Demonstrasi menolak kenaikan harga BBM yang dilakukan mahasiswa, buruh dan rakyat Indonesia menjadi alarm pergantian kekuasaan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Penolakan kenaikan harga BBM yang semakin meluas menjadi alarm pergantian kekuasaan yang harus diwaspadai Presiden Jokowi,” kata Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat kepada redaksi www.suaranasional.com, Selasa (6/8/2022).
Kata Nur Hidayat, berbagai pihak menganggap pemerintah sama sekali tidak pro rakyat. Solusi yang semestinya pemerintah ambil tapi tidak menjadi pilihan seperti realokasi anggaran infrastruktur IKN, PMN kereta api cepat dan lain-lain yang hanya menguntungkan para oligarki.
“Apalagi pernyataan bahwa kenaikan harga itu dianggap sebagai insentif buat produsen, ini menjadi blunder,” ungkapnya.
Solusi-solusi yang diambil selalu menambah beban penderitaan rakyat seperti kenaikan PPn, sementara rakyat dianggap beban negara. “Dalam hal ini negara sedang bertransaksi dengan rakyat. Energi rakyat dihisap. Ini adalah bentuk kekonyolan dalam bernegara,” jelas Nur Hidayat.
Kebijakan menaikan harga BBM tidak akan pernah didukung oleh mayoritas masyarakat apalagi negara dalam kondisi sulit. Hal ini tentu saja akan membuat pemerintahan saat ini dan parpol-parpol pendukung akan berpotensi ditinggal oleh masyarakat karena dianggap tidak pro rakyat.
“Yang menjadi kekhawatiran masyarakat yang utama bukanlah dari ketersediaan BBM bersubsidi, tapi imbas dari kenaikan harga BBM bersubsidi yang menghimpit kehidupan ekonomi rakyat,” tegasnya.
Adapun BSU yang rencananya disalurkan 16jt jiwa pada kenyataannya data tahun berjalan yang tercatat hanya 14,64 juta jiwa, sementara orang-orang miskin baru yang akan muncul dari masyarakat kelas menengah yang menjadi masyarakat miskin baru tidak diantisipasi sehingga BSU ini tidak menyelesaikan dampak akibat kenaikan BBM.