Indonesia Sekarat, Karena Sistem atau Pemimpi? Peran Kaum Intelektual (Bagian Terakhir)

Oleh: Abdurrahman Syebubakar (Kritikus Sospol)

KONDISI Indonesia yang saat ini terus terpuruk akibat persilangan lembaga politik ekskraktif dan penguasa serba minus (ignorant leader), juga tidak lepas dari dominasi intelektual tukang atau intelektual kelas kambing, dalam istilah Romo Mangun, untuk menggambarkan perselingkuhan intelektual dengan kekuasaan [dan modal] hingga tidak bisa berpikir dan bersikap obyektif.

Alih-alih menjadi katalis perubahan dalam masyarakat, pada umumnya, kaum terdidik Indonesia jutsru berperan sebagai corong kekuasaan dan modal. Meminjam tesis Noam Chomsky (1967, 2016) tentang tanggung jawab intelektual, kaum terdidik ini berada di barisan intelektual konformis, atau intelektual tradisional versi Antonio Gramsci (1971), yang bertindak sebagai antek penguasa dengan mengabaikan, bahkan “merasionalisasi” (mencari cari pembenaran atas) kejahatan penguasa.

Terlalu banyak kaum intelektual Indonesia terjerat nikmat dan empuknya jabatan – hadiah tutup mulut dari penguasa dan pemodal di belakang penguasa. Entah posisi di pemerintahan, perguruan tinggi, BUMN, atau jabatan mentereng di perusahan-perusahan swasta penyokong kekuasaan yang menggurita dari proyek-proyek pemerintah. Seketika atau pelan tapi pasti, para intelektual tersebut berubah, dari pola pikir dan sikap kritis, menjadi permisif (serba memaklumi). Bahkan, berdiri di barisan terdepan membela semua kebijakan negara yang notabene bagian dari roadmap oligarki-, dan kemudian sepenuhnya menjadi antek kekuasaan.

Sementara, tidak sedikit dari kaum terdidik yang berkiprah di perguruan tinggi, lembaga riset dan organisasi masyarakat sipil, yang tidak berada di zona nyaman (comfort zone) atau belum menduduki kursi empuk atau terima amlop, berlomba lomba memuji penguasa dan membela agenda kekuasaannya. Tidak peduli jika agenda kekuasaan masuk akal atau tidak, merugikan rakyat banyak atau sebaliknya. Bahkan sebagian menjadi tukang survei, merangkap buzzerp, yang dibayar mahal dari uang rakyat atau dimodali para taipan. Dengan kata lain, kaum intelektual ini bertindak sebagai antek penguasa, bahkan ketika mereka berada di luar kekuasaan.

Defisit intelektual organik dan dominasi intelektual kelas kambing yang berkelindan dengan lembaga politik ekstraktif dan penguasa serba minus membuat Indonesia didera berbagai masalah yang tak berkesudahan dari segala arah. Pembangunan manusia mengalami stagnasi, demokrasi membusuk, hukum compang camping, korupsi merajalela, kemiskinan meluas, dan ketimpangan makin dalam, disertai kerusakan di berbagai bidang.

Dus, tidak berlebihan jika dikatakan, Indonesia saat ini tidak saja kehilangan jejak untuk kembali ke cita-cita reformasi, jalan yang dipilih atas pengorbanan mahasiswa dan segenap elemen bangsa yang menubuatkan demokratisasi, supremasi hukum, dan pemberantasan korupsi. Tetapi, kompas negara ini telah jauh melenceng dari tujuan bernegara guna memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan keadilan sosial.

Lantas, apa jalan keluarnya?

Kerusakan demi kerusakan yang mendera bangsa Indonesia, terutama di era pemerintahan Jokowi, tidak sepenuhnya kesalahan pilihan demokrasi-, tetapi lebih akibat penyimpangan sistem ini. Yang berlaku bukan demokrasi tetapi oligarki berbaju demokrasi. Dan, faktanya, deretan kerusakan tersebut terjadi saat Indonesia bergerak ke arah pendulum non-demokrasi, yaitu malevolent authoritarianism – rezim otoriter dan korup, sekaligus.

Seperti tercatat pada bagian pertama tulisan ini, Indonesia pasca reformasi, dengan corak sistem dan kelembagaan politik yang serupa, memperlihatkan perbedaan mencolok atas kondisi bangsa Indonesia saat dipimpin SBY versus Jokowi. Secara umum, era SBY ditandai keadaan yang cukup baik di berbagai bidang, mulai dari kualitas demokrasi dan kebebasan, tingkat kebahagian, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, kohesi sosial, sampai penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Fenomena ini juga terlihat di daerah. DKI Jakarta, misalnya, menjadi jauh lebih baik dalam banyak hal di bawah kepemimpinan Anies Baswedan, dibandingkan Jokowi-Ahok-Djarot, padahal mereka lahir dari rahim sistem politik yang sama dan memimpin dalam ruang politik yang sama pula.

Dus, yang harus dilakukan bukan mengganti demokrasi dengan sistem non-demokrasi. Tetapi, menekan dan menyingkirkan anasir-anasir jahat dalam tubuh demokrasi, terutama kekuatan para taipan oligarkis.

Demokrasi juga harus disterilkan dari elemen-elemen politik beracun. Dalam hal ini, barisan politikus busuk haus uang dan kekuasaan, buzzerp, kelompok pluralis represif, dan kaum hipernasionalis. Dua kelompok terakhir ini berlindung di balik penguasa dan pemodal membusuki demokrasi dari dalam, dengan mengeksploitasi narasi politik identitas.

Pembersihan tubuh demokrasi dari berbagai kotoran politik tersebut harus dibarengi dengan penegakan hukum yang berkeadilan, penguatan kesadaran dan keberdayaan politik warga, konsolidasi kaum progresif (buruh, masyarakat sipil dan intelektual organik), reformulasi peran kaum intelektual dan agamawan dan pola hubungannya dengan negara, serta peningkatan literasi politik substantif kelompok terdidik dan kelas menengah lainnya.

Selanjutnya, harus ada keberanian politik bermigrasi menuju demokrasi sosial, yang telah terbukti secara relatif menghadirkan kesejahteraan rakyat di sembarang waktu dan tempat, dalam bingkai kesetaraan politik dan keadilan sosial. Salah satu pilar utama demokrasi sosial yaitu perlindungan sosial yang berbasis life cycle (siklus hidup) dengan cakupan semesta (universal coverage) juga hak dasar setiap warga negara yang menjadi tanggung jawab konstitusional negara, sesuai amanat konstitusi.

Terakhir, dibutuhkan aliansi kaum progresif dan pemimpin otentik, yang lekat dengan kesejatian karakter intelektual dan moral. Tipe pemimpin ini mengutamakan isi daripada kemasan yang penuh rekayasa, dan mampu menerjemahkan pikiran-pikiran besarnya ke dalam pilihan kebijakan. Dengan rekam jejak yang teruji dan integritas moral yang tinggi, pemimpin otentik memiliki keberanian politik berhadapan dengan kekuatan oligarki.

Dalam hal ini, perlu ikhtiar bersama dari seluruh elemen bangsa, terutama kalangan tertdidik, untuk memilah dan memilih aspiran capres 2024, yang kualitasnya paling dekat dengan atribut pemimpin otentik.

Realitas politik yang tidak pernah sempurna, terlebih saat ini menderita cacat berat, menuntut penilaian dan perbandingan para aspiran capres secara relatif berdasarkan parameter obyektif – terlepas dari sentimen SARA dan ikatan emosional. Tidak menyandingkan mereka dengan kesempurnaan, dengan tolok ukur serba mutlak.
____________________________

Adaptasi dari dua artikel penulis bertajuk “Pengkhianatan Kaum Intelektual” (Juni 2021) dan “Menyelamatkan Demokrasi dengan Demokrasi” (Juni 2021).

Simak berita dan artikel lainnya di Google News