[Catatan Diskusi PeradabanIslamID, dengan tema ‘Pilih-Pilih Syariah Islam, Ada Apa ?’]
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah
Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) gila.”
(QS. Al Baqarah: 275)
Saat Gus Uwik, Host Diskusi menanyakan, apa sesungguhnya yang terjadi pada rezim, sehingga mengambil syariah Islam tentang wakaf uang, namun pada kesempatan yang bersamaan mengkriminalisasi Khilafah, mengkriminalisasi Dinar Dirham, bahkan bertindak zalim kepada umat Islam. Kenapa, rezim masih ‘memiliki muka’ hingga harus meminta Waqaf uang tunai kepada umat Islam ?
Dengan mengutip QS al Baqarah ayat 275 diatas, penulis menyatakan rezim ini ‘Gila’. Sebab, kalau masih waras tentu punya malu meminta dana waqaf pada umat Islam, namun pada kesempatan yang bersamaan bertindak zalim terhadap umat Islam.
Rezim ini sedang kalap, kesetanan karena tekanan beban utang riba yang sudah mencapai angka Rp 6.000 Triliun. Pendapatan dari pajak sulit diandalkan, sementara kewajiban pembayaran bunga utang, pengeluaran rutin seperti belanja pemerintah untuk gaji pegawai, bayar gaji TNI, gaji Polri, itu wajib. Ada tidak ada kas di APBN, belanja tetap ini wajib dikeluarkan.
Belum lagi sejumlah alokasi untuk sejumlah proyek mercusuar dalam bidang infrastruktur telah sampai pada progres tertentu yang harus dibayar. Negara, banyak kebutuhan, banyak tagihan, banyak pengeluaran, padahal kantung APBN negara lagi kosong, lagi bokek.
Hal itulah, yang penulis duga kuat pemerintah mengeluarkan kebijakan kalap, kesetanan, menarik wakaf uang tunai, tapi mengkriminalisasi Dinar Dirham, mengkriminalisasi ajaran Islam Khilafah, mengkriminalisasi Jilbab anak sekolah, berbuat zalim kepada ulama dan umat Islam.
Padahal, sebagaimana dituturkan Bang Asyari Usman, Presiden Jokowi pernah menyebut di kantongnya ada dana Rp. 11.000 Triliun. Kalau dana itu ada, tentunya pemerintah tidak perlu gulirkan program wakaf uang tunai, apalagi menetapkan kebijakan pajak pada pulsa dan Token listrik.
Kondisi itu, tak perlu penelaahan dari seorang yang ahli ekonomi. Awam pun mampu menyimpulkan, Negara sedang tongpes (Kantong Kempes). Begitu, kata Bang Asyari Usman.
Pada kasus Zaim Saidi misalnya, kenapa Negara begitu ‘Garang’ pada Dinar Dirham, tapi begitu santuy pada Yuan Reminbi ? Bahkan, ada asuransi China yang akan beroperasi dengan transaksi pembayaran premi menggunakan Yuan Reminbi.
Kenapa, Negara tak berdaya melihat rupiah tunduk pada dolar, pada sejumlah transaksi yang terjadi di Bali ? Kenapa Negara tidak mempersoalkan Bit Coin ? E Money dan sejumlah instrumen pembayaran non uang lainnya ? Kenapa hanya Dinar Dirham yang dipersoalkan ?
Kantong pemerintah memang sedang kosong, meskipun defisit APBN dibuat hingga 1.000 Triliun, Pemerintah boleh mencari utang berapapun dan kemanapun. Namun, nampaknya Menkeu Sri Mulyani gagal mencari utang, baik melalui instrumen utang luar negeri maupun utang dalam negeri. Padahal, utang riba negara telah mencapai angka Rp. 6000 Triliun.
Ada desain yang terstruktur, sistematis dan masif melalui sejumlah kebijakan pemerintah untuk menjauhkan syariat Islam dari umatnya. Dari kebijakan sekolah tak boleh mengadopsi aturan berpakaian agama tertentu, kriminalisasi penggunaan Dinar dan Dirham dalam transaksi perdagangan, semua ini bisa ditafsirkan rezim sedang menganut islamophobia yang akut.
Padahal, jika Islam diterapkan secara kaffah pemerintah tak perlu ‘Ngemis’ wakaf uang kepada rakyat. Pemerintah bisa mengambil alih seluruh tambang yang dikuasai individu, swasta, asing dan aseng, sebagai sumber pembiayaan APBN. Pemerintah tak perlu terus bertumpu pada pajak dan utang untuk membiayai APBN.
Itulah, sekelumit pikiran yang penulis sampaikan dalam forum kajian diskusi online Channel PeradabanIslamID pada Kamis, 4 Februari 2021. Selain penulis, ada Bang Ansyari Usman (Konsultan Politik, Wartawan Senior) yang hadir sebagai Narasumbernya. Sementara, Kyai Ustman Zahid berhalangan karena ada kendala teknis. [