Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Mengingati pernyataan Prof Suteki, rasanya bukan hanya advokat yang musti berfikir progresif. Kaum intelektual dan akademisi, juga harus berani menembus sekat-sekat tirani birokrasi, untuk dapat bebas menyuarakan kebenaran, dan meruhanikan ilmu dalam denyut nadi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Negara sedang tidak baik, itu kondisinya. Banyak yang merasakan, itu juga keadaannya. Namun, sedikit sekali yang berani bicara. Karena sikap diam itulah, penguasa mendapatkan sandaran legitimasi untuk berlaku lebih tirani.
Teori-teori dan ilmu yang dimiliki, bukanlah sekedar dijual dalam ruang kampus, untuk mendapatkan kompensasi gaji setiap bulannya. Bukan sekedar diadu dengan pengetahuan mahasiswa, namun harus berdialektika dengan kehidupan.
Bagaimana mungkin, anda merasa berada dipuncak ketinggian ilmu, padahal Anda hanya mendapatkan respons berupa anggukan kepala mahasiswa ? Saat Anda berdialektika dengan kehidupan, Anda bukan hanya dibantah, Anda bahkan akan dipersalahkan. Bahkan, kekuasaan mampu merubah keyakinan akan ilmu yang Anda banggakan. Anda, pada suatu ketika akan mengatakan 2+3 adalah 30. Itulah, saat Anda tak menggembleng ilmu untuk beradu dengan kekuasaan yang tiran.
Anda, tak layak disebut guru yang bisa ‘digugu’ lan ‘ditiru’. Anda, hanya akan menjadi kaset kusut yang diperdengarkan dihadapkan mahasiswa, diruang kelas, dengan bahasa berulang dan sangat membosankan.
Sudah saatnya Anda bangkit, keluar dari ruang kelas, dan lihatlah kondisi bangsa. Refleksi kan dengan teori-teori dan ilmu yang anda miliki. hasilnya ? anda pasti akan teralienasi.
Atau mungkin, Anda telah lama geram, ingin berteriak, tetapi setiap kali Anda garam, setiap kali itu pula tenggorokan Anda tersumbat. Anda, sebenarnya hanya butuh sedikit keberanian, untuk mengubah keadaan hanya dengan suara yang Anda teriakan.
Coba bayangkan, jika semua kaum intelektual dan akademisi berteriak, maka keadaan tidak akan seperti ini. Kita semua butuh sinergi, janganlah menjadi kaum bani Israel, yang meminta Musa berjuang, sementara mereka duduk duduk santai menunggu hasilnya.
Saya memanggil Anda, wahai kaum intelektual dan akademisi Indonesia. Bersuaralah, sebagaimana lantangnya suara Anda membisingkan ruang kelas.
Bersikap kritis lah, sebagaimana Anda meminta mahasiswa membantah teori yang anda sampaikan, agar ada dialektika tesis dan antitesis, sehingga menghasilkan sintesis. Keluarlah dari ruang kelas, dan lihat lah betapa bangsa ini membutuhkan Anda.
Kami, segenap rakyat Indonesia menunggu baktimu. Kami, segenap rakyat Indonesia menunggu perjuangan mu. Kami, segenap rakyat Indonesia menunggu suaramu.