“Markas FPI di Petamburan Disemprot Polisi Pakai Disinfektan.” Begitu sebuah media membuat judul beritanya.
Di media sosial, video dan foto-foto petugas penyemprot di kawal petugas bersenjata, bertebaran dengan cepat.
Bagi yang paham pemasaran (marketing) politik, penyemprotan itu tidak hanya dilihat sebagai langkah dan tindakan kesehatan semata.
Aksi itu adalah sebuah strategi marketing politik. Sebuah tahapan demarketing sedang dijalankan.
Ya, semua ribut-ribut yang terjadi dalam dua pekan terakhir, sejak kepulangan Habib Rizieq Syihab (HRS), secara marketing dan komunikasi politik menjadi sangat menarik untuk dicermati.
Mulai dari pencopotan baliho oleh prajurit TNI dari Kodam Jaya. Pengumuman bahwa kawasan Petamburan, Markas FPI sebagai klaster baru penyebaran Covid-19.
Kedatangan petugas polisi, TNI, dan Satpol PP ke rumah HRS pada malam hari untuk swab. Sampai penyemprotan disinfektan. Tujuannya sangat jelas.
Membentuk persepsi masyarakat bahwa apa yang dilakukan pendukung FPI salah. Tidak patuh pada aturan dan pemerintah. Membahayakan masyarakat.
Tidak mematuhi aturan. Seenaknya sendiri. Disimbolisasi dengan pencopotan baliho.
Tidak mematuhi protokol kesehatan. Membahayakan kesehatan masyarakat. Disimbolisasi dengan penyemprotan disinfektan dan permintaan swab.
Coba perhatikan. Petugas mendatangi rumah HRS untuk melakukan swab, pada malam hari. Di atas pukul 22.00 Wib. Memberi kesan ada situasi yang sangat darurat.
Bersamaan dengan itu media memberitakan dengan besar-besaran. Para buzzer bekerja. Mereka menyebar kabar HRS dan keluarganya positif Covid-19.
Para buzzer juga memperkuat dan mengamplifikasi pesan itu.
Ramuan ajaib yang selama ini terbukti ampuh, kembali dimainkan: HRS dan FPI radikal, intoleran, membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Spanduk penolakan atas HRS disebar dimana-mana. Unjukrasa juga digelar di beberapa kota.
Adanya operasi demarketing politik ini tampaknya sangat disadari oleh FPI dan para pendukungnya.
Mereka segera menyebar file-file lama. Anggota FPI di beberapa daerah melakukan penyemprotan disinfektan di gereja.
Salah satu foto menunjukkan anggota FPI sedang menyemprot sebuah ruangan dengan patung Yesus di latar belakangnya.
Foto itu sangat ikonik. Loud and clear.
Secara visual target dari penyebaran foto-foto ini sangat jelas. Counter opini.
FPI ingin menunjukkan bahwa mereka sangat sadar dengan protokol kesehatan, sekaligus bukan kelompok radikal yang intoleran.
Pada video yang beredar, memperlihatkan anggota FPI baru saja merenovasi rumah seorang janda di Sumatera Utara. Sang janda beranak empat itu beragama Nasrani.
Yang lebih seru lagi adalah video lama Tito Karnavian sedang pidato dalam sebuah forum FPI. Video itu diedarkan dengan dibubuhi berbagai narasi.
Video itu kelihatannya diambil saat Tito Karnavian masih menjadi Kapolda Metro Jaya. Hubungannya dengan FPI sedang mesra-mesranya.
Tito memuji kegiatan yang dilakukan oleh FPI.
Menurutnya, stigma FPI radikal, intoleran, identik dengan tindak kekerasan, merupakan label yang dibuat media.
Bagaimana dengan isu HRS positif Covid?
FPI membuat strategi jitu dengan menyebarkan video. Dia sedang asyik bermain dengan cucunya.
Jadi bahan kajian
Perang strategi marketing politik, demarketing Vs image building yang terjadi antara pemerintah Vs FPI ini menarik untuk dicermati. Bisa jadi bahan kajian.
Narasi siapa yang paling kuat. Pesannya ditangkap dan dipercaya publik?
Bagi pemerintah dan TNI, harus disadari mereka tidak hanya berhadapan dengan HRS dan para pendukungnya.
Masuknya Pangdam Jaya dan TNI dalam medan perang opini dengan HRS, membuat tanduk masyarakat sipil, termasuk para senior TNI langsung berdiri.
Mereka waspada tinggi. Alarm tanda bahaya menyala.
Tindakan itu bisa ditafsirkan sebagai langkah awal kembalinya Dwifungsi TNI.
TNI kembali ditarik-tarik dan masuk ke tugas pokok dan fungsi institusi sipil.
Tak kalah seriusnya, tindakan itu juga merupakan tanda-tanda sangat serius. Rezim telah Jokowi menjelma sebagai penguasa otoriter.
Menggunakan militer untuk menekan lawan-lawan politiknya.
Gubernur DKI Anies Baswedan membuat sindiran sangat cerdas.
Dia memposting fotonya sedang membaca buku: How Democracies Die karangan Daniel Ziblatt dan Steven Levitsky.
Reaksi masyarakat sipil yang begitu luas, tampaknya disadari oleh Istana dan Mabes TNI.
Mereka segera membantah. Tidak pernah memerintahkan Pangdam menurunkan baliho, apalagi membubarkan FPI.
Masalahnya, mereka juga tidak secara terbuka menyalahkan, apalagi mengecam dan mengambil tindakan agar Pangdam Jaya segera menghentikan langkahnya.
Peribahasa Jawa menyebut perilaku istana ini sebagai “nabok nyilih tangan.” Memukul dengan memakai tangan orang lain.
Mau makan nangkanya, tapi tidak mau kena getahnya.
Dari sisi marketing politik, publik adalah konsumennya. Voters, pemilih yang harus dimenangkan hatinya.
Produk apa dan strategi pemasaran mana yang bisa memenangkan persepsi publik?
Anda, para pembaca semua yang memutuskan. end
Hersubeno Arief
sumber: facebook hersubeno arief