Ada Apa di Balik Bocornya Donasi Umat di ACT?

Oleh: Tarmidzi Yusuf (Pegiat Dakwah dan Sosial)

Kemarin malam ada teman yang pernah bekerja di Non Governmental Organization (NGO) kepalestinaan ngeshare foto sampul Majalah Tempo dan content berita majalah tersebut dalam bentuk PDF. Edisi teranyar.

Headlinenya ngeri-ngeri sedap. Kantong Bocor Dana Umat. Media yang mengangkatnya tidak tanggung-tanggung. Majalah Tempo. Pasti heboh dan gempar.

Benar saja kemarin soal Aksi Cepat Tanggap (ACT) ramai menjadi perbincangan publik. Penulis sendiri tidak begitu kaget. Hanya saja curiga. Ada apa dibalik diangkatnya isu bocornya donasi umat di ACT? Politis atau pisau bermata dua?

Publik pun ramai-ramai mengecam ACT. Sampai-sampai ada yang memplesetkan dengan Aksi Cepat Tilep. Kalangan ulama bereaksi keras. ACT dan lembaga sejenis pasti kena imbasnya. Berkurang kepercayaan donatur.

Betapa tidak. Diangkatnya isu ACT ini menuai kecurigaan. Selain ada yang gerah dengan geliat penggalangan donasi yang mampu mengumpulkan donasi umat ratusan miliar. Bahkan triliunan rupiah tiap tahunnya.

Ditambah lagi mencuatnya isu donasi mengalir untuk kegiatan terorisme. Aromanya sangat kental ada unsur politisnya. Apalagi isu bakal hilangnya BBM jenis Pertalite di pasaran diganti Pertamax. Perlu ‘amunisi’ isu untuk menutupi peralihan Pertalite ke Pertamax.

Kabarnya lagi. Tentu saja ini kabar duka bagi lembaga sejenis ACT. Ada kabar burung, minimal membatasi pergerakan lembaga semacam ACT hingga isu soal ditutupnya beberapa lembaga seperti ACT dan lembaga sejenis lainnya. Lagi-lagi dikaitkan aliran dana terorisme.

Beberapa bulan lalu ada lembaga serupa yang digerebek aparat keamanan beserta kotak amalnya dikait-kaitkan dengan isu yang sama. Aliran dana terorisme. Lembaga tersebut akhirnya ditutup. Pengurusnya ditangkap. Alasannya keterkaitan dengan dugaan aliran dana terorisme.

Penulis sendiri tidak menampik adanya NGO yang nakal. Pasalnya sudah menjadi rahasia umum tentang kiprah lembaga semisal ACT dan beberapa NGO sejenis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lainnya yang kini menjamur di Indonesia.

Tidak aneh kalau Presiden atau Direktur semacam NGO yang disebut tadi mendapat fasilitas wah. Gaji ratusan juta dan fasilitas kendaraan mewah. Layaknya gaji para profesional BUMN dan swasta.

Desas-desus yang beredar, 40 persen bahkan lebih dari hasil penggalangan dana dialokasikan untuk biaya operasional. Apalagi musim pandemi Covid-19, bisa-bisa 80 persen dari hasil penggalangan dana digunakan untuk biaya operasional. Yang disalurkan cuma 20 persen.

Penulis sendiri tidak mengetahui dasar hukum syar’i yang memperbolehkan mengambil biaya operasional sekian persen dari hasil penggalangan dana. Sementara akadnya sendiri tidak disebutkan sekian persen untuk biaya operasional. Donatur sendiri tahunya donasi mereka untuk wakaf, zakat atau program lainnya. Sesuai yang ditawarkan.

Ada gelagat menjamurnya lembaga penggalangan dan penyaluran dana umat menjadi semacam ‘bisnis’ baru yang sangat menggiurkan.

Dilain pihak, ada kekhawatiran dari beberapa pihak tertentu yang merasa terancam dan tergiur dengan ‘bisnis’ model baru seperti yang dikembangkan oleh ACT yang dananya tumbuh pesat.

Wallahua’lam bish-shawab

Bandung, 5 Dzulhijjah 1443/5 Juli 2022

Simak berita dan artikel lainnya di Google News