Lieus Sungkharisma: Proses Verifikasi Parpol oleh KPU Rawan Dimanipulasi

Jelang Pemilu 2024, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI, sesuai permintaan Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada 17 Februari 2022 telah merilis nama 75 partai politik (Parpol) yang telah berbadan hukum.

Ke-75 Parpol itu umumnya adalah parpol lama yang sudah ikut pemilu pada 2004 dan 2019, ditambah sejumlah Parpol yang baru dibentuk.

Menyikapi jumlah Parpol berbadan hukum yang cukup banyak itu, Koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak), Lieus Sungkharisma, menyebut hal itu bukan masalah dalam satu negara yang menganut sistem demokrasi.

“UUD kita menjamin hak berserikat dan berkumpul bagi semua warga negara. Jadi, jumlah sebanyak itu tidak masalah. Bahkan Amerika Serikat saja jumlah partai politiknya lebih banyak dari yang ada di negara kita,” katanya melalui siaran tertulis, Rabu (30/3/2022).

Karena itulah Lieus tetap bersikukuh agar Pemilu legislatif (Pileg) dan Pemilu presiden (Pilpres) dibedakan mekanisme verifikasinya, meski tetap dilakukan secara serentak.

“Terlepas dari berbagai argumentasi yang dikatakan banyak orang soal ini, bagi saya presidential threshold 20% yang diatur oleh partai politik itu sangat tidak adil dan hanya rekayasa dari partai-partai politik besar yang ingin terus berkuasa. Seharusnya presidential thresold itu dihapus, sehingga setiap warga negara terbaik bisa mencalonkan dan dicalonkan sebagai presiden,” katanya.

Hanya saja, tambah Lieus, untuk konteks Pileg, baik DPR, DPD, dan DPRD, Parpol memang harus melalui proses verifikasi faktual oleh KPU agar bisa menjadi peserta Pemilu.

“Jadi, boleh saja partai itu sudah lolos administrasi di Kemenkumham dan sudah berbadan hukum, tetapi untuk bisa jadi peserta Pemilu ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhinya, seperti jumlah kantor cabang di daerah, jumlah keanggotaan dan lain-lain,” jelasnya.

Lieus menengarai proses verifikasi oleh KPU rawan dimanipulasi. Oleh karena itu, ia mewanti-wanti agar KPU untuk tidak tidak main-main dalam proses verifikasi tersebut.

“Jangan ada permainan, apalagi “kong kalikong” dalam verifikasi oleh KPU dengan Parpol yang akan akan ikut Pemilu 2024,” tegasnya.

Lieus mengakui, ia menyampaikan hal ini karena mensinyalir ada banyak Parpol yang sesungguhnya tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditetapkan KPU, baik menyangkut keterwakilan kantor cabang di daerah maupun keanggotaan.

Karena itu, ia mengusulkan agar proses verifikasi KPU lebih baik dilakukan secara online dengan menggunakan jasa media sosial atau internet, dan melibatkan partisipasi warga.

“Bayangkan, berapa besar biaya yang harus dikeluarkan jika petugas KPU harus turun ke daerah-daerah untuk melakukan verifikasi yang hasilnya belum tentu juga efektif. Lebih baik KPU membuka ruang partisipasi warga melalui media internet untuk melaporkan apakah Parpol tersebut punya kantor di daerahnya, punya pengurus yang lengkap dan punya anggota sesuai persyaratan yang ditentukan KPU,” katanya.

Seperti diketahui, syarat untuk Parpol mengikuti Pemilu di antaranya harus lolos verikasi faktual, dimana untuk dapat lolos pada tahapan ini, Parpol harus memiliki kepengurusan di 34 provinsi, 75% kepengurusan di tingkat kabupaten/kota, dan 50% kepengurusan di tingkat kecamatan.

Selain itu, Parpol juga diharuskan memiliki anggota yang mencapai 1000 orang atau 1/1000 jumlah penduduk.

Lieus menganggap verifikasi ini sangat penting untuk mendapat perhatian karena sebagaimana dikatakan Ketua KPU Ilham Saputra, pendaftaran Parpol peserta Pemilu 2024 yang dituangkan dalam Rancangan Peraturan KPU (RPKPU) tentang Pendaftaran, Verifikasi dan Penetapan Parpol peserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD sudah akan dibuka pada 1 sampai 7 Agustus 2022.

“Waktu yang mepet itu membuka peluang terjadinya kerja verifikasi yang terburu-buru, sehingga bisa saja verifikasi KPU tidak maksimal. Apalagi masa bakti komisioner KPU 2017-2022 akan habis pada 11 April 2022 mendatang,” kata Lieus.

Karena hal itu, sekali lagi Lieus mengatakan kalau akan lebih efektif jika KPU melibatkan partisipasi rakyat di seluruh daerah dalam proses verifikasi faktual.