Para pembela Islam menggunakan cara-cara komunis ketika berseteru lawan-lawan politik mereka dari kalangan umat Islam. Mereka mencela, mencaci maki, mem-bully, membuat dan menyebar hoaks serta memfitnah guna membunuh karakter lawan. Puncaknya, menggunakan ancaman kekerasan.
Demikian dikatakan pengurus LD PWNU Jabar Ayik Heriansyah dalam artikel “Pembela Islam Gaya Komunis”.
Kata Ayik, para pembela Islam tetapi menggunakan cara-cara komunis. Bahkan kadang lebih komunis ketimbang komunis yang sesungguhnya. “Miris memang,” ujar mantan aktivis HTI ini.
Menurut Ayik, para pembela Islam menggunakan ajaran, simbol dan jargon agama sebagai modus bagi kepentingan politik. “Mereka memandang kaum muslim yang berbeda pendapat, pemahaman dan ijtihad politik sebagai musuh. Halal darah, harta dan kehormatannya, layaknya orang kafir harbi,” papar Ayik.
Selain itu, ia mengatakan, komunisme tidak mensyaratkan penganutnya menjadi atheis, sehingga komunisme diperjuangkan juga diperjuangkan oleh orang-orang yang beragama dan berlatar belakang keluarga agama yang kuat.
Misalnya Tan Malaka. Tan Malaka tokoh komunisme Indonesia yang hadir di Kongres Komunis Internasional ke-empat pada tanggal 12 Nopember 1922 di Moskow. Tan Malaka mengusulkan kerjasama dengan kelompok Islam dalam melawan imperialisme.
Kata Ayik, Muso yang memimpin pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 adalah anak seorang Kiai di Kediri. D.N. Aidit berasal dari keluarga Muhammadiyah di Tanjung Pandan Belitung. Bapaknya guru ngaji. Aidit sendiri sering adzan di masjid dekat rumahnya. “Haji Miskin di Padang dan Haji Misbah di Solo, dua orang haji yang menjadi aktivis Partai Komunis Indonesia. Mereka semua komunis tapi bukan atheis,” paparnya.
Ayik mengatakan, kelompok komunis tidak memanfaatkan agama sebagai topeng perjuangan. Mereka memusuhi ulama, kiai dan ustadz karena berlawanan dengan kepentingan ideologi komunisme, yang dianggap bagian dari antek-antek kapitalisme. Bukan karena kebencian mereka kepada agama dan Tuhan.