Voxpol Network Indonesia Desak Jokowi Berikan Amnesti Terhadap Para Prisoners of Consience

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebaiknya memberikan amnesti terhadap para prisoners of consience. Mereka yang ditahan ini bukan karena tindakan kriminal.

“Presiden Jokowi sebaiknya memberikan amnesti terhadap para  prisoners of consience,” kata Direktur Eksekutif Voxpol Network Indonesia Adhy Fadhly kepada redaksi www.suaranasional.com, Selasa (16/8/2022). Prisoners of consience merupakan tahanan hati nurani atau tahanan keyakinan adalah orang-orang yang ditahan karena latar belakang ras, orientasi seksual, agama, atau pandangan politiknya.

Para prisoners of consience layak diberi amnesti, kata Adhy sesuai kovenan internasional secara jelas dan tegas telah menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi. “Hal ini termaktub  dalam Pasal 19 ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights ) dan dijelaskan secara spesifik dalam  Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR tersebut,” ungkapnya.

Jika para prisoners of consience tidak diberi amnesti, Jokowi telah menginjak-injak Hak Asasi Manusia (HAM). “Kita tahu Presiden Jokowi dari periode pertama hingga kedua selalu mewacanakan terkait penyelesaian kasus-kasus HAM,” tegasnya.

Kata Adhy, tiga aktivis RMS Pieter Likumahuwa, Benjamin Naine dan Alexander adalah korban kepentingan politik dan ketidakpahaman hukum aparat hukum sendiri.

“Sebab jika kita ikuti persidangan yang berlangsung tidak ditemukan unsur unsur makar sebagaimana yang disangkakan terhadap mereka,” paparnya.

Menurut Adhy, aktivis RMS hanya menyuarakan keadilan yang dijamin dalam UUD 1945.

“Apakah berbeda pendapat adalah sebuah kejahatan, apakah menyuarakan sebuah kebenaran masa lalu adalah sesuatu yang salah,apakah orang ingin menentukan nasibnya sendiri di saat hak-hak mereka terabaikan itu adalah sebuah tindakan kriminal?” tanya Adhy.

Perlu dipahami kejadian di Maluku dan Papua yang menyuarakan kemerdekaan sendiri merupakan bentuk kekecewaan rakyat terhadap negara.

“Kasus-kasus di Maluku yang sering distigma sebagai gerakan separatis harus kita sandarkan pada aspek kemanusiaan, keadilan juga sebab musababnya. Logika berpikir anak sekokah dasar juga cukup untuk menjawab bahwa sekumpulan kasus itu, apakah selembar bendera yang terbuat dari kain dapat membahayakan kepala negara apalagi menggulingkan pemerintahan? apakah dengan keinginan menentukan nasib sendiri berarti jatuhnya sebuah pemerintahan?” tanya Adhy.

Kata Adhy, hukum harus memberikan rasa keadilan semua warga negara walaupun berbeda pandangan politiknya.

“Ini yang harus benar-benar kita lihat sehingga menempatkan hukum  sebagai instrumen yang vital dalam bernegara yang mampu memberikan keadilan bukan malah menjadikan hukum untuk mengkriminalisasikan orang-orang yang berbeda pandangan politik. Jangan pernah campur adukan persoalan politik dengan kemanusiaan,” paparnya

Untuk memberikan rasa keadilan dan implementasi dari komitmen Presiden Jokowi terkait HAM, mantan Wali Kota Solo itu cukup memberikan amnesti dan abolisi kepada aktivis RMS. “Ini tidak bertentangan dengan Undang undang justru dijamin dan diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945. Terlebih lagi amnesti bukan perkara baru di Indonesia,” ungkapnya.

Presiden Soekarno pernah memberikan amnesti dan abolisi bagi mereka yang terlibat pemberontakan DI/TII melalui Keppres No. 303 Tahun 1959.
Bahkan pada tahun 2015 dan  2019, Presiden Jokowi sendiri juga pernah memberikan amnesti kepada Baiq Nuril dengan sebuah pertimbangan kemanusiaan dan juga kepada lima tahanan politik Papua.

Ataukah memang ada perlakuan yang berbeda terhadap para  prisoners of consience di Maluku?

Kata Adhy, Pemerintah jangan menganggap kecil persoalan yang terjadi di Maluku. Semakin orang itu tertindas maka semakin besar rasa ingin memberontak itu terbangun.

“Saya ingin sampaikan bahwa sampai hari ini saudara saudara di Maluku itu masih merupakan bagian dari Republik ini jika ketidakadilan, penindasan, sikap over represif selalu mereka dapatkan maka saya yakin Maluku akan dengan tegas mempertanyakan posisi dan status mereka dalam bingkai Negara kesatuan Republik Indonesia,” pungkas Adhy.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News