Rezim Joko Widodo (Jokowi) mengkampanyekan Islamophobia untuk strategi pembangunan. Isu radikalisme di era Jokowi membuat masyarakat makin terbelah.
“Rezim Jokowi memang mengkampanyekan Islamophobia sebagai strategi pembangunan,” kata Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe) Smith Alhadar kepada redaksi www.suaranasional.com, Jumat (13/5/2022).
Kata Smith, Rezim Jokowi meninggalkan legacy polarisasi masyarakat akibat represi penguasa terhadap kubu oposisi, terutama kaum Muslim konservatif.
Menurut Smith, isu intoleransi dan radikalisme sengaja diamplifikasi rezim untuk mengawetkan kekuasaannya. Ekonom senior Rizal Ramli mengatakan ada tiga tujuan yang dicapai rezim dengan isu-isu ini, yakni membuat pendukung Jokowi makin militan, menakut-nakuti kelompok minoritas untuk mendukung rezim, dan mengharapkan dukungan internasional atas upaya membungkam oposisi.
“Saya melihat isu-isu ini sengaja diproduksi secara terus-menerus oleh rezim dan oligarki melalui para buzzerRp dengan tujuan membuat posisi rezim makin kuat dan berkelanjutan. Pada gilirannya, rezim berharap semua kebijakannya mendapat legitimasi,” papar Smith.
Peran rezim dan oligarki dalam mempromosikan Islamophobia dapat kita saksikan pada kiprah Cokro TV. Oligarki juga diduga membiayai Partai Solidaritas Indonesia untuk melakukan tugas yang sama.
“Tapi belakangan ini, terjadi perpecahan di internal PSI karena sebagian pengurus terasnya berpendapat isu Islamophobia yang didengungkan selama ini justru kontraproduktif bagi kelangsungan hidup partai menjelang pemilu 2024,” papar Smith.
Menurut Smith, isu intoleransi dan radikalisme yang dikembangkan rezim Jokowi laku dijual, terutama dalam mobilisasi dukungan masyarakat. “Terlebih, narasi itu didukung oligarki,” pungkas Smith.