Oleh: Yusuf Blegur*
Belakangan ini nasionalisme sering dihadap-hadapkan dengan agama. Dinamika umat Islam Islam cenderung dipoles sebagai ancaman keberagaman. Agama Islam terus dieksploitasi dengan framing kekerasan dan terorisme yang mengancam eksistensi PancaSila dan kelangsungan NKRI. Seiring itu, dengan masih mengidap sistem politik yang memisah relasi agama dengan negara. Fakta-fakta kegagalan menghadirkan kemakmuran dan keadilan bagi rakyat sepanjang republik berdiri. Membuat Islam dan pemberlakuan hukum syariat sebagai alternatif solusi problem kebangsaan, sering dijadikan kambing hitam, justifikasi dan upaya penghianatan terhadap Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI.
Sekelumit Perjalanan Penulis
Tahun 1991, keluargaku pindah dari daerah Semper Timur Cilincing Tanjung Priok Jakarta Utara. Setelah hampir 12 tahun menempati salah satu bangunan di dalam kawasan perkantoran dan pergudangan yang tak lagi aktif, milik Mr. Tong Djoe seorang Taipan kenamaan era Soekarno dan Soeharto jauh sebelum era 9 Naga muncul. Melalui bantuan atasan pada tempat ayahku bekerja, yaitu Nelson Tobing seorang purnawirawan perwira tinggi ABRI dan Guntur Soekarno Putra (putra sulung Bung Karno dari Fatmawati). Ayahku mendapat uang kerohiman dari Mr. Tong Djoe usai tempat tersebut dijual dan tak bisa ditempati lagi. Dari uang itu, keluargaku membeli sebidang tanah dan membangun rumah di daerah perkampungan Kranji Bekasi Barat Kota Bekasi dan tinggal hingga saat ini.
Tepat di tahun 1993 saat usiaku 20 tahun dan setelah 2 tahun tinggal di Kranji, aku dipercaya menjadi ketua Karang Taruna tingkat rw kurun waktu 1993-1996. Hanya aku dan beberapa orang yang berusia 20 tahun dan diatasnya, selebihnya banyak pengurus dan anggota karang taruna yang masih usia SMA bahkan ada yang SMP. Ketika aktif di Karang Taruna inilah aku benar-benar bercengkerama dan bergelut lebih dalam dengan dunia Islam. Aktifitas dalam Karang Taruna itu dan pengajian di beberapa majelis ta’lim, benar-benar membuka ruang akomodasi dan asupan pembelajaran nilai-nilai Islam.
Melalui aktifitas Karang Taruna di Kranji, aku dkk. gencar dan marak menyelenggarakan kegiatan Peringatan Hari Besar Islam (PHBI), selain kegiatan sosial lainnya dalam berbagi dan membantu kalangan Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) masyarakat Kranji. Ada yang menarik saat intens menyelenggarakan kegiatan peringatan hari besar Islam seperti Maulid Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, Isra Mi’rad, 1 Muharram dan perbagai kegiatan keislaman lainnya.
Dengan usia muda yang minim bekal pengalaman, populasi warga perkampungan yang lebih banyak jenjang ekonomi menengah ke bawah dan tiadanya akses atau jejaring ke birokrasi maupun tokoh atau pemimpin-pemimpin sosial dan politik. Alhamdulillah komunitas belia dan masih hijau ini tetap semangat dan berhasil menghidupkan syiar dan dakwah di lingkungan.
Cukup menggemparkan dan mengusik banyak kalangan diluar antusiasme euforia umat Islam. Karang Taruna yang digerakan oleh notabene kumpulan bocah ingusan, mampu menghadirkan para ulama, kyai dan habaib yang dianggap radikal dan fundamental saat itu. Penceramah gahar dan anti Soeharto semacam KH. Abu Hanifah, KH.Habib Idrus Jamalulail, KH. Ahmad Sumargono, Habib Metal dll hadir di kampung Kranji. Saya dibantu kawan yang memiliki mobil Suzuki Carry, berdua yang menjemput dan mengantarkan kembali para dai itu kerumahnya saat acara. Kegiatan tabiqh akbar yang dihadiri ribuan jamaah tak mampu ditampung di musholla dan jalan-jalan kecil pemukiman itu. Setiap kegiatannya memberi warna, api Islam itu seakan selalu hadir di setiap musim kekuasaan dan beragam perangai rezim.
Khotbah yang berisi agitasi dan propaganda sebagaimana Soekarno-Hatta dan para “the founding farhers” yang mengobarkan api perlawanan kolonialisme dan imperialisme yang mengambil peran untuk melahirkan kemerdekaan Indonesia. Tidak hannya menarik massa dari Kranji dan Bekasi saja, warga Jabodetabek juga kerap menghadiri kegiatan-kegiatan tersebut. Tentu saja termasuk tekanan intimidasi dan teror psikologis dari aparat dan birokrasi setempat tak luput menghampiri. Wilayah Kranji khususnya dan Bekasi pada umumnya yang dianggap basis Golkar dan PPP saat itu, sudah pasti menimbulkan reaksi pejabat politik dan pemerintahan, terhadap kegiatan keagamaan penuh spirit amar maruf nahi munkar, meski hanya dilakukan Karang Taruna selevel rw di masa ORBA. Apalagi konten ceramahnya berisi, kalau tidak anti Soeharto ya menolak sistem negara sekuler liberal yang berbungkus Panca Sila dan UUD 1945 saat rezim Soeharto masih begitu kuat dan represif.
Saya, terutama yang dianggap “otak” dari semua kegaduhan kegiatan rohis itu, selalu diawasi dan menjadi langganan dipanggil aparat saat sebelum dan usai, bahkan ketika ribuaan jamaah sudah hadir dan ulama menjelang naik mimbar tabliq akbar itu. Tak kurang babinsa, bimaspol, kodim dan polres hingga lurah dan camat (mungkin juga menjadi perhatian bupati) sering menginterogasi saya. Lucunya, entah karena kepolosan dan atau semangat yang menggebu-gebu karena ikut andil dalam syiar Islam, bukannya takut, kami yang dianggap masih ABG malah jadi tambah bersemangat. Kami semua juga tak percaya namun sekaligus bangga, hanya dengan beberapa anak pelajar mengumpulkan uang dari donasi warga lingkungan yang seadanya, dapat membuat acara fenomenal dan heboh yang logikanya harus menggunakan sumber daya dan pendanaan besar. Alhamdulillah dan in syaa Allah, mungkin karena ada hidayah dan pertolongan Allah yang tak mungkin dalam pandangan manusia, kami bisa mewujudkannya jika Allah berkehendak.
Tanaman Aqidah dan Ghiroh Islam
Menjadi pengalaman yang luar biasa dan tak akan pernah terhapus dari memori spiritual. Sebelum aktif menjadi ketua Karang Taruna RW 02 di Kelurahan Kranji, saya lebih dulu mengenyam pendidikan di Yayasan Pendidikan Soekarno (YPS) pimpinan Rachmawati Soekarno Putri. Bahkan mulai dari SMP hingga SMA, sudah diberikan buku-buku Soekarno dan tokoh-tokoh pemikir dunia. Karena itu saya seperti s udah menjadi poduk YPS dan kader Rachmawati Soekarno Putri. Melalui YPS saya banyak belajar tentang nasionalisme, pertumbuhan kebudayaan dan perbandingan ideologi-ideologi dunia.
Sebelum menjadi mahasiswa, saya berkesempatan belajar dari mentor Bachtiar Ginting yang Islam sosialis (Bagin-pernah Sekjend LKN era orde lama) Yano Bolang, Dicky Soeprapto, Simon Tiranda, John Leumingkeas, dan termasuk berinteraksi dengan Dahlan Ranuwihardja yang nasionalis religius dan pernah Ketum PB HMI. Hanya Bagin yang bisa memengaruhi Cara berpikir dan bertindak saya sampai saat ini, tatkala menggumuli persfektif kebangsaan dari kalangan nasionalis dan relgius itu.
Seiring waktu ketika saya memasuki dunia kampus dan aktifitas pergerakannya. Saya mulai punya banyak kawan dan komunitas aktifis. Sebagai mahasiswa yang keluarganya dikenal dekat dengan keluarga Bung Karno. Saya merasa itu salah satu keberuntungan tersendiri, karena dekat dengan salah satu magnit politik nasional. Terlebih dengan HM. Taufik Qiemas yang membantu menyelesaikan sarjana saya, ketika bea siswa saya dicabut setelah melawan Prof. Sri Soemantro Martosuwignyo dan Tjokropranolo selaku Rektor dan Ketua Yayasan Untag Jakarta. Taufiq Qiemas juga yang membatu sarjana adik-adik saya dan menawarkan saya sebahai komisaris BUMN dan mengambil program S2 ditahun 2001, meskipun saya menolaknya dengan halus. Saat itu saya sudah disebut-sebut sebagai anak asuh taufik Qiemas. Mungkin karena ayah saya sudah dianggap seperti kerabat keluarga Bung karno dan sedikit status aktifis yang ada.
Dinamika aktifitas saya cenderung akrab dan hangat dengan putra-putri presiden pertama RI itu. Apalagi ketika menjadi Ketua Senat Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta periode 1996-1997, aktif di Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ) era 1996-1998 dan terpilih menjadi Presidium GMNI jeda 1999-2002.
Masa-masa itu, saya terlanjur lebih dicap sebagai aktifis nasionalis dan Soekarnois. Citra itu lebih kental dan dominan ketimbang latar belakang lainnya.
Meski ayah saya asli Alor-NTT dimana keluarganya begitu majemuk dan memilik Fam Blegur yang sebagian muslim dan sebagian lainnya non muslim. Saya bersama kakak dan adik, terlalu kuat dibentuk oleh kulutur Betawi asli yang didapat dari Ibu saya. Betapapun makna kebhinnekaan dan kemajemukan sudah tertanam dari keluarga ayah saya, termasuk dari kakek saya Kapitan Ibrahim Amu Blegur, pemimpin di Pulau Pantar. Bagian dari wilayah NTT yang mayoritasnya non muslim.
Saya terus tumbuh dan berkembang justru dibangun oleh pondasi keIslaman hingga menjadi seorang aktifis pergerakan. Kiprah itu bisa dilihat saat banyak mengikuti majelis ta’lim dan interaksi dengan para guru baik dari kalangan kyai, ustad maupun para habaib. Disamping itu juga pernah menjadi ketua dan pengurus remaja Islam musholla dan masjid di lingkungan tempat tinggal. Saat di kampus saya juga pernah menjadi pengurus Mahasiswa Masjid Ar-Roofi Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Hampir 7 tahun aktif di Masjid yang didirikanoleh Yayasan Amal Bakti Muslim Panca Sila milik Soeharto. Di masjid Ar-Roofi ini saya pernah menjadi marbot (yang digaji kampus dan merupakan konversi bea siswa) selama 2 tahun, sebelum terus larut bergerilya kota sebagai aktifis gerakan mahasiswa 98. Padatnya aktifitas kemahasiwaan itu, membuat saya tak bisa mengindar dari tugas sebagai Ketua DPP HIMAH Al Wasliyah, sayap organisasi kemahasiswaan organisasi Islam Al Wasliyah. Pun demikian, pelbagai keintiman dan kedalaman menyelami pembelajaran Islam itu, tak melengserkan karakter nasionalis yang kadung melekat. Sampai saat ini saya masih kental dianggap kader GMNI yang nasionalis dan Soekarnois oleh banyak kalangan relasi.
Kini setelah melewati jejak rekam itu, tatkala memasuki usia yang tak muda lagi. Saya terasa berat dan sulit menghilangkan tabiat pergerakan itu. Terutama sebagai bagian dari kesadaran sosial warga negara dan pernah menjadi aktifis. Sejauh ini belum pernah menemukan dan mengalami realitas ketika nadionalis dan agama khususnya Islam dipertentangkan seperti sekarang ini. Equivalen dengan Panca Sila dan UUD 1945 yang marginal. Islam seolah-olah menjadi musuh negara yang justru ada sebagai mayoritas dan ikut membidani kelahiran NKRI dengan energi dan pengorbanan besar. Saya tidak tahu apakah ini karena konspirasi jahat global atau memang sekedar begitu sontoloyo pengelola lokal negeri ini.
Saya tidak tahu dan tidak perduli lagi seperti apa julukan kepada saya soal keberadaannya di pendulum ideologi itu. Apakah ada di kanan, atau di tengah, atau mungkin di kiri yang Marxis. Bagaimana karakeristik saya sebagai seorang nasionalis atau Islam atau mungkin kiri sekalipun yang diyakini tertentu identik sebagai sosialisme dalam Islam. Saya juga mengalami tudingan penghianat di kalangan nasionalis atau teralienasi dari barisan nasionalis soekarnois. Apapun tendensi semua itu mengarah, saya hanya tahu saya seorang muslim. Bahkan saat sebelum dilahirkan, pada usia 4 bulan ketika masih janin dalam kandungan, sesungguhnya saya telah berkomitmen Islam. Saya dan seluruh umat Islam di dunia hakekatnya telah melakukan konsensus sekaligus ikrar hanya menyembah Allah Subhanahu Wa Ta’Ala dan keimanannya kepada ajaran Islam, jauh sebelum mengenal ideologi dan belajar paham-paham lain, saat terlahir dan melakukan “show of force” kesombongannya di muka bumi ini.
Alhamdulillah dan in syaa Allah, saya menjunjung tinggi keberadaan Panca Sila dan NKRI. Berusaha menyatu dalam setiap ikhtiar membela dan memperjuangkan masa depan Indonesia sekuatnya dari penjajajahan imperilaisme dan kolonialisme gaya baru. Akan tetapi lebih utama dari itu, saya juga tak akan bisa memaafkan diri sendiri jika melihat dan membiarkan ada penindasan terhadap umat Islam yang republik ini lahir dari rahimnya.
Mungkin inilah sekedar catatan ideologis dari seorang aktifis Islam yang nasionalis yang terus dirundung kegelisahan dan kegetiran dari disparitas agama dan nasionalis yang teeus berseteru. Sementara di sisi yang lain, predator atas nama kapitalisme dan komunisme menjadi maut dan siap memangsa negeri ini mulai dari pondasi, pilar dan struktur kebangsaan yang ada.
Pada akhirnya, ditengah tradisi memelihara kesadaran kritis dan eling. Saya lebih memilih berada di luar “comport zone” dan tetap menghindari berada dalam sistem kekuasaan, dengan siapapun rezimnya hingga akhir hayat. Penulis lebih memilih jalan pengabdian sebagai Pekerja sosial Masyarakat (PSM) yang sudah digeluti lebih dari 20 tahun di bawah Kementerian Sosial RI. Sambil konsisten menyampaikan aspirasi arus bawah, sesekali berkreasi menggugat dan membangun perlawanan bersama elemen perubahan lainnya. Tak lagi seperti masih menjadi aktifis pergerakan, saya sekarang hanya mampu bersuara lantang dan tajam melalui kata-kata yang tertulis. Aneka tulisan yang berusaha mengangkat rasa Islam esensi dan substantif, juga menyengat beraroma nasionalis.
Terimakasih, semoga dapat memberi hikmah siapapun yang membacanya. Terlepas sisi baik buruknya dan makna hitam putih goresannya yang tertuang.
Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.