Oleh: M Rizal Fadillah
Nikita Mirzani ramai dibicarakan gara-gara melecehkan HRS yang pulang dari Saudi. Abu Janda berakting jingkrak-jingkrak menggendangi. Mirzani dilindungi Polisi karena reaksi Ustad At Thuwailibi.
Nikita pernah ditangkap di Hotel Kempinsky dalam kasus prostitusi. Publik pun ikut mengamati.
Berbagai video kini beredar membuka data melengkapi perilaku pelecehan yang dilakukan Mirzani. Ada tampilan saat berfoto sexy hingga memberi uang pada tukang parkir yang berujung pada fose tak senonoh. Sepertinya telah hilang rasa malu pada dirinya. Berucap dan berbuat semaunya.
Negeri Mirzani hanya sebutan saja, untuk menggambarkan situasi negeri yang juga telah hilang rasa malu. Uang telah mampu membeli kehormatan. State dignity yang tergadaikan karena kebutuhan pembiayaan. Siapa pun boleh memakai asal bawa uang. Soal kooptasi atau aneksasi itu hanya konsekuensi.
Ada tiga indikator karakter dari kondisi ini, yaitu :
Pertama, terjebak pada kesenangan duniawi semata. Sukses ditentukan materi. Nilai-nilai spiritual, ruhani, dan agama terpinggirkan. Anggapannya hal itu urusan nanti, sukses saat ini yang lebih penting. Time is money, time for an infrastructure ‘boost’.
Kedua, negeri kekuasaan berbagi. Bagi-bagi kekuasaan atas dasar balas jasa. Cukong mendapat bagian proyek, relawan dapat Komisaris dan lain jabatan berduit, partai mendapat Menteri, rangkulan koalisi juga dapat bancakan. Kekuasan bersama ‘gotong royong’. Satu lubang rame-rame.
Ketiga, aparat berebut foto selfie dengan Mirzani cukup ironi. Aparat yang bernyanyi “habibana” dianggap melanggar disiplin dan diborgol Polmil. Tetapi sejumlah aparat yang berfoto bersama Nikita dengan ceria malah dibiarkan. Mestinya sama terkena sanksi. Artinya Negeri Mirzani adalah negeri ketidakadilan.
Revolusi mental gagal, revolusi moral dan akhlak adalah pilihan. Meski butuh penjabaran dan konsistensi.
Nikita Mirzani bebas berbuat semaunya dan dilindungi. Menunjukkan cara penyelesaian masalah dengan masalah. Terus bertumpuk tanpa solusi. Pemerintah bikin pusing sendiri dan rakyat pun semakin jengkel.
Badut dan pelacur politik bahagia berjoget-joget.
Bu Mega, benar kata banyak orang bahwa bukan Jakarta yang amburadul tetapi Negeri Mirzani pimpinan Pak Jokowi yang harus segera dibenahi. Disikat dan dicuci.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 15 November 2020