Oleh: Giyanto H Prayatino
CEO HastaNews
Sebelum meneliti siapa Soeharto saat itu, kita lihat literatur dan kenali dulu siapa-siapa Jenderal yang menjadi korban PKI, literatur yang akurat berdasarkan fakta bisa dilihat di ANRI.
Semua yang diculik PKI adalah satu gerbong dengan Nasution dan Yani. Kesemuanya Deputy dan Assisten Menpangad plus satu (1) Brigjen pimpinan Oditur Militer (Mayjen Anm Sutoyo). Rombongan inilah yang sering berhadapan dengan PKI, saat pertemuan satu meja di kabinet ataupun pada pertemuan/rapat kenegaraan lainnya.
Bisa dibayangkan betapa benci dan dendamnya PKI kepada kelompok petinggi militer ini. Bersama Pak Nas, pak Yani dan para Deputy serta asisten ini secara kompak sering bersitegang dan menentang apa-apa yang diusulkan PKI. Hingga kadang PKI tidak berkutik dibuatnya.
PKI terlihat akrab bersama Bung Karno (BK) dalam Nasakom, punya klaim pengikut hingga 10 juta massa, memiliki puluhan Underbow binaan.
Dari yang namanya CGMI, SOBSI, PR, BTI, Fadjar Harapan, Pemuda sosialis Indonesia, Lekra, hingga Gerwani, namun saat itu ABRI tidak gentar menghadapi segala manuver-manuver PKI. mereka dengan tegas selalu melawan usulan-usulan PKI yang dinilai membahayakan Pancasila.
Negara saat itu mempunyai lebih dari 10 Menteri yang mendukung PKI, dan juga punya banyak anggota Parlemen karena menduduki peringkat ke-4 di Parlemen sebagai Legislator alias Anggota DPR RI.
PKI tinggal berhadapan dengan ABRI agar bisa memuluskan rencananya menguasai Pemerintahan Negara ini bila Bung Karno Wafat.
Namun berulang kali usaha-usaha mereka patah, saat berhadapan dengan orang yang mereka sebut dalam fitnahan Dewan Jenderal.
Dewan Jenderal merupakan sebutan untuk sebuah kumpulan khayalan PKI, dengan maksud agar dipropaganda-kan sebagai grup Jenderal penentang Bung Karno.
Sebenarnya tidak ada istilah Dewan Jenderal dalam negara kita saat itu. Isu Dewan Jenderal sengaja dihembuskan PKI, namun fakta nyata saat itu menunjukkan bahwa para Jenderal yang dituduh PKI tersebut rupanya semuanya adalah Jenderal yang menentang PKI, mereka Jenderal yang sangat Pancasilais dan mencintai Bangsa serta patuh pada pemerintah yang sah.
Sejatinya mereka bukan seperti yang dituduhkan PKI, yaitu diam-diam menentang Soekarno. Agar BK dan rakyat membenci mereka, maka PKI mengkondisikan agar fakta sesungguhnya bisa dibalik menjadi fitnahan untuk Dewan Jenderal, hingga ada alasan menyudutkan Pak Nas, pak Yani dan rekan. Bahkan membunuh mereka.
Soeharto yang berada di luar gerbong tidak dianggap anggota Dewan Jenderal. Soeharto memang berpangkat Mayjen, namun bertugas menjadi Panglima Kostrad.
Beliau berada di tengah pasukan, bukan berada di dalam pemerintahan. Otomatis PKI tidak memandang beliau sebagai sosok militer yang berbahaya.
Sekarang renungkan dan baca baik-baik secara logika yang sehat. Inilah contoh nyata sepak terjang Para Jenderal yang membuat PKI naik pitam. Pada awal 60-an, untuk melawan (baca: membendung) agitasi PKI maka ABRI membentuk Partai Politik bernama Golongan Karya, saat itu PKI dengan menggunakan Bung Karno berhasil memfitnah Masyumi dan Murba sampai-sampai BK membubarkan 2 Partai yang menjadi saingan PKI ini.
Terbentuknya Golkar membuat PKI kesal, sebab sangatlah sulit untuk dihancurkan karena pendirinya para Jenderal aktif.
Selanjutnya ketika kampanye Dwikora yang mengeluarkan resolusi perang Ganyang Malaysia, inilah momen bagi PKI membentuk sukwan sukwani alias sukarelawan perang, dengan harapan kelak bisa mereka manfaatkan seperti Tentara Rakyat Komunis di China saat melakukan revolusi.
Namun sial bagi PKI, kekuatan dan kecerdasan intelejen MT.Haryono, Suprapto, S.Parman, dan Panjaitan membuat ABRI tidak terlalu mendukung perang itu.
Kita saja tahu bahwa Perang Ganyang Malaysia itu akibat provokasi PKI terhadap BK, agar mendapat bantuan senjata dan dana dari RRC, apalagi Jenderal intelejen ABRI saat itu begitu ketat memperhatikan segala gerak gerik PKI.
Hingga provokasi dan segala giat PKI mampu terbaca oleh ABRI, dan akhirnya konfrontasi dengan Malaysia tidak terlalu serius dijalani dan didukung oleh ABRI
Pertentangan terhadap PKI bersambung, Nasution dan Yani serta rekan-rekan kembali kompak dan keras menolak usulan angkatan kelima Buruh Tani.
Ini adalah sebuah usulan gila karena PKI meminta pada BK agar buruh tani dipersenjatai oleh Negara. Petinggi ABRI sontak menolak, karena ABRI mencium adanya gerakan persiapan pemberontakan dibalik usulan ini jika Negara menyetujuinya.
ABRI juga melihat ada gelagat/niat PKI untuk membentuk pasukan bersenjata yang ilegal untuk memperkuat posisi mereka, gerakan ini tercium, dan serta merta ABRI menolak keras, meski usulan itu dibalut alasan untuk perang menghadapi Malaysia.
Belum lagi saat Brigjen Panjaitan menyita 50 ribu pucuk senjata mencurigakan selundupan dari RRC di Tanjung Priuk, senjata itu yang merupakan pesanan PKI, betapa hancurnya hati petualang-petualang Aidit, Syam, Nyoto, Sakirman, Lukman, Nyono, Sudisman, Latief.
Hingga saking bencinya Sakirman maka dia memasukkan nama adiknya S.Parman agar turut dihabisi juga, karena S.Parman adalah Asisten Jend Yani.
Contoh lain adalah ketika begitu kerasnya statemen Ahmad Yani perihal pembunuhan Pelda Sujono, anggota TNI di Bandar Betsi, Sumatera Utara oleh segerombolan Komunis, Yani dalam pidatonya memerintahkan kepada semua Prajurit angkatan darat untuk “Asah Sangkurmu” dan bersiap menghadapi Komunis dan segala kemungkinan yang akan terjadi.
Artinya Yani memproklamirkan persiapan perang terhadap PKI.
Puncaknya, PKI yang merasa sudah sangat dekat dengan Bung Karno kaget plus sakit hati, saat BK pun pernah mengatakan bahwa pengganti dia kelak adalah Yani. Aidit dan Syam panik luar biasa, apalagi Tim Dokter RRC mengatakan bahwa umur BK tidaklah lama lagi, antara mati atau lumpuh total.
Aidit berkehendak menjadi Presiden. Namun BK berkehendak lain. Di luar dugaan BK berniat menyerahkan Negara Kepada Yani, tidak kepada Aidit.
Artinya kalo Yani jadi Presiden maka kecil harapan PKI untuk menguasai atau berkiprah di negara ini. Sangat susah mereka meloloskan niat untuk mengubah Pancasila dan menjadikan Komunis sebagai ideologi Negara.
Dan pasti barisan S.Parman cs sebagai Deputy dan Assisten tadi semakin solid menentang PKI.
Soeharto walaupun seorang Mayor Jenderal saat itu, namun beliau tidak selalu bersama Nasution dan Yani karena lebih banyak bersama Pasukannya di Kostrad. Dia tidak ada urusan untuk berdebat dan menentang secara frontal seperti Pak Nas dan Yani karena Soeharto bukan memegang jabatan yang mengharuskan dia untuk selalu mendampingi Pak Nas atau Yani.
Soeharto tidak termasuk barisan ABRI yang bisa menganulir tiap usulan sesat PKI di pemerintahan. Begitupun Brigjen Oemar Wirahadikusuma dan Kol Sarwo Edhie dan juga para Pangdam teritorial lainnya. Semua rata-rata berpangkat bintang Jenderal.
Belum lagi ditambah dengan para Kepala Staf 3 Angkatan lain, kecuali Oemar Dhani yang memang terlibat PKI. Semuanya adalah Laksamana, Komodor dan Jenderal. Namun mereka semua bukan Deputy dan Assisten dari Nasution maupun Yani.
PKI bergerak gegabah, dengan menganggap bahwa jika barisan Nasution dan Yani mereka hancurkan lantas, semua pasukan ABRI akan mampu mereka kuasai. Karena gerakan mereka tidak diridhoi Allah SWT, maka rencana gagal total. Rakyatpun tidak mendukung gerakan kudeta ini.
Mereka teramat tidak pintar dengan menganggap kalo kepala sudah ditundukkan maka badan dan ekor akan takluk.
PKI lupa bahwa ketika menghantam kepala kalajengking maka seketika buntut ekornya balas ganas menyerang dengan sengatan beracun membunuh.
Ketika Pasukan gabungan dikerahkan Soeharto merangsek masuk ke wilayah Lubang Buaya, para dedengkot PKI panik. “Kita sudah kalah” ujar Brigjen Suparjo pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965.
” Jawa tengah akan berbicara teman-teman” balas Sjam Komaruzaman.
Sedang Letkol Untung sepanjang hari hanya diam termenung dan sorenya kabur ke Tegal.
Perhitungan PKI sangat buruk. Semakin parah kelakuan mereka dengan alih-alih percaya diri menangkap Jenderal tertinggi ABRI, di rumah Nasution, Tjakrabirawa hanya mampu menembak Balita kecil (Ade Irma gugur 6 Oktober 1965 setelah dirawat intensif), Prajurit Tjakra Kopral Hagiono memuntahkan 5 peluru menembus Balita Kecil itu, di halaman depan, pasukan menembak mati Polisi muda Satsuit Tubun, dia yang hanya piket pengawal di rumah Waperdam J Leimena, kebetulan bersebelahan dengan rumah Pak Nas.
Berlanjut saking gobloknya mereka tidak mampu membedakan mana Panglima ABRI dan mana Ajudannya. Pierre Tendean-pun mereka bawa dan di aniaya hingga gugur di Lubang Buaya.
Setelah lolos dari maut, selanjutnya Nasution bergabung dengan Soeharto untuk menyusun strategi melawan PKI. Andai Soeharto terlibat PKI maka tidaklah mungkin Pak Nas mau bergabung ke beliau dan bermarkas di Kostrad, serta bahu membahu menghantam PKI.
Dan jika memang Soeharto mendukung atau terlibat dengan PKI lantas apa ada saksi hidup saat itu yang melihat Soeharto bersama PKI, paling tidak apakah ada photo/dokumen yang menunjukkan dia bersama dan berkumpul bersama Aidit atau dengan pimpinan PKI lain?
Dari sini saja bisa pelajari lagi.
Jika memang Soeharto tidak dibunuh karena terlibat PKI, maka tidak masuk akal kenapa sepanjang perjalanan gemilang PKI sejak 1948 hingga 1965 tidak ada satu photo-pun atau dokumen tentang kebersamaan petinggi-petinggi PKI bersama Soeharto.
Hanya fakta yang bisa memastikan fitnahan terhadap Soeharto ini benar atau tidak. Dan tidak ada fakta yang bisa menunjukkan keterlibatan Soeharto meski hanya selembar photo atau secarik dokumen.
Kemudian, dalam persidangan Subandrio dan Oemar Dhani serta yang lainnya, apa ada kesaksian mereka yang jelas menyebut Soeharto bagian dari mereka.
Karena untuk mengakui hal itu sangatlah dimungkinkan mengingat para terdakwa semuanya tipis harapan untuk lolos dari hukuman mati. Bagi mereka eksekusi mati sudah pasti, lantas mau apa lagi jika tidak mau jujur.
Nyatanya tidak ada kesaksian dari mereka tentang keterlibatan Soeharto.
Kesimpulan yang didapat, posisi Soeharto dianggap tidak penting, begitupun Pangdam DKI Umar dan Kasal RE Martadinata meski semua mereka adalah Jendral dan Laksamana setingkat Jenderal.
Dan PKI bertindak langsung mengumumkan bahwa kekuasaan ABRI sementara diambil alih oleh Letkol Untung. Hal ini disampaikan pada pagi hari 1 Oktober 65 di RRI.
PKI memperhitungkan bahwa semua Jenderal lain akan mematuhi pengumuman itu. Tapi perhitungan mereka salah besar.
Justru Soeharto dan rekan-rekan yang menghancurkan mereka.
Jadi tuduhan yang berkembang bahwa Soeharto tidak diculik karena terlibat PKI adalah omong kosong belaka, tuduhan memutar balik fakta khas komunis, ditambah lagi keturunan dan simpatisan PKI dendam terhadap sikap heroik Soeharto dalam membumi hanguskan semua unsur-unsur yang mengandung Komunis, Marxis dan Leninsme.
Asumsi sederhana yang didapat yakni, kasus Soeharto tidak bisa disamakan ketika kejadian pada Marsekal Oemar Dhani dan Brigjen Suparjo. Kedua Jenderal ini terlibat G30S/PKI, jadi memang tidak mungkin diculik dan dibunuh.
Sangat berbeda dengan Mayjen Soeharto dan Brigjen Umar Wirahadikusuma dan Laksamana RE. Martadinata yang tidak terlibat PKI, mereka tidak dibunuh karena dianggap remeh PKI, dalam teori mereka cukup hanya bunuh semua pimpinan mereka di Mabes ABRI dan otomatis yang lain langsung tabik tunduk.
Antara Soeharto dan mereka memang sama-sama berpangkat Jenderal dan sama-sama tidak diculik, namun yang membedakan mereka adalah status ideologi yang dianut.
Dan Soeharto tidak berhaluan Komunis. Soeharto Pancasilais dan militer sejati, tidak ke kanan dan ke kiri.
Setelah kekalahan telak PKI. Hanya simpatisan dan keturunan PKI yang selalu melontarkan asumsi negatif mengapa Soeharto tidak diculik, mereka juga menghembuskan isu bahwa Soeharto menjadi bagian dari pelaku G30S/PKI.
Menekan Negara agar minta maaf pada PKI sekaligus mendogma anak negeri agar menerima faham ini dengan mengubah fakta pada buku pelajaran sejarah sekolah, dengan menghapus sejarah kelam G30S/PKI.
Jika memang Soeharto berhaluan Komunis dan juga terlibat G30S/PKI, maka mengapa sepanjang 32 tahun berkuasa, secara luar biasa Pancasila sangat dijunjung tinggi.
Entah berapa kali kami dulu diharuskan ikut Penataran P4.
Pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) masuk dalam kurikulum wajib di Ebtanas, mata kuliah Kewiraan di Universitas juga musti lulus. Belum lagi Resimen Mahasiswa dan ABRI masuk Desa digalakkan demi keamanan Negeri dari bahaya Laten komunis.
Jika ikutan test Tentara, Polisi atau PNS, dipastikan harus lulus test Mental Ideologi dan sedikitpun tidak mentolerir jika peserta terindikasi laten walaupun keluarga jauh yang pernah terlibat, meski hanya simpatisan PKI.
Jika merujuk dari cerita bahwa Soeharto tahu akan ada penculikan, saya fikir Jenderal lain juga sudah tahu, Jenderal Yani pun sudah tahu namun dia dan Pak Nas menolak agar pengamanan di rumah mereka ditambah.
Dan juga sangat tidak logis jikalau hanya gara-gara mengetahui lantas langsung dituduh terlibat, mengingat kondisi Soeharto pada hari-hari kelam tersebut disibukkan oleh kejadian putranya yang masuk RS akibat tersiram air panas kuah Sup.
Secara militer-pun Soeharto pasti tidak terlalu khawatir sebab dia tahu bahwa PKI tidak memiliki pasukan bersenjata.
Soeharto baru mengetahui bahwa PKI memdoktrin Pasukan Tjakrabirawa menculik rekan-rekannya dari Pernyataan Letkol M Untung di RRI. Awalnya Soeharto berfikir tidak mungkin PKI dan antek-anteknya mampu menculik Para Jenderal.
Intinya, yang menuduh Soeharto tidak diculik subuh itu adalah simpatisan PKI. Sebagai Bangsa yang besar seyognyanya melindungi nama baik Pahlawan.
Sebaiknya Bangsa Indonesia menghargai jasa Soeharto yang menyelamatkan Indonesia dari Komunis.
Andai PKI berhasil maka Negara ini dipastikan mirip dengan Korea Utara. Semoga negeri ini cerdas dalam melawan sebuah propaganda fitnah. — AN/FER —
Referensi: Dari berbagai sumber
(Infokomando)