Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang baru saja disahkan DPR tidak berpihak kepada rakyat.
“Sebuah UU yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat kebanyakan,” kata Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fahira Idris dalam pernyataan kepada wartawan, Rabu (7/10/2020).
Menurut Fahira, rakyat juga resah dan khawatir atas dampak yang akan mereka alami atas disahkannya UU ini. “Situasi seperti ini berpotensi menggerus ‘sistem imun’ rakyat. Fokus kita jadi terpecah-pecah akibat disahkannya RUU tersebut,” jelasnya.
Jauh-jauh hari sebelum disahkan, Fahira sudah meminta agar RUU Cipta Kerja yang menyangkut hajat hidup orang banyak ini ditunda dulu pembahasannya setelah pandemi bisa dikendalikan.
Fahira mengatakan, DPD lewat PPUU juga pernah menyampaikan penolakan terhadap klaster Ketenagakerjaan dan mengusulkan untuk kembali ke UU eksisting. Namun, karena keterbatasan wewenang DPD yang sesuai UU MD3 yang tidak diberi kewengan mengambil keputusan membuat semua upaya tersebut tidak seperti yang diharapkan.
Menurut Fahira, sebuah RUU yang mendapat penolakan luas, bahkan bukan hanya dari kalangan buruh, petani, nelayan, civil society, mahasiswa, akademisi tetapi juga ditolak organisasi-organisasi keagamaan besar, menandakan RUU tersebut mengandung banyak persoalan.
Kata Fahira, harusnya Pemerintah maupun DPR memformulasikan ulang draft RUU Cipta Kerja dengan melibatkan sebanyak mungkin partisipasi publik atau mengedepankan prinsip keterbukaan. Bukan malah tergesa-gesa mensahkannya.
“Niat ingin mempercepat kesejahteraan rakyat dengan memperbaiki secara mendasar iklim investasi dan memudahkan rekrutmen tenaga kerja yang muaranya membuat pertumbuhan ekonomi melalui Omnibus Law sah-sah saja. Namun, jika niat tersebut dicapai dengan meniadakan aturan-aturan lain yang juga sangat penting maka mungkin saja pertumbuhan ekonomi naik, tetapi semu karena tidak merata dan berpotensi meninggalkan jebakan bagi generasi mendatang,” pungkasnya.