Anies Unggah Foto Baca Buku ‘How Democracies Die’, PDIP DKI Anggap Gimik


Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedanmengunggah foto sedang membaca buku berjudul ‘How Democracies Die’ di media sosialnya. PDIP DKI meminta Anies tidak terlalu banyak gimik dan lebih fokus pada penanganan pandemi Corona (COVID-19).



“Daripada memperbanyak gimik, saran saya, Pak Anies lebih tekun dan konsentrasi saja sama penanganan COVID-19 di Jakarta yang meningkat tajam akhir-akhir ini, buah dari ketidaktegasan beliau,” kata Wakil Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Ima Mahdiah kepada wartawan, Minggu (22/11/2020).





Selain itu, Ima menilai seharusnya Anies fokus ke pembahasan masalah di DKI ketimbang menyampaikan gimik politik seperti ini. “Dan juga pembahasan APBD 2021. Itu lebih penting daripada menyampaikan pesan-pesan politik seperti ini,” tegas Ima.



Terkait dengan buku ‘How Democracies Die’ yang dibaca Anies di sela akhir pekannya, Ima berharap Anies belajar banyak dari buku itu terkait bahaya politikus berada di barisan yang sama dengan kelompok ekstremis.



“Jika dibaca sampai habis, Levitsky dan Ziblatt di buku itu benar-benar menjelaskan bagaimana berbahayanya jika politisi yang pragmatis dan oportunis bisa bergandengan tangan dan satu barisan dengan kelompok ekstremis. Semoga Pak Anies bisa belajar banyak dari buku tersebut,” tutur Ima.



Diketahui, pagi tadi Anies mengunggah foto dia memakai baju koko berwarna putih dan sarung berwarna cokelat. Anies membaca buku berjudul ‘How Democracies Die’ sambil duduk menyilangkan kaki. Ia duduk di depan rak buku yang menjadi latar belakangnya.



Baca juga:  Warga Kristen Bongkar Kelompok Klaim Paling Toleran Ujungnya Ajukan Proposal Donasi ke Pengusaha

Buku ‘How Democracies Die’ merupakan karya penulis profesor Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Buku tersebut membahas beberapa pemimpin di dunia yang terpilih melalui Pilpres tetapi lekat dengan label ‘diktator’.



Dalam bukunya, mereka mencatat bahwa kemunculan beberapa pemimpin diktator justru merupakan hasil dari pemilu. Demokrasi mati bukan karena pemimpin diktator yang memperoleh kekuasaan lewat kudeta, melainkan justru yang menang melalui proses pemilu.



Setidaknya hal ini mereka catat saat Donald Trump, yang diusung oleh Partai Republik, menang pada Pilpres Amerika Serikat tahun 2016. Trump unggul atas kandidat Partai Demokrat, Hillary Clinton. Padahal banyak lembaga survei lokal yang memprediksi kekalahan Trump. Trump diduga kuat menang karena berhasil memainkan isu rasisme kulit hitam dan menebarkan ketakutan melalui hoax.



Baca juga:  Pasca Pembakaran Poster HRS bisa Dimanfaatkan Petinggi Polri Naik Jabatan

Begitu terpilih, Trump langsung mengeluarkan pernyataan kontroversial yang semakin memunculkan kesan dia sebagai diktator. Beberapa di antaranya pernyataan perang yang diumumkan lewat akun Twitter pribadinya, rencananya membangun tembok perbatasan Meksiko-Amerika Serikat; kebijakan luar negeri Korea Utara dan Afghanistan yang memicu perang; reformasi pajak; sikapnya arogan pada media yang mengkritiknya, ketidakpercayaannya pada fenomena perubahan iklim; hingga yang paling kontroversial soal pengakuan Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel.



Pada buku ‘How Democracies Die’, selain di Amerika Serikat, Brasil, Filipina, dan Venezuela, fenomena ‘soal pemimpin yang menang pemilu namun terkesan diktator’ ini terjadi di beberapa negara lain, misalnya Peru, Polandia, Rusia, Sri Lanka, Turki, dan Ukraina.



(Detikcom)