menjadi pimpinan. Dengan merasa pemimpin, seakan -akan bisa menjadi magnet bagi semua negara dan bisa menjadikan transaksi bisnis. Ini momentum menjadi kurang termanfaatkan.
Kelemahan Indonesia lainnya adalah “event organizer mindset”. Indonesia menghabiskan uang triliuan untuk G20 ini, baik infrastruktur di Bali (Rp. 850 M), TMII ( Rp. 1,2 T), sebagaimana disebut Kompas, 10/6/22). Belum termasuk anggaran keamanan dan berbagai event lainnya. Semangatnya adalah pada perhelatan yang mewah dan gemerlap. Berbeda dengan berbagai G20 sebelumnya di Itali, Brisbane, London, Hamburg dll, masyarakat sipil diberikan ruang yang besar, bahkan demonstrasi yang melibatkan ribuan orang, seperti mahasiswa dan pecinta lingkungan, untuk menekan pertemuan fokus pada tujuan kehidupan global. Di Indonesia, pecinta lingkungan, seperti Greenpeace, Walhi, dll dihadang untuk melakukan aktivitas. Bahkan, Lembaga Bantuan Hukum diintimidasi hari ini karena di perkiraan akan melakukan aktifitas terkait G20. Dalam negara demokrasi, seharusnya peranan rakyat, masyarakat sipil, sama derajatnya dengan kalangan bisnis.
Dengan mindset sebagai event organizer, uang besar yang dikeluarkan Indonesia untuk G20 kelihatan tidak sebanding dengan hasil yang akan deperoleh nantinya. Misalnya, jika Indonesia mengklaim adanya investasi masuk yang besar, itu bukanlah terkait dengan G20, khususnya, melainkan berbagai “obral” ijin, tax dlsb yang selama ini sudah terjadi. Di bidang keuangan sendiri, obral suku bunga bond kita sudah dianggap ketinggian oleh IMF. Alih teknologi sendiri belum terlihat, hampir semua mobil listrik yang disimbolkan pro lingkungan dalam event G20 tidak ada mobil Esemka, kebanggaan Jokowi, mayoritas atau semua impor (belum jelas produksi INKA murni buatan dalam negeri).
Sebenarnya kita berharap apa pada G20?
Sebagai rakyat kita tentu senang banyak pemimpin dunia datang berkunjung ke Bali. Ini adalah kesempatan mempromosikan Bali ke dunia. Namun, sesungguhnya harus lebih daripada itu, yakni mempromosikan seluruh Indonesia. Bali sejak dulu kala sudah dikenal dunia, bahkan untuk sebagian orang, Bali lebih populer.
Kedua, Indonesia mempertanggung jawabkan pengeluaran yang besar pada event G20 ini terhadap kepentingan kemajuan kita, baik secara ekonomi maupun politik. Apalagi Indonesia sudah menjadi pemimpin ASEAN. G20 diharapkan memperlancar hubungan bilateral antara Indonesia dengan berbagai negara member, juga hubungan people to people, bukan sekedar bussiness to bussiness saja. Contohnya pertukaran kebudayaan, pendidikan dll.
Ketiga, kita berharap Jokowi merasakan “sense of being a global leader”. Ini untuk membuat Jokowi berambisi pada politik global sebagai bagian karir hidupnya, sejak walikota, gubernur, presiden dan lalu sekjen PBB atau lainnya. Sehingga sirkulasi kekuasaan di dalam negeri dapat mulus ke depan. Apalagi survei yang di rilis Kompas hari ini, 14/11, menunjukkan loyalis Jokowi tinggal 15% saja (lihat “Survei Litbang Kompas: 15,1 Persen Warga Pilih Capres yang Didukung Jokowi”). Jadi Jokowi jangan lagi terlalu banyak turut campur dalam urusan pilpres 2024. Biarkan saja itu urusan parpol.
Selamat menjalankan G20 untuk Jokowi, Chairman Xi Jin Ping, Joe Biden, Erdogan, Modi, Sunak, pemimpin Afrika, dll. Kami berharap yang terbaik untuk dunia menjadi tempat hidup yang indah.