Yuridis Formil Edy Mulyadi Tidak Pantas Menjadi Tersangka

Oleh Damai Hari Lubis (Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212)

Nenek Moyang Bukan merupakan Subjek Hukum Pidana

Terkait apa yang dilakukan atau yang diperbuat melalui pernyataan lisan dari Aktivis Muslim Edy Mulyadi dan Kawan – Kawannya sah memiliki payung hukum baik dilakukan secara individual maupun kelompok, aktifitas yang mereka lakukan telah sesuai menurut hukum karena mereka sedang menyampaikan Hak setiap WNI sebagai bentuk Peran Serta Masyarakat dalam melaksanakan Kebebasannya Menyampaikan Pendapat Secara Lisan melalui Perangkat Ite. Hak yang ia sampaikan selaras dengan Pasal 28 e Ayat 3 UUD. 1945 dan tepat merujuk UU. RI No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Jo.UU.RI No. 39 Tentang Hak Asasi Manusia/ HAM

Adapun ucapannya terkait “Kalimantan Tempat Jin Buang Anak” adalah bahasa penyampaian yang dapat diistilahkan tempat yang sepi serta jauh daripada tempat mereka berdomisili di Jakarta yang secara diksi ( tepat dan lazim ) Jakarta merupakan Ibukota Negara yang Ramai sementara pada ketepatan atau lazim Kalimantan adalah kota yang amat jauh lebih sepi, sesuai data faktual dari sudut atau sisi penduduk Jakarta atau Betawi

Selebihnya dari sisi adat budaya Ungkapan “Tempat Jin Buang Anak” merupakan istilah yang sudah membudaya dan sebagai ungkapan umum atau sehari hari didalam interaksi sosial atau sebagai bahasa komunikasi antara sahabat , teman sejawat , keluarga yang menggambarkan sebuah lokasi yang sunyi dan umumnya sepi atau jauh dari keramaian kehidupan manusia pada umumnya

Secara yuridis oleh sebab kalimat tersebut sebagai bagian daripada budaya suatu daerah tertentu atau ” kebiasaan yang terus menerus dilakukan ” Ref. AdatRecht C. van Vallenhopen , maka telah menjelma sebagai adat dan atau kebudayaan sebuah daerah di republik ini yakni Betawi atau Jakarta Ibukota Negara RI daerah yang penduduknya mayoritas berbasis (bahasa ) melayu. Dan menurut bagian ilmu linguistik khususnya semantik ungkapan ” Tempat Jin Buang Anak ” merupakan satire atau bahasa sindiran karena penolakan atau penyampaian keengganan seseorang terhadap sebuah lokasi/ area atau tempat untuk berpergian atau tinggal atau sekedar melewati area/ lokasi dimaksud

Selebihnya lagi oleh sebab ungkapan atau sature ini sudah menjadi bagian dari adat budaya seseorang maka tidak patut untuk menjadi materi objek perkara , oleh sebab bahasa sebuah daerah tidak dapat dipidanakan , atau menjadi objek delik. Nalar sehat serta logika hukumnya adalah, tidaklah mungkin terhadap kakek nenek atau moyang yang membuat atau pertama kali melahirkan istilah ungkapan atau satire dimaksud, dimana secara hukum patut dinyatakan mereka ( nenek moyang ) seluruhnya sudah meninggal dunia atau telah menjadi bangkai yang berbetuk tengkorak, sehingga tidak dapat dipersalahkan lagi atau dalam teori atau asas hukum pidana ” hapusnya unsur tuntutan hukuman tehadap peristiwa pidana adalah salah satunya terhadap orang atau subjek hukum yang sudah meninggal dunia ” ref. Pasal 78 KUHP.

Sehingga oleh sebab payung hukum dan satire sebagai bentuk seni yang berasal ( sudah menjadi ) adat atau budaya , dan tidak ada faktor mens rea atau diolus deliktus oleh sebab topik permasalahan memang nyata ada yakni Kepindahan Ibukota Negara / IKN dari Jakarta ke Senajam – Paser Utara, Kalimantan Timur , Edy dan kawan riil hanyalah sebagian kecil dari banyaknya masyarakat bangsa ini yang menolak kepindahan IKN. Maka secara yuridis formil pada materi Laporan terhadap diri Edy dan Kawan – Kawan tidak dapat dilanjutkan oleh pihak penyidik Polri menjadi bentuk atau sebuah objek pelanggaran apapun atau delik pidana.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News


Baca Juga