Menyoal Pro-Kontra HRS, Antara Politik Identitas & Politik Substansial

Oleh: Abdurrahman Syebubakar
Ketua Dewan Pengurus IDe

Tulisan ini tidak mengupas ihwal “pribadi” Habib Rizieq Shihab (HRS) dan sepak terjangnya dalam berdakwah, menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, dengan segala kontroversinya.

Semua sudah paham dengan tafsir masing-masing, sesuai preferensi politik dan nuansa ideologi. Kelompok oposisi dan barisan “Islam politik” cenderung pro-HRS. Sebaliknya, mereka yang pro-rezim Jokowi dan alergi “Islamisme” hampir pasti anti-HRS. Tentu rezim sendiri tidak nyaman dengan hadirnya HRS dalam ruang politik informal di tanah air.

Belakangan, pro-kontra terkait sosok HRS telah menguras energi publik, terutama sejak kepulangannya dari “pengasingan politik” di Arab Saudi. Istana panik dan dengan kekuatan penuh menetralisir gegap-gempitanya sambutan pendukung HRS dan membuncahnya harapan mereka atas perjuangan HRS dalam melawan ketidakdilan, yang dibranding sebagai revolusi akhlak.

Tak ayal, barisan di belakang rezim bergejolak. Cukong, buzzerrp, ulama plat-merah, intelektual pemburu uang dan jabatan, koalisi parpol pemerintah dan para pendukung fanatik tidak tinggal diam. Segala cara dan siasat dimainkan guna meredam pengaruh dan mendiskreditkan pribadi HRS.

Menurut saya, semua akrobat politik tersebut tidak penting dan tidak produktif bagi rakyat.

Keriuhan soal baliho/spanduk HRS, definisi akhlak Islam versi penguasa atau ulama plat-merah, soal nasab habib (keturunan nabi), mazhab dan manhaj Islam HRS dlsb, sudah harus dihentikan.

Sebaliknya, rakyat berhak disuguhi informasi atau perdebatan berkualitas, menyangkut hajat hidup mereka di berbagai sektor – ekonomi, sosial, politik, hukum dll.

Sudah saatnya ruang publik dijejali perdebatan substansi terkait kritik dan perlawanan politik HRS. Apakah kritik HRS memiliki pijakan rasional dan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan? Atau sejauh mana kritik dan perlawanannya relevan dengan kondisi dan persoalan yang kita hadapi?

Sebut saja upaya makar Pancasila melalui RUU HIP yang memeras Pancasila menjadi TriSila dan EkaSila serta monopoli tafsirnya melalui proyek Pancasila versi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). HRS juga kerap melayangkan kritik terhadap merajalelanya oligarki dan korupsi serta menggunungnya utang negara dengan beban yang ditimpakan kepada rakyat. Belum lagi menyebut kembalinya watak rezim otoriter dan represif, dibarengi penegakan hukum diskriminatif dengan mempersekusi dan mengkriminalisasi kelompok oposisi. HRS sendiri menjadi korban rekayasa politik “chat mesum” yang telah memaksanya tinggal di Arab Saudi selama 3,5 tahun.

Kerusakan yang lain adalah soal kooptasi lembaga-lembaga negara, baik legislatif maupun yudikatif, pelumpuhan KPK, UU Omnibus Law pesanan pemodal yang menindas hak-hak buruh, UU Minerba yang memanjakan korporasi dan mengancam lingkungan, UU Korona No.2/2020 yang membuka jalan korupsi politik dan menancapkan kekuasaan totaliter.

Pada saat yang sama, terdapat puluhan juta rakyat menderita lapar kronis, serta ratusan juta miskin dan nyaris miskin. Terlebih dihantam badai krisis akibat pandemi Covid-19, rakyat miskin dan rentan miskin makin menderita.

Semua isu tersebut, yang dikritik HRS secara lantang maupun tersamar, merupakan “fakta keras” pembusukan dan kerusakan yang terjadi selama 6 tahun terakhir. Dan telah menjadi keprihatinan berbagai kalangan termasuk kelompok aktivis pro-demokrasi, organisasi masyarakat sipil, tokoh-tokoh masyarakat lintas SARA, dan barisan oposisi rakyat. Bahkan, kaum buruh dan mahasiswa yang dianggap mati suri telah bangkit, melakukan perlawanan sengit terhadap pengesahan UU Omnibus law dengan melakukan demo berjilid jilid.

Dus, apa yang dikritik dan dilawan HRS memiliki alasan obyektif yang mestinya menjadi agenda kolektif seluruh komponen bangsa yang peduli dengan nasib rakyat, terlepas dari SARA dan spektrum ideologi.

Untuk itu, sebaiknya HRS mengamplifikasi isu-isu krusial tersebut, dengan “ekspresi politik inklusif”, yang merangkul kelompok oposisi lainnya. Tidak perlu terpancing merespon isu-isu recehan atau serangan yang bersifat peribadi dan SARA, selama tidak mengganggu integritas moral HRS. Kalaupun harus ditanggapi, cukup diwakilkan kepada lingkaran dekat HRS untuk memberikan klarifikasi terukur agar tidak menimbulkan kegaduhan.

Saya mengusulkan dalam catatan IDe sebelumnya, HRS yang telah mewujud sebagai “entitas politik,” perlu membangun sinergi dan kerjasama yang lebih luas, dengan kalangan luar dan dalam lingkaran politik formal, lintas agama dan ideologi.

Dengan kaum buruh dan elemen mahasiswa, misalnya, HRS bisa membuka komunikasi dan kemitraan guna menolak UU Omnibus law. Dalam perang melawan oligarki, korupsi, dan politik gentong-babi (pork-barrel politics), HRS perlu memperluas jangkauan kerjasama dengan jejaring aktivis pro-demokrasi dan anti-korupsi. Menguatnya otoritarianisme rezim juga dapat menjadi agenda perlawanan bersama antara HRS dan komponen-komponen lain dari berbagai latar belakang.

Di sisi lain, berbagai kelompok dengan spektrum ideologi berbeda dari HRS sudah waktunya untuk membuka ruang dialog dan kerjasama. Demi kemaslahatan dan masa depan bangsa, sentimen atau kecurigaan politik identitas di antara semua pihak sebaiknya dikesampingkan. Sebaliknya, isu-isu substansial menyangkut hajat hidup orang banyak dapat menjadi platform bersama (common platform) dalam menghadang kekuatan jahat politik oligarkis dan korup yang telah membusuki hampir seluruh sektor dan lini kehidupan bangsa Indonesia.

Dalam hal ini, bukan berarti kita menutup mata atas eksistensi politik identitas yang merupakan fakta sosiologis dan terkesan menyeruak ke permukaan, terutama sejak reformasi. Kendati sempat tiarap di masa orba akibat tekanan rezim Soeharto, politik identitas dengan ragam ekpresinya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari realitas politik Indonesia.

Memang, politik identitas bukan monopoli negara-negara berkembang seperti Indonesia. Negara-negara maju pun tidak luput dari cengkeraman politik identitas. Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, dll di bawah naungan sekularisme tidak imun dari pengaruh politik identitas dalam bentuk dan nuansa yang berbeda beda.

Francis Fukuyama, ilmuan politik terkemuka asal Amerika Serikat, dalam bukunya “Identity: the Demand for Dignity and the Politics of Resentment 2018” menegaskan kembali argumen yang telah dikemukakannya selama ini, bahwa nasionalisme dan agama [politik identitas] tidak akan lenyap dalam percaturan politik dunia. Pasalnya, politik identitas adalah ungkapan kebutuhan non-material “human dignity” yang menuntut pengakuan dan penghargaan dari negara. Menurut Fukuyama, pengakuan atas human dignity (harkat-martabat manusia) tidak dapat dipenuhi dengan instrumen ekonomi semata, tetapi membutuhkan respon menyeluruh dan non-diskriminatif.

Tanpa menafikan sisi negatifnya, politik identitas bukanlah persoalan utama yang kita hadapi, tetapi sistem/kelembagaan politik oligarkis yang bersenyawa secara negatif dengan kepemimpinan tidak kompeten, korup dan represif. Kombinasi dua anasir jahat ini (malevolent authoritarianism) memproduksi berbagai ketidakadilan. Pada gilirannya, ketidakadilan melahirkan penderitaan dan ketersisihan (sebagian) rakyat, yang dapat mendorong kebangkitan politik identitas.

Berbagai ulasan teoritis dan hasil kajian ilmiah telah banyak mengungkap penyebab negara gagal. Bagaimana kemiskinan, ketimpangan, kelaparan, kematian massal serta penderitaan lainya termasuk konflik yang tak berkesudahan, dibiarkan bahkan diproduksi oleh negara.

Benang merahnya adalah persenyawaan antara sistem dan kepemimpinan politik menjadi faktor paling menentukan terhadap jatuh bangunnya suatu negara bangsa (lihat antar lain Sen dalam Development As Freedom 1999; Chomsky dalam Failed States: The Abuse of Power and the Assault on Democracy 2006; Acemouglu & Robinson dalam Why Nations Fail 2012; Fukuyama dalam The Origins of Political Order 2011, dan Political Order & Political Decay 2014; Stiglitz dalam the Great Divide; dan Levitsky & Ziblatt dalam How Democracies Die 2018).

Simak berita dan artikel lainnya di Google News