Cokro TV Milik Pendukung Jokowi Dukung Komunis?

Di samping membersihkan PKI dari kudeta berdarah di Indonesia, Cokro TV juga membuat opini bahwa bahaya Laten DI/TII lebih mengancam dari laten PKI. Alasannya korban yang dihasilkan dari DI/TII lebih besar dari PKI. Baik di tahun 1948 maupun 1965.

Demikian artikel yang ditulis Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Depok dan Alumni IPB-UI, Nuim Hidayat dalam artikel berjudul “Cokro TV Dukung Komunis”

Menurut Nuim, dalam opininya yang ditonton 128 ribu orang itu, Eko Kuntadhi mengecilkan bahaya PKI. Pemberontakan PKI 1948 di Madiun menurutnya hanya memakan korban 268 orang. Sedangkan pemberontakan PKI 1965 cuma menelan korban 10 orang ditambah 50 orang di Banyuwangi Jawa Timur.

“Eko Kuntadhi membandingkan dengan pemberontakan DI TII. Yang menurutnya membelot dari negara Indonesia yang sah. Mereka ingin mendirikan negara dengan pemerintahan yang berdasar Islam. Mirip dengan kaum khilafah sekarang,” tulis Nuim.

Nuim mengatakaan, Eko Kuntadhi di Cokro TV mengatakan, korban DI TII di Jawa Barat saja sekitar 22 ribu orang. Jauh lebih besar dari korban PKI. Menurut Eko, PKI itu cuma hantu. “Untuk menakut-nakuti saja. Seperti kuntilanak. Nggak ada kan kuntilanak yang mencekik kita? ungkap Eko.

Yang membesar-besarkan PKI bangkit lagi ini hanyalah Gatot, Amien Rais dan lain-lain. PKI gak mungkin bangkit lagi. Uni Soviet sudah runtuh dan Jerman Timur Jerman Barat sudah menyatu.

“Yang riil musuh di sekitar kita sekarang ya DI TII yang muncul dalam bentuk gerakan khilafah. Itu ada di sekitar kita sekarang dan korbannya juga banyak, terang Eko.

Nuim mengatakan, analisa Eko ini absurd dengan tidak menyebut Cina yang masih kukuh dengan ideologi komunismenya. Partai Komunis Cina adalah partai tunggal yang mengendalikan 1,4 milyar rakyat Cina. Begitu perkasanya partai itu, sehingga banyak politisi kita terkecoh dan belajar komunia di Beijing.

“Jadi bangkitnya komunis bukan hantu kosong. Selain itu data-data yang disampaikan Eko -gerombolan Ade Armando dan Denni Siregar ini– juga banyak yang ngacau. Korban akibat keganasan PKI di Madiun diduga kuat ribuan. Di samping cara pembunuhan yang kejam, PKI saat itu telah mendirikan Republik Soviet di Madiun,” kata Nuim.

Kata Nuim, DI yang diproklamirkan Kartosuwiryo tahun 1949 itu adalah didirikan di wilayah Belanda sesuai dengan Perjanjian Reniville. Dimana saat itu yang diakui hanya wilayah Yogyakarta saja. Dan saat itu Kartosuwiryo cs tidak mau menyerah kepada Belanda dan mundur dari Jawa Barat.

“Sebenarnya ketika DI diproklamirkan tokoh Islam Mohammad Natsir telah menyarankan Soekarno agar menyelesaikannya dengan perundingan atau damai. Natsir juga mengirim surat yang diantar oleh Ahmad Hasan kepada Kartosuwiryo agar membatalkan proklamasi DI itu. Tapi surat Natsir terlambat tiga hari setelah proklamasi,” jelasnya.

Jadi DI sebenarnya tidak memberontak di wilayah RI tapi di wilayah Belanda. Dan tentara DI terpaksa perang karena perintah Soekarno untuk memerangi DI.

Kata Nuim, gerakan-gerakan khilafah saat ini bukanlah kelanjutan dari DI. Gerakan khilafah sekarang muncul kebanyakan dari kaum muda yang jenuh dengan sistem kapitalis. Gerakan yang ingin menggantikan dominasi Amerika di dunia. Gerakan ini adalah gerakan damai, tidak menghancurkan NKRI dan tidak dirancang dengan metode kekerasan atau pembunuhan. Jadi bohong bila Eko menyatakan bahwa gerakan khilafah ini menimbulkan banyak korban.

“Lihatlah gerakan khilafah yang diserukan HTI atau FPI. Apakah ada korban jiwa dari gerakan mereka? Bila dulu ada korban, karena waktu itu FPI agresif perang terhadap preman dalam rangka amar makruf nahi mungkar. Apalagi konsep khilafah FPI adalah penggabungan negeri-negeri Islam. Konsep ini malah akan memperkuat dan memperbesar NKRI,” pungkasnya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News