Riwayat ‘Kemesraan’ Soekarno dan Komunis

Oleh: Muhammad Syafii Kudo

Ketika mendirikan PNI di tahun 1927, Bung Karno mengatakan bahwa beliau bermaksud meneruskan perjuangan PKI, yang di tahun 1926 dan 1927 itu mengalami hamukan tabula rasa dari pemerintah kolonial Belanda.

Sejak saat itu hingga kini, kerjasama antara Bung Karno dan PKl, sebagai sesama pencinta, pembela dan penegak kemerdekaan tanah air, selalu baik. (Kata Awal dalam buku Subur, Subur, Suburlah PKI; Pidato Presiden Soekarno Pada Rapat Raksasa Ulang Tahun Ke 45 PKI).

Kutipan itu sengaja penulis kutip di tengah panasnya pro kontra Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang dinilai kontraproduktif di tengah pandemi wabah yang masih melanda Indonesia.

Dari beberapa pasal yang kontroversial di dalam RUU HIP tersebut, ada hal yang dinilai paling menimbulkan polemik, yakni Naskah Akademik pada halaman 5 yang mengutip pernyataan Presiden Soekarno dalam Pidato 1 Juni 1945 yang menyatakan dari perasan lima sila menjadi satu, yakni gotong royong,  menegaskan bahwa semua sila Pancasila itu adalah semangat gotong royong.

Prinsip ketuhanannya harus berjiwa gotong royong (ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran), bukan ketuhanan yang saling menyerang dan mengucilkan.

Dan pada pasal ke 7 dalam RUU HIP  itu disebutkan bahwa;

(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/ demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.

(2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.

(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.

Perasan 5 sila yang berujung pada ekasila itulah yang akhirnya dinilai publik sebagai tindakan “merubah” Pancasila itu sendiri.

Yang makin diperparah dengan dimasukannya frasa Ketuhanan yang berkebudayaan menggantikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Serta tidak dicantumkannya TAP MPRS XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang.

Dan harap diingat bahwa PKI dahulu juga bersepakat dengan perjuangan Gotong Royong. Maka menjadi konsekuensi logis jika publik terutama umat Islam makin marah pada RUU HIP tersebut.

Karena dianggap membuka  luka lama dan sejarah kelam bangsa ini yang pernah ditikam oleh PKI.

Penafsiran “Gotong Royong” pun perlu dikritisi. Sebab jika ditilik dari beberapa draf kontroversial dalam RUU HIP tersebut, disinyalir ada upaya menghidupkan kembali sistem gotong royong ala NASAKOM tempo dulu.

Gotong Royong menurut KBBI adalah saling bekerja bersama-sama; tolong-menolong; saling membantu.

Tidak ada batasan dalam gotong royong menurut definisi KBBI tersebut. Artinya gotong-royong (Ta’awun) itu bersifat umum, bisa dalam hal kebaikan dapat juga dalam hal keburukan.

Sedangkan di dalam Al Qur’an telah jelas bahwa kita diperintah untuk saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan saja dan dilarang saling membantu dalam dosa dan kejahatan.

Menurut Syeikh Muhammad Mutawally Al-Sya’rawi di dalam Tafsir al-Sya’rawi, ada tiga prinsip ta’awun di dalam Al Qur’an :

Pertama, sebagai perintah agama. Karena itu, Allah Swt memerintahkan kita untuk saling tolong-menolong sehingga menjadi umat yang tidak mengenal pertengkaran dan perpecahan.

Kedua, sebagai prasyarat kehidupan sosial. Karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, untuk itu tolong-menolong menjadi syarat untuk mempermudah keberlangsungan hidup manusia di dunia.

Ketiga, sebagai prasyarat kemaslahatan kehidupan. Sebagai khalifah di muka bumi, manusia diperintahkan oleh Allah Swt untuk memakmurkan dan membuat kemaslahatan di bumi.

Oleh karena itu, untuk menjalankan perintah tersebut tidak akan bisa tercapai dengan sendiri-sendiri, melainkan harus dengan saling tolong-menolong.

Ada dua konteks Ta’awun dalam Tafsir al-Sya’rawi tersebut;

Pertama, Ta’awun ‘ala al-Birr wa al-Taqwa. Yaitu, menjalankan segala perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya.

Dan ini juga berhubungan dengan mengajak orang lain untuk melakukan segala perintah Allah swt. dan mencegah orang lain yang hendak melakukan larangan-Nya.

Kedua, Ta’awun ‘ala al-Itsm wa al-‘Udwan. Yaitu menjalankan segala apa yang dilarang oleh Allah swt. dan meninggalkan apa yang diperintahkan-Nya.

Dan ini juga berhubungan dengan mengajak orang lain supaya mengerjakan segala larangan Allah swt. dan menghalang-halangi orang lain yang hendak melaksanakan perintah Allah swt.

Dua garis batas tersebut jelas menyatakan bahwasannya sesuatu yang haq tidak akan bersatu dengan sesuatu yang batil.

Ketika PKI di tahun 1959 melangsungkan Kongres Nasionalnya yang ke – Vl, Bung Karno, Presiden RI, mengucapkan pidato yanng terkenal, “Yo sanak Yo kadang, Yen mati aku sing kelangan.”

Di depan Kongres Nasional ke- VII PKl, 1962, Bung Karno lagi mengucapkan amanat penting, “Go ahead!”, Tahun 1964, ketika PKI menyelenggarakan konferensi- Sastra dan Seni Revolusioner,  Presiden Sukarno mengucapkan pula pidato, “Segala simpatiku kepadamu!” 

“Saudara, pernah saya ceritakan kepada saudara-saudara, dan tadipun telah disitir, dikatakan oleh Kawan Aidit, beberapa senjata ampuh yang saya berikan kepada revolusi Indonesia ialah antara lain Pancasila, antara lain penggabungan semua tenaga progresif revolusioner dalam Nasakom.” (Subur, Subur, Suburlah PKI; Pidato Presiden Soekarno Pada Rapat Raksasa Ulang Tahun Ke 45 PKI, terbitan Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1965, halaman 09).

Dalam buku tersebut pada halaman 12-13 juga ada pernyataan sinisme Bung Karno kepada kalangan yang anti kepada Komunis dengan sebutan kaum kontra Revolusioner.

“Kecuali itu saya dengan sengaja memakai perkataan KOM, NASAKOM, oleh karena di Indonesia ini banyak orang yang phobi saudara-saudara, phobi kepada “Kom”. Phobi kepada “Kom” artinya takut kepada “KOM”  khususnya takut kepada PKI,  benci kepada PKI, hendak menghancur-leburkan PKI. Terus terang saja, terus terang saja, di kalangan Nas (nasionalis) ada yang Komunisto phobi, di kalangan Agama ada yang Komunisto phobi, di kalangan Angkatan Bersenjata dulu ada yang ber-Komunisto phobi. Nah, ini penyakit phobi ini hendak saya bantras saudara-saudara, hendak saya bantras. Maka oleh karena itu dengan sengaja di dalam penggabungan nationale revolutionaire krachten ini saya pakal perkataan “Kom”, “Kom” , “Kom”, sekali lagi, “Kom.”

Menanggapi kegetolan Presiden Soekarno dalam merangkul PKI dan harus menggebuk semua kalangan yang anti-Komunis. Buya Hamka yang juga dipenjarakan oleh rezim Soekarno karena menolak NASAKOM menyatakan,

“Ketika cita-cita Soekarno bergabung dengan cita-cita komunis, dan mereka mulai menguasai bersama Negara ini, Soekarno telah mencoba tafsir di luar manthik bahwa kalau diperas Pancasila itu, akhirnya ia menjadi gotong-royong sehingga Tuhan jadi habis. Kemudian, ia menafsirkan lagi bahwa Pancasila itu adalah identik, tak dapat dipisahkan, dengan Nasakom. Padahal, dalam tubuh Nasakom sendiri telah terdapat kontradiksi yang sangat mengacaukan pikiran yaitu bahwa beragama dengan tidak beragama mesti disatukan, nasionalisme dengan internasionalisme bisa dipadukan. Namun, dengan gagal totalnya rencana Orde Lama bersama komunis dengan Gerakan 30 September PKI-nya menyebabkan indoktrinasi gila itu berhenti dengan sendirinya.” (Dari Hati ke Hati, 2016: 251-252).

Pada tanggal 17 Agustus 1958, dengan suara yang gegap gempita, Presiden Soekarno telah mencela dengan sangat keras muktamar (konferensi) para alim ulama Indonesia yang berlangsung di Palembang tahun 1957.

Berteriaklah presiden bahwa konferensi itu adalah ‘komunisfobia‘ dan suatu perbuatan yang amoral.  Pidato yang berapi-api itu disambut dengan gemuruh oleh massa yang mendengarkan, terdiri dari parpol dan ormas yang menyebut dirinya revolusioner dan tidak terkena penyakit komunisfobia.

Sebagaimana biasa pidato itu kemudian dijadikan sebagai bagian dari ajaran-ajaran pemimpin besar revolusi, semua golongan berbondong-bondong menyatakan mendukung pidato itu tanpa reserve (tanpa syarat).

Malanglah nasib alim ulama yang berkonferensi di Palembang itu, karena dianggap sebagai orang-orang yang kontra-revolusi, bagai telah tercoreng arang.

“Nasibnya telah tercoreng di dahinya,” demikian peringatan presiden.

Banyak orang yang tidak tahu apa gerangan yang dihasilkan oleh alim ulama yang berkonferensi itu, karena disebabkan kurangnya publikasi (atau tidak ada yang berani) yang mendukung konferensi alim ulama itu, publikasi-publikasi pembela Soekarno dan surat-surat kabar komunis telah mencaci maki alim ulama kita.

Perlulah kiranya resolusi Muktamar Alim Ulama ini kita siarkan kembali agar menyegarkan ingatan umat Islam dan membandingkannya dengan Keputusan Sidang MPRS ke IV yang berlangsung bulan Juli 1966 lalu.

Muktamar yang berlangsung pada tanggal 8–11 September 1957 di Palembang telah memutuskan bahwa:

  1. Ideologi-ajaran komunisme adalah kufur hukumnya dan haram bagi umat Islam menganutnya.
  2. Bagi orang yang menganut ideologi-ajaran komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, kafirlah dia dan tidak sah menikah dan menikahkan orang Islam, tiada pusaka mempusakai dan haram jenazahnya diselenggarakan (tata-cara pengurusan) secara Islam.
  3. Bagi orang yang memasuki organisasi atau partai-partai berideologi komunisme, PKI, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakyat dan lain-lain tiada dengan keyakinan dan kesadaran, sesatlah dia dan wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut.

Demikian bunyi resolusi yang diputuskan oleh Muktamar Alim Ulama Seluruh Indonesia di Palembang itu.

Resolusi yang ditandatangani oleh Ketua KH M Isa Anshary dan Sekretaris Ghazali Hassan. Karena resolusi yang demikian itulah para ulama kita yang bermuktamar itu dikatakan oleh presidennya sebagai amoral (tidak bermoral/kurang ajar).

Akibat dari keputusan muktamar tersebut, alim ulama kita yang sejati langsung dituduh sebagai orang-orang tidak bermoral, komunisfobia, musuh revolusi dan sebagainya.

Maka KH M Isa Anshary sebagai ketua yang menandatangani resolusi itu pada tahun 1962 dipenjarakan tanpa proses pengadilan selama kurang lebih 4 tahun. Dan banyak lagi alim-ulama yang terpaksa menderita di balik jeruji besi karena dianggap kontra revolusi.

Terbengkalai nasib keluarga, habis segala harta-benda bahkan banyak di antara mereka memiliki anak yang masih kecil-kecil. Semua itu tidak menjadi pikiran Soekarno.

Di samping itu, ada  ‘ulama‘ lain yang karena berbagai sebab memilih tunduk tanpa reserve pada Soekarno dengan ajaran-ajaran yang penuh maksiat itu, bermesra-mesra dengan komunis di bawah panji Nasakom.

Bertahun lamanya masa kemesraan dengan komunis itu berlangsung di negara kita, dalam indoktrinasi, pidato-pidato Nasakom dipuji-puji sebagai ajaran paling tinggi di dunia.

Dan ulama yang dipandang kontra revolusi yag telah memutuskan komunis sebagai paham kafir yang harus diperangi, dihina dan setiap pidato dan dalam setiap tulisan.

Meskipun sang ulama sudah meringkuk dalam tahanan, namun namanya tetap terus dicela sebagai orang paling jahat karena anti-Soekarno dan anti-komunis.

Nasehat dan fatwa ulama yang didasarkan kepada ajaran-ajaran al Qur’an, dikalahkan dengan ajaran-ajaran Soekarno melalui kekerasan ala komunis.

Rupanya Allah hendak memberi dulu cobaan bagi rakyat Indonesia. Kejahatan komunis akhirnya terbukti dengan Gestapu-nya. Allah mencoba dulu rakyat Indonesia sebelum dia membuktikan kebenaran apa yang dikatakan oleh alim ulama itu hampir sepuluh tahun lalu.

Sidang MPRS ke IV pun telah mengambil keputusan mengenai komunis dan ajaran-ajarannya sebagai berikut:

“Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/Marxisme/Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut adalah dilarang.” (Disarikan oleh Prof Fahmi Amhar dari kumpulan rubrik ‘Dari Hati ke Hati, Majalah Panji Masyarakat dari 1967–1981, terbitan Pustaka Panjimas hal. 319).

Ada  satu dialog menarik antara Bernhad Dahm yang menunjukkan betapa besar pembelaan Bung Karno kepada PKI. Bernhad, “Kenapa anda tidak mau membubarkan PKI, padahal PKI telah melakukan pengkhianatan G30S PKI ?!”

Bung Karno, “Engkau tak dapat menghukum suatu partai secara keseluruhan berdasarkan kesalahan segelintir orang”.

Bernhad, “Tapi anda pernah berbuat begitu terhadap Masyumi dan PSI pada tahun 1960”

Bung Karno,”…bahwa Masyumi dan PSI merusak perjalanan revolusi kami, sedangkan PKI merupakan ujung tombak (avant garder) dari kekuatan-kekuatan revolusioner”

Bijaksana Memandang Indonesia

Dari seluruh pemaparan di atas bukanlah tulisan ini ditujukan untuk memojokkan Bung Karno. Namun lebih kepada mengajak agar kita semua bisa adil dalam menilai sesuatu.

Pemaparan fakta sejarah bangsa Indonesia bisa memandu kita bahwa tokoh sebesar Bung Karno pun tidak lepas dari fitrah manusia yang bisa salah.

Bahwa Soekarno berjasa besar bagi Bangsa Indonesia adalah fakta. Beliau adalah salah satu proklamator, cintanya pada Indonesia tidak bisa diragukan. Sang inspirator kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika, penemu makam Imam Bukhari dll.

Namun kita juga harus fair bahwa ada “dosa” sejarah yang mana beliau terseret di dalamnya.

NASAKOM dan kedekatannya kepada PKI adalah catatan buruk beliau di mata umat Islam yang bahkan membuat pasangan Dwi Tunggalnya, Bung Hatta, akhirnya memutuskan “bercerai” dengannya. Di dalam buku Demokrasi Kita, Dr. Mohammad Hatta menyatakan bahwa sejarah Indonesia sejak sepuluh tahun terakhir ini (tahun 1966 ke belakang) banyak memperlihatkan pertentangan antara idealisme dan realita.

Idealisme, yang bertujuan menciptakan suatu pemerintahan yang adil, yang akan melaksanakan demokrasi yanag sebaik-baiknya, dan kemakmuran yang sebesar-besarnya. Sementara realita saat ini, pemerintah yang dalam perkembangannya kelihatan semakin jauh dari demokrasi yang sebenarnya.

Dalam buku tersebut Bung Hatta juga mengkritik sistem Demokrasi Terpimpin ala Soekarno. Bung Hatta menyatakan, “Dalam sistem ini, Dewan Perwakilan Rakyat tugasnya hanya memberikan dasar-dasar hukum kepada keputusan-keputusan yang ditetapkan pemerintah, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan atau usul dari dua badan tadi. Dengan cara begitu, menurut pendapat Soekarno, segala perundingan dapat berlaku dengan cepat, tidak bertele-tele seperti yang terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat sampai sekarang. Kedua badan tersebut, Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Perancang Nasional, karena susunannya ditentukan sendiri oleh Presiden Soekarno, bisa menjadi pressure group atau golongan pendesak terhadap Dewan Perwakilan Rakyat. Tetapi dengan perubahan Dewan Perwakilan Rakyat yang terjadi sekarang, di mana semua anggota ditunjuk oleh Presiden, lenyaplah sisa-sisa demokrasi yang penghabisan. Demokrasi terpimpin Soekarno menjadi suatu DIKTATOR yang didukung golongan-golongan tertentu.”

Kemudian Bung Hatta melanjutkan di bagian lagi buku tersebut, “Apa yang terjadi sekarang adalah krisis demokrasi, atau demokrasi dalam krisis. Demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaannya, lupa syarat-syarat hidupnya, dan melulu menjadi anarki, lambat laun akan digantikan diktator. Ini adalah hukum besi sejarah dunia! Tindakan Soekarno yang begitu jauh menyimpang dari dasar-dasar konstitusi adalah akibat dari krisis demokrasi itu. Demokrasi dapat berjalan baik, apabila ada rasa tanggung jawab dan toleransi pada pemimpin-pemimpin politik. Inilah yang kurang pada pemimpin-pemimpin partai, seperti yang telah berkali-kali saya peringatkan.”

Dan Bung Hatta pun sangsi akan keberhasilan sistem Demokrasi Terpimpin ala Soekarno yang bermimpi NASAKOM nya akan menjadi konsepsi Indonesia yang bisa diterima dunia.

“Seperti diperingatkan di awal, ini adalah hukum besi sejarah dunia. Tetapi sejarah dunia memberi petunjuk pula, diktator yang bergantung pada kewibawaan seseorang tidak lama umurnya. Sebab itu pula, sistem yang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih panjang umurnya dari Soekarno sendiri. Umur manusia terbatas. Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi, maka sistemnya itu akan rubuh dengan sendirinya, seperti rumah kartu. Tidak ada seorang pun dari tim kerja samanya itu yang mempunyai kaliber dan kewibawaan untuk meneruskannya. Tidak pula ada bayangan di masyarakat, bahwa sistem itu disukai orang.”

Segala bentuk kritik kepada Bung Karno secara proporsional dari Bung Hatta tersebut adalah bukti bahwa tidak semua orang setuju dengan konsep Bung Karno. Dan ini bukanlah hal yang salah di dalam suatu negara Demokrasi.

Malah menjadi paradoks negeri demokrasi jika kritikan dibalas dengan pemenjaraan oleh sebuah rezim atau pendukungnya. Karena pembungkaman kritik adalah cara-cara otoriter khas negeri Komunis.

Negeri ini dimerdekakan atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur oleh para Founding Fathers baik dari kalangan Ulama, Santri, dan segenap rakyat Indonesia.

Jadi tidak boleh ada golongan yang mengklaim bahwa negeri ini hanya milik Bung Karno saja. Tanpa mengurangi rasa hormat bisa kita katakan bahwa Soekarno adalah sepenuhnya milik Indonesia namun Indonesia bukanlah milik Soekarno seorang.

Sebagai seorang Muslim yang diajarkan untuk bersikap Tawasuth, pandangan kita kepada Bung karno haruslah adil.

Hitam putih jejak Soekarno adalah bagian dari sejarah bangsa ini. Dan harus diungkapkan secara fair.

Penulis dalam memandang Bung Karno ingin meminjam istilah Bung Hatta dalam buku Demokrasi Kita yang menyatakan, “Bahwa Soekarno seorang patriot yang cinta pada tanah airnya dan ingin melihat Indonesia yang adil dan makmur selekas-lekasnya, itu tidak dapat disangkal. Dan itulah barangkali motif utama baginya untuk melakukan tindakan yang luar biasa itu, dengan tanggung jawab sepenuhnya pada dirinya sendiri. Tetapi, berhubung dengan tabiat dan pembawaannya, dalam segala ciptaannya dia hanya memandang garis besarnya. Hal-hal mengenai detail, yang mungkin menyangkut dan menentukan dalam pelaksanaan rencana, tidak dihiraukannya. Sebab itu dia sering mencapai yang sebaliknya dari yang ditujunya itu.” Wallahu A’lam.*

Pembaca Sejarah / Santri Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan