Ada indikasi kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) Gaya Baru dan penyusupan kadernya di berbagai lembaga negara.
“Bangkitnya PKI Gaya Baru, berawal dari perubahan Hari Lahir Pancasila, yang secara konstitusional diakui tanggal 18 Agustus 1945 diganti secara sepihak menjadi tanggal 1 Juni 1945, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016,” kata Majelis Mujahidin dalam pernyataan kepada wartawan yang ditanda tangani Irfan S. Awwas/Ketua, M.Shobbarin Syakur/Sekretaris. Menyetujui:Al-Ustadz Drs. Muhammad Thalib (Amir Majelis Mujahidin).
Majelis Mujahidin mengatakan, perubahan dan penetapan Hari Lahir Pancasila diikuti dengan anomali (penyimpangan) kebijakan pemerintah, yang mengarah kepada prahara ideologis yang dipaksakan melalui visi, misi dan program aksi pembelokan sejarah bangsa Indonesia. Termasuk keputusan pemindahan ibu kota negara ke Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, yang hanya menghamburkan uang negara, dan bukan solusi atas problem nasional, seperti disintegrasi bangsa, kesenjangan sosial, atau pemerataan infrastruktur.
“Pembelokan sejarah kelahiran Pancasila, dikhawatirkan akan disalahgunakan oleh kelompok masyarakat yang berideologi Trisila dan Ekasila dalam mewujudkan Indonesia ke depan, sebagai turunan dari ideologi Gotong royong yang berporoskan Nasakom,” ungkap Majelis Mujahidin.
Majelis Mujahidin mengatakan, PKI tak jera membuat makar jahat, ia kemudian berkolaborasi dan menyusup ke berbagai parpol dan ormas, terutama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pimpinan Megawati Soekarno Putri, yang memiliki kedekatan ideologis sesuai amanat Presiden Soekarno.
Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PDIP pada Kongres PDIP ke IV, 9-12 April 2015, merubah Pancasila menjadi trisila dan ekasila yang bertentangan dengan Pancasila rumusan final tanggal 18 Agustus 1945. Trisila terdiri dari sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan yang terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong.
Majelis Mujahidin mengatakan, BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila) yang memiliki wewenang menyusun Garis-garis Besar Haluan Ideologi Pancasila dan Peta Jalan pembinaan ideologi Pancasila, berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
“BPIP getol menyuarakan anti khilafah dan radikalisme, tapi tidak pernah bersuara tentang adanya Parpol yang merongrong ideologi Pancasila, juga bungkam terhadap munculnya indikasi bangkitnya PKI Gaya Baru. BPIP justru bertindak sebagai Badan Propaganda Ideologi Pancasila 1 Juni 1945, yang menjadikan agama dan umat beragama sebagai musuhnya. Hanya komunitas anti Tuhan yang memusuhi agama,” jelasnya.
Indikasi Kebangkitan PKI Gaya Baru, kata Majelis Mujahidin munculnya RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) yang kontroversial dan RUU BPIP yang secara terang benderang mengerdilkan Pancasila dan merongrong dasar negara Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dibongkarnya patung para jenderal anti PKI, Soeharto, Sarwo Edie dan AH. Nasution pada diorama operasi penumpasan G.30S/PKI 1 Oktober 1965 di Museum Dharma Bhakti Markas Kostrad atas permintaan Letjen TNI (Purn) Azmyn Yusri Nasution dan direstui Pangkostrad baru Dudung Abdurachman.
“Ada abuse of power dari Pangkostrad yang seharusnya menjaga dan memelihara aset negara, apalagi bernilai penting bagi sejarah perjuangan TNI menumpas PKI,” jelasnya.
Majelis Mujahidin mengatakan, hegemoni pemerintah komunis China mengancam kedaulatan NKRI, dan menjadi spirit bagi ekstrim kiri di dalam negeri untuk bangkit menyuarakan aspirasi anti tuhan dan anti agama. Ditambah lagi semakin banyak imigran China dengan status TKA (Tenaga Kerja Asing) membanjiri Indonesia membuat mereka lebih percaya diri untuk berbuat makar.
Upaya menghapus jejak sejarah melalui buku “Kamus Sejarah” terbitan Kemendikbud, secara sengaja mengeliminer dan mendistorsi peran sejarah para tokoh gerakan Islam, sebaliknya menonjolkan peran gembong PKI.
“Pengarah buku tersebut, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid membela sejarah versi PKI, menyalahkan Orde Baru dan TNI, bahkan tidak mengakui PKI melakukan kudeta, malah memosisikan PKI seakan-akan korban. Hilmar menyebut kudeta berdarah G30S tanpa PKI,” pungkasnya.