Smith Alhadar Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)
Namanya aneh: Jolo Wilolo. Ketika pertama kali memasuki negeri yang damai, ia mengejutkan seekor kucing hitam yang lalu melompat ketakutan. Sebenarnya Jolo Wilolo — ia lebih suka dipanggil Jolowi biar tak tampak aneh — lelaki biasa saja. Sosoknya kurus, hobi mengenakan kemeja putih lengan panjang digulung. Bicara dan tawanya juga tak beda jauh dengan Ucup si tukang kayu. Pokoknya, seluruh dirinya tak layak untuk diperhatikan. Makanya, tak ada yang peduli saat Jolowi memasuki negeri mereka dengan pandangan mata yang mencari-cari. Waktu dia lahir pun tetangga tak datang tengok. Namun, di kemudian hari, orang menangis tiap kali melihat Jolowi tertawa. Dan tertawa saat ia menangis. Dalam situasi normal, penduduk senang bukan main manakala Jolowi diam. Pasalnya, tiap kali ia bergerak, ada saja musibah yang datang.
Jolowi menempati rumah sederhana seperti laiknya rumah rakyat kebanyakan dan memulai usaha mebel. Seperti juga rakyat, ia tak punya cita-cita. Memang cita-cita, apalagi berambisi memimpin negeri sebesar ini, adalah barang mewah untuk orang dengan kapasitas Jolowi. Tetapi tiap malam ia bermimpi menjadi otokrat, mimpi yang sangat disenanginya walaupun menimbulkan ketakutan orang-orang yang mendengar cerita mimpinya itu. Mereka takut mimpinya jadi kenyataan, meskipun sebagian yang lain menjadikannya bahan tertawaan. “Tidak seharusnya sosok seperti itu bermimpi sebesar itu, walaupun hanya sekadar mimpi. Bagaimanapun, tiba-tiba saja Jolowi populer. Penduduk bertanya ke sana ke mari, termasuk ke dukun, alasan Jolowi menjadi masyhur. Namun, tak ada satu orang pun yang tahu. Jolowi sendiri tak tahu mengapa ia mendapatkan ketenaran sedemikian rupa, yang membuat gurunya pun terperanjat. Sambil berkaca, ia senyum: “Tertipu, orang percaya aku menciptakan mobil Esemka. Padahal, mana bisa aku ini.” Lama-lama ia percaya pada rayuan para penjahat bahwa ia layak memimpim negeri ini. Kebetulan, pesta demokrasi memilih presiden sudah akan dimulai.
Maka Jolowi berbenah. Rumahnya direnovasi dengan cat warna-warni untuk memberi pesan ia unik. Dan inovatif. Penampilannya di-upgrade. Cara bicara dan lenggang-lenggoknya ditata agar terlihat presidential. Semuanya sesuai anjuran konsultan politik yang dibayar mahal. Meskipun hasilnya jauh dari sempurna, ini sudah maksimal yang bisa mereka lakukan mengingat watak dan kualitas Jolowi sudah tak dapat ubah. Ternyata juga kekurangan itu jadi keuntungan politik Jolowi karena ia dibranding sebagai “Jolowi adalah kita.” Puji-pujian kepadanya dilapalkan beramai-ramai oleh manusia berbagai jenis dengan kepentingan berbeda. Orang awam melihat dia salah satu dari mereka yang akan menghadirkan “baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur” yang belum pernah mereka nikmati sejak negara dididirikan di negeri ini lebih dari seribu tahun lalu. Meskipun dengan susah payah secara pikiran dan moral, para cendekia merasionalisasi pikiran dan perangai Jolowi sebagai pemimpin baru yang menjajikan. Media melukis dia sebagai antitesa pemimpin otoriter dan korup. Sementara para oligark dan penjahat menyejajarkan dia dengan para negarawan dunia. Tentu saja langit menangis menyaksikan drama kolosal politik yang menipu ini. Tapi hiruk-pikuk yang ganjil di publik berhasil menutupi sosok sebenarnya Jolowi. Rakyat tak diberi kesempatan untuk menilainya secara objektif. Aneh, kendati tahu kapasitas dan kualifikasinya, Jolowi menikmatinya dengan rasya syukur yang melimpah ruah pada kekuatan supranatural.
Jolowi diuntungkan momentum. Lawannya adalah seorang jenderal “cacat” dari zaman yang sudah lewat. Auranya menghadirkan ancaman bagi kelanjutan hidup demokrasi yang baru saja bersemi. Dus, Jolowi versus Prabono diterjemahkan sebagai rakyat melawan elite, kerakyatan versus militeristik, fajar baru melawan dekadensi. Walaupun demikian, sebagian orang yang mengamati Jolowi sejak kecil dan mereka yang melek politik melihat orang “kampung” yang tak suka membaca buku itu sebagai penghalang bagi kemajuan bangsa, bahkan mengancam tatanan kehidupan. “Kerakyatan kami suka,” kata mereka. ” Tapi Jolowi adalah seekor kura-kura, musang berbulu domba.” Lagi pula, mana mungkin beres kalau dunia ilmu pengetahuan dipimpin orang yang tak punya pikiran? Tapi kecemasan dan keluh-kesah mereka dihantam badai yang datang dari hutan yang gelap. Semuanya sia-sia. Ya, Tuhan, Jolowi jadi Presiden! Dan sejarah pun mencatat: mungkin untuk pertama kalinya dalam sejarah dunia, orang yang lugu tapi punya motif-motif gelap, memimpin sebuah bangsa besar yang sedang berikhtiar menjadi bangsa terhormat.
Seiring perjalanan waktu, keanehan Jolowi mulai terungkap. Tiap hari sebelum matahari terbit, ia bergegas dari satu ke lain gorong-gorong. Banyak orang tertarik untuk melihat dari dekat apa sesungguhnya yang menarik dari gorong-gorong sehingga presiden getol berkunjung ke sana, jangan-jangan ada hal istimewa di sana. Tentu mereka tak menemukan apa-apa di sana kecuali air kotor. Namun, tak mau kredibilitas Jolowi dipertanyakan, aksi-aksi percuma dan bodoh itu digambarkan sebagai tindakan seorang visioner yang belum dapat difahami orang zaman sekarang. Bagaimanapun, kelakuan tak pantas itu secara ajaib menghipnotis pendukungnya, bahkan oleh orang-orang yang telah menghabiskan puluhan ribu buku di perpustakaan. Baru sekarang sebuah zaman edan dilahirkan satu orang edan. Apa istimewanya seorang presiden berkelakuan seperti seorang kuli ketika seharusnya ia menghabiskan waktu dengan berpikir untuk kejayaan bangsa dan bertemu dengan pemimpin bangsa lain untuk bertukar gagasan? Anehkah bila kemudian para pemimpin negara di dunia, yang dulu berharap banyak padanya untuk bersama-sama ikut menata tantangan global, berpaling darinya dengan perasaan jijik?
Tetapi dalam negeri pun akal budi bangsa muda yang bergelora mulai merekah. Sebagian pendukungnya yang bermoral dan berakal mulai melihat Jolowi apa adanya. Kesenangannya memelihara kodok, hewan yang tak pernah dilirik dunia sepanjang sejarah, sebagai suatu kesederhanaan yang kebablasan. Ketika semua orang terganggu orkestra kodok menjelang maghrib, Jolowi menikmatinya dengan rasa bangga yang aneh. Mungkin ia ingin menunjukkan kesederhanaannya, tetapi memelihara kodok kiranya bukan pilihan yang tepat untuk disampaikan kepada publik. Jolowi memang sulit difahami. Mengaku tak suka membaca buku kecuali komik Doraemon dan Sinchan juga bukan pesan yang ingin didengar orang tentang kesehajaannya. Kodok dan komik adalah simbol yang tak sinkron dengan presidensi dan tugas-tugas kenegaraan yang diembannya.
Tetapi bukan hanya itu! Jolowi sering kaget, bahkan pada tindakan kenegaraan yang dia lakukan sendiri. Menandatangani dokumen negara, misalnya. Ini mengkhawatirkan publik karena mengindikasikan ia ceroboh dan tak suka detail yang memusighkan kepala. Pepatah menyatakan: the devil is in the details. Yang mengagetkan publik, ia mengakui kecerobohannya itu tapi dengan maksud melepas tanggung jawab. Keanehan lain, ia tak merasa bersalah atas pengabaian janji kepada publik saat kampanye dulu. Begitu saja ia melenggang kangkung dengan perasaan ringan seperti pangeran dari kahyangan. Ya, tak satu pun dari puluhan janji yang ditunaikan. Kita tidak tahu, tapi sangat mungkin ia enjoy atas kebohongannya terhadap publik. Toh, para pendukungnya, meskipun harus memeras nurani mereka, tak menuntut. Suara oposisi yang terus dianiaya hanya seperti teriakan di gurun tandus. Tapi penipuan, kebejatan, dan buruk kinerja, tak dapat disembunyikan terus-menerus. Apalagi tanpa kompensasi berupa kesejahteraan dan keadilan sosial bagi semua.
Sepanjang delapan tahun pemerintahannya, rakyat diayun-ayunkan dalam ayunan yang melelahkan. Tiap hari janji dibuat, tapi kehidupan rakyat terus merosot di semua bidang. Tapi tanpa malu, dengan muka badak yang menjijikkan, ingin memperpanjang masa jabatan. Naudzubillah min dzalik! Mimpi apa rakyat semalam. Apakah kita masih kurang menderita sejauh ini? Kemiskinan dan pengangguran meluas, harga bahan pokok terus saja mencekik leher penduduk, pekerjaan sulit, buruh ditindas, sementara oligarki dimanjakan. Lalu, minta tiga periode. Apakah Jolowi tdk berbahaya bagi masyarakat. Harus ada psikiater yang memeriksanya. Ya, harus! Jangan sampai bangsa ini terlambat diselamatkan dari jiwa yang sakit. “Perpanjangan demi menyelamatkan ekonomi rakyat,” kata kaki tangan Jolowi. Apakah kita tidak salah dengar? Kalau delapan tahun kesempatan tak digunakan — sesungguhnya karena ia tak mampu — untuk menyejahterakan rakyat, apakah logis memperpanjang masa jabatan ketika negara semakin sulit diurus akibat inkomprtensi pemimpin?
Sekarang sudah banyak orang yang berteriak bahwa perpanjangan yang diminta bukan untuk kebaikan bangsa, tapi demi ambisi Jolowi yang dikompori orang-orang yang sangat pandai bersiasat untuk kepentingan mereka sendiri. Kebetulan, mumpung Jolowi bodoh tapi ambisius. Seolah presidensinya merupakan karunia dari semua tuhan agama-agama. Rakyat tidak hanya heran pada ambisinya memindahkan ibu kota pada waktu yang tak tepat di atas alasan yang ngawur, tapi juga heran kepada orang yang tak mau heran pada jiwa dan pikirannya sendiri. Jolowi memang lelaki gelap. Ia muncul dari suatu tempat yang tak diketahui ilmu politik dan tak dikenal masyarakat. Mengacaukan akal sehat dan moral publik. Jubah kekuasaannya dirajut para oligark untuk menyembunyikan persekongkolan mereka. Ia bukan anak zaman, bahkan bukan dari masa mana pun. Ia lahir dari irasionalitas yang dirasionalisasi oleh orang-orang yang rasional. Hasilnya: kengerian di mana-mana. Tapi seorang bijak meminta rakyat bersabar sampai 2024 meskipun susah sungguh. Kalau Jolowi sekarang, timbul anarkis, yang bisa jadi makin memperburuk keadaan. Orang bijak yang baru turun gunung itu berkata: Kalau kalian tak keberatan, pertimbangkan sungguh-sungguh kapasitas dan kapabilitas orang yang akan menggantikan Jolo Wilolo. Dia harus antitesa dari Jolowi, yaitu orangnya harus normal, moralis, berpendidikan, anak zaman, dan telah terbukti berprestasi di Jakarta.
Tangsel, 30 Maret 2022