Menguji Hasil Investigasi Insiden Kebakaran Kilang Balongan Secara Logis

Uncategorized

Oleh: Defiyan Cori (Ekonom Konstitusi)

Tidak mudah menyimpulkan sebuah kejadian kebakaran yang menimpa sebuah obyek, bisa dipastikan sangat rumit dan cukup pelik. Bukan saja permasalahan terkait pencarian sumber api yang menyebabkan kebakaran obyek tersebut, namun juga seberapa masuk akal hubungan kecepatan meluasnya kebakaran dengan sumber penyebabnya. Ini adalah bagian awal saja dari sebuah kejadian kebakaran yang menjadi subyek sebuah tim investigator maupun aparat berwenang dalam melakukan penyelidikannnya secara menyeluruh.

Namun, sebagai sebuah kesatuan unit yang saling terhubung berdasar ilmu manajemen dan organisasi perusahaan, maka aspek perencanaan dan pengendalian sangatlah terkait dalam sebuah organ perusahaan. Apalagi suatu obyek adalah vital dan sangat rentan terhadap aspek keselamatan, keamanan dan kenyamanan dalam lingkungan pekerjaan, semestinya berbagai peralatan antisipasi atau perlindungan keamanan dan keselamatan bagi subyek dan obyek vital telah dilakukan sejak dini, bahkan saat terjadi kebakaran. Kalau semua peralatan dalam rangka mengantisipasi resiko yang mungkin terjadi telah dibangun dan diterapkan sesuai Standar Operasi dan Prosedur (SOP), maka simpulan apapun dari tim investigator atas sebuah insiden menjadi masuk akal (reasonable) publik menerima, memahami dan memakluminya simpulan hasil tim investigator yang telah melakukan penyelidikan. Permasalahannya, apakah memang demikian yang terjadi atas insiden kebakaran kilang Balongan milik PT. Pertamina!?

*Penangkal Petir Dan Asuransi*
Terkait insiden kebakaran kilang milik BUMN Pertamina di RU VI Balongan, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat pada dini hari Senin, tanggal 29 Maret 2021 yang lalu hasil temuan investigasi telah disampaikan secara luas. Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Subholding Refining & Petrochemical Pertamina Djoko Priyono menyatakan telah melakukan investigasi oleh 4 (empat) instansi independen eksternal, yakni dari B2TKS, Pusat Penelitian Petir LAPI ITB, Ditjen Migas ESDM, dan Net Norske Veritas (DNV). Dan, mayoritas hasil temuan tim investigator menyebutkan, bahwa kebakaran terjadi akibat kebocoran dinding di tangki G dengan penyebab yang berbeda-beda, namun simpulannya hampir sama, yaitu terkena sambaran petir.

Tentu saja, logika terkena sambaran petir harus diuji dulu terkait antisipasi apa yang telah dilakukan oleh BUMN Pertamina, dalam hal ini PT. KPI sebagai sub holding. Benarkah peralatan penangkal petir selama ini telah terpasang dan melalui pemeliharaan standar yang memadai? Apabila mengacu pada informasi pemasangan sejumlah 124 penangkal petir di kilang Balongan yang telah mengalami kebakaran baru dilakukan, maka premis umum logis yang dapat digunakan hanya ada 2 (dua) yaitu kebakaran terjadi karena memang sebelumnya tidak terpasang alat penangkal petir atau peralatan ada namun tidak berfungsi atau telah rusak.

Maka, dengan logika dan kejadian antisipasi yang terlambat itu biasanya pihak Pertamina akan kesulitan melakukan klaim terhadap pihak asuransi. Klaim asuransi ini merupakan langkah akhir manajemen dan organisasi sebuah perusahaan untuk menyelamatkan harta kekayaan dalam bentuk kompensasi apabila menghadapi kejadian diluar kemampuan manusia (force majeur). Itupun kalau memang ikut dalam kepesertaan dan melakukan pembayaran premi asuransi secara berkala, kecuali sebaliknya. Jika hal inipun tidak berjalan baik, maka kerugian BUMN Pertamina sebagai akibat kebakaran kilang Balongan yang dinyatakan oleh tim investigator disebabkan oleh sambaran petir menjadi berlipat ganda.

Pemasangan penangkal petir setelah kejadian kebakaran dengan disertai oleh hasil tim investigator dari lembaga yang sangat banyak (termasuk pembiayaan yang besar), apakah mungkin dan masuk akal pihak asuransi akan memenuhi klaim penyebab kebakaran disebabkan oleh PETIR?