DPR dan KPU Dungu

Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik

Memang itu tugas DPR dan KPU,
DPR telah menyetujui Rp 76 triliun anggaran Pemilu 2024 yang diajukan KPU. Anggaran itu sangat besar. Ahmad Doli Kurnia, Ketua Komisi II DPR, mengatakan DPR menerima usulan KPU berdasar dua alasan. Pertama, KPU membayar petugas KPU 300% lebih banyak daripada 2019, yaitu Rp.1,5 juta/petugas. Kedua, KPU bermaksud membangun sekertariat dan gudang.

Kerja asal ketok anggaran, itu dungu. Apa tidak dibahas minimal petugas sama atau dikurangi . TPS India hanya dilayani oleh 3 orang saja, sementara TPS Indonesia dilayani oleh 7 petugas. Dengan beban lebih 3 kali lipat, petugas TPS India tidak kelelahan.

India telah mengadopsi teknologi Electric Voting Machine. Teknologi ini terus diperbaiki, sekarang memiliki teknik self-verification yang menjamin kepercayaan publik 99,99%. Teknologi ini sangat membantu KPU India memperoleh hasil penghitungan suara yang cepat, terpercaya, efisien dan menghemat penggunaan kertas jutaan kubik.

Indonesia  dengan populasi sekitar 273 juta jiwa, setelah AS (338 juta jiwa) 59 kali pemilu,  India (1,447 juta jiwa) 17 kali pemilu . Indonesia telah menyelenggarakan pemilu 11 kali sejak 1955, mestinya sudah menggunakan mengadopsi teknologi Electric Voting Machine, bukan bersikukuh dengan cara manual yang terbukti telah menimbulkan keruwetan dan manipulasi suara.

Harga sebuah mesin EVM di India sekitar 660 dolar/unit. Hanya membutuhkan 6,8 triliun untuk melengkapi 700 ribu TPS Indonesia dengan sebuah EVM.

Anggaran  fantastis itu muncul akibat peristiwa. Bahwa pada pemilu 2019 terdapat kematian 854 petugas KPPS dan 5.175 petugas lainnya jatuh sakit. Sejak kapan ada kepastian mereka mati dan sakit akibat kelelahan. Sampai sekarang peristiwanya ditutup rapat tanpa ada proses lebih lanjut sebab sebab kematian dan sakitnya.

Fenomena ini  sampai kapanpun akan menyisakan rasa pilu luar biasa di masyarakat. Karena kematian begitu besar  kepolisian tidak pernah menyelidiki sebab-musababnya.

Alasan KPU   menjelaskan bahwa petugas KPPS mengalami kelelahan luar biasa menyebabkan kematian.  Penjelasan KPU itu dungu sekadar teori dan ngarang ngarang sendiri karena KPU tidak pernah menyampaikan bukti. Polisi melarang otopsi jenazah, polisi bahkan menangkap sejumlah dokter yang berusaha mengungkap misteri itu.

Kelelahan petugas sama sekali tidak rasional dengan melipat gandakan anggaran.   Anggaran yang disetujui DPR  itu sama dengan 140% dari 4 kali biaya pemilu sebelumnya bila dijumlahkan. Biaya pemilu   adalah Rp 4,5 T (2004), Rp 8,6 T (2009), Rp 15,6T (2014) dan Rp 25,59 T (2019).

Indonesia perkiraan jumlah pemilih 200 juta pada tahun 2024 pemilu Indonesia 2024 akan menelan  25,8 dolar AS per pemilih. India dengan pemilih sebanyak 912 juta jiwa, biaya pemilu per kepala di India adalah 3,3 dolar AS per memilih. Sementara  menurut laporan MIT Election Data, biaya pemilu di Amerika Serikat adalah 8,1 dolar per pemilih, dengan ongkos biaya yang lebih mahal.

Angka diatas menjadi petunjuk kedunguan dan matinya rasa untuk KPU dan DPR. Mestinya berpikir petugas dikurangin berbasis teknologi dan ongkos petugas naik dan akurasi data pemilu sampai pada angka 99.09 dijamin otentik riil murni suara rakyat. India setiap TPS  hanya dilayani oleh 3 orang saja, sementara TPS Indonesia dilayani oleh 7 petugas. Dengan beban lebih 3 kali lipat, petugas TPS India tidak kelelahan.

KPU Indonesia sampai sekarang masih menggunakan prosedur penghitungan suara manual seperti dilakukan 67 tahun yang lalu.  KPU hanya menggunakan teknologi scanner dan facsimile untuk mengirimkan dokumen C1 ke server Sistem Informasi Penghitungan Suara KPU. Namun sejak 2004 situng KPU selalu bermasalah.

KPU seharusnya menempatkan diri sebagai “arsitek pemilu” bukan “tukang pemilu”, DPR bukan asal ketok anggaranm. KPU dan DPR sama sama dungunya dengan mematikan rasa dan akal sehatnya, hanya menjadi beban pemilu dan pilpres.