Mengais Sosialisme dalam Makna Idul Adha

Oleh: Yusuf Blegur*

Soekarno pernah mengatakan pelajari apinya Islam, bukan abunya. Ia berpendapat nilai-nilai paling substansial yang diajarkan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam adalah ketundukan mahkluk pada Tuhannya. Soekarno juga menyebut bahwasanya Tuhan bersemayam di dalam gubuk-gubuk si miskin. Salah satu proklamator kemerdekaan RI itu, menyampaikan pesan tersirat betapa fundamennya persoalan tauhid yang kemudian diikuti oleh masalah-masalah sosial dan kemanusiaan.

Umat Islam di seluruh dunia baru saja melaksanakan Hari Raya Idul Adha 1443 H. Sebuah peristiwa dari momentum sejarah yang sangat penting bagi umat Islam dan peradaban manusia. Hari Raya Idul Adha atau yang dikenal juga dengan Hari Raya Lebaran Haji atau Hari Raya Kurban, bagi umat Islam bukan hanya kegiatan ibadah ritual dan pelaksanaa syariat semata. Lebih dari itu, substansi Idul Adha menjadi resultante pengejawantahan prinsip habluminallah dan habluminannas. Sebuah peribadatan yang menggabungkan pesan dan makna ketaqwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan juga kesalehan sosial. Hubungan vertikal dan horisontal yang seiring sejalan, satu sisi dituntut ketaatan kepada Tuhan di lain sisi tetap menjunjung tinggi kemaslahatan sesama umat manusia.

Perayaan Idul Adha kali ini, menjadi begitu terasa relevan, strategis dan penuh makna terutama bagi umat Islam di Indonesia dan kehidupan muslim di seantero dunia. Umat Islam di seluruh belahan dunia dapat melakukan refleksi dan evaluasi tentang perjalanan hidup baik secara religius maupun tatanan sosial. Ketika dunia masih diselimuti oleh gejolak politik, ekonomi, hukum dan keamanan. Saat konflik dan perang yang menyebarkan rasa permusuhan dan kebencian telah mengorbankan kemanusiaan. Maka hikmah Idul Adha menjadi persfektif dunia yang mampu menjadikannya sarana memulihkan situasi yang lebih kondusif dan harmonis bagi kehidupan umat manusia.

Iklim global yang memaksa sebagian besar populasi manusia menghirup udara kapitalsme dan komunisme atau atheisme. Terbukti selama berabad-abad lamanya membawa kehidupan dalam masyarakat, negara dan pergaulan antar bangsa mengalami reduksi dan degradasi kemanusiaan. Kualitas lingkungan hidup dan sosial semakin merosot, kerusakan dan eksploitasi pada alam dan manusia semakin tak terbendung. Bukan hanya alam tak lagi ramah dengan bencananya, krisis moral dan spiritual juga telah membuat manusia menganggap enteng kehadirat Ilahi.

Sama dengan dunia internasional, Indonesia juga mengalami fase kemunduran kebudayaan dan peradaban manusianya. Realitas ketidak adilan, penderitaan hidup karena kemiskinan, demokrasi yang menindas, keterpurukan sosial politik, sosial ekonomi dan sosial hukum serta keamanan. Hanya menjadi “side effect” dari keberadaan rezim dzolim yang cenderung tiran, otoriter dan diktator. Kekuasaan yang menyelenggarakan pemerintahan sangat bertolak-belakang dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan, Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Jadilah negeri yang kaya tapi miskin, Besar kebudayaannya tapi berjiwa kerdil, tinggi spiritualitasnya namun kering adab dan ahlaknya. Hidup rakyatnya tak lebih sebagai korban dari eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa.

Oleh karena itu, boleh jadi sepantasnya dan mungkin sudah menjadi keharusan bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama umat Islam harus bersungguh-sungguh menjadikan momentum Idul Adha sebagai titik balik dari kebangkitan kesadaran Ketuhanannya dan kesadaran sosialnya. Mengisi ruang hampa negara dan bangsa dengan nilai-nilai nasionalis religius dan religus nasionalis. Mengganti ketiadaan karakter nasional bangsa dengan jiwa-jiwa nasionalisme dan patriotisme. Mengembalikan kehormatan dan kemulian negara yang bersunguh-sunguh secara jujur dan adil mewujudkan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI dalam kesehariaan kehidupan rakyat.

Dalam hikmah Idul Adha, selain pelajaran dari Nabi Ibrahim Alaihissalam dan Nabi Ismail Alaihissalam tentang betapa mutlaknya ketaatan dan ketaqwaan juga keikhlasan pada Allah azza wa jalla. Umat Islam juga dituntut untuk membangun sikap simpati, empati, solderitas dan kepedulian terhadap sesama muslim.

Suri tauladan itu telah ditegaskan sebagaimana tersurat dalam Al Quran sbb.,
أَعْطَيْنَٰكَ ٱلْكَوْثَرَ
(Innā a’ṭainākal-kauṡar)
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.”
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنْحَرْ
(Fa ṣalli lirabbika wan-ḥar)
Artinya: “Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.”

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ ٱلْأَبْتَر
(Inna syāni`aka huwal-abtar)
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.”

(QS Al Kautsar: 1-3)

Satu yang paling fundamen dan mendesak bagi seluruh rakyat Indonesia, negara harus mampu menghadirkan kehidupan negara yang berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, budaya welas asih dan gotong royong. Tak cukup menjamin kehidupan beragama yang toleran, terbuka dan inklusif, negara juga perlu menghadirkan rasa keadilan sosial bagi semua anak bangsa, tanpa diskriminasi, hegemoni dan dominasi pada keberagaman suku, agama, ras dan antar golongan. Baik dalam persamaan hak dan kewajiban secara sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum, dan keamanan. Tak ada lagi yang miskin semakin miskin dan yang kaya semakin kaya, tak ada lagi yang kuat menindas yang lemah dan yang lemah semakin teraniaya. Tak ada lagi intervensi, represi, dan kriminalisasi oleh rezim kekuasaan kepada siapapun rakyat yang menyuarakan kesadaran kritis dan upaya perbaikan kehidupan negara dan bangsa.

Seperti kecenderungan rakyat sejauh ini yang sudah semakin skeptis, apriori, dan antipati pada negara dan sebagian besar aparatur pemerintahan. Tak ada kemakmuran dan keadilan, tak ada negara kesejahteraan bagi rakyat sepanjang usia kemerdekaan dan negara terus berdiri.

Betapa miris dan malangnya rakyat Indonesia yang merindukan kemakuran dan keadilan di negerinya. Rakyat seperti tak pernah sejatinya menikmati kekayaan alam dan semua keberlimpahan sumber daya yang ada di persada Indonesia sebagai karunia ilahi. Negara bangsa ini seperti telah kehilangan hidayah, rahmat dan ridho Allah. Merangkak terseok-seok, berusaha menggapai sinergi dan elaborasi antara ketaqwaan pada Allah dan kesalehan sosial. Bagaikan pungguk merindukan bulan, berharap mengais sosialisme dalam makna Idul Adha.

Munjul-Cibubur, 11 Dzulhijah 1443/10 Juli 2022