Menteri Radikal

Oleh : K.H. Athian Ali

Untuk dikatakan seseorang itu beragama, tidaklah cukup dengan hanya memiliki ilmu, tapi dituntut pemahaman, penghayatan, penjiwaan dan pengamalan.

Para orientalis yang secara khusus mendalami Islam sangatlah Iuas dan dalam pengetahuan keislamannya, namun ternyata hanya sedikit di antara mereka yang kemudian masuk Islam.

Orang yang faham agama belum tentu beragama, dalam pengertian meyakini, menghayati dan menjiwai serta melaksanakan prinsip dan syariat dari agama yang difahaminya.

Karenanya, sungguh sangat ironis sekali, jika seorang menteri yang diamanahi mengurus dan menangani kehidupan beragama justru sosok yang diduga kuat kurang memahami dan menjiwai agama yang memang bukan merupakan disiplin ilmunya.

Akibatnya, yang terjadi bukan suasana yang kondusif di masyarakat , tapi kegaduhan demi kegaduhan, akibat pernyataan-pernyataannya yang selalu kontroversial dan menyakiti perasaan ummat beragama khususnya ummat Islam.

Sejak awal menjabat suasana ketidaknyamanan sudah dirasakan ummat beragama terutama Islam, lewat tuduhan-tuduhan radikalisme (yang diartikan secara sempit sebagai sesuatu yang negatif) kepada kelompok tertentu.

Bagi orang yang memahami agama, tuduhan-tuduhan tersebut dari satu sisi terasa sangat menggelikan, namun di sisi lain juga sangat menjengkelkan. Mengapa tidak? Bagaimana mungkin radikalisme seseorang misalnya hanya dilihat dari pakaian, janggut dan cadar? Bukankah wajar jika mereka yang mengenakan ciri-ciri seperti itü dibuat murka karenanya?

Orang yang sedikit-sedikit menuduh orang lain yang berbeda faham dengan yang bersangkutan sebagai kelompok radikal, sesungguhnya yang bersangkutanlah justeru yang radikal karena telah membuat ketidak-nyamanan orang lain yang ingin hidup beragama dengan tenang di negeri ini.

Saking seringnya yang bersangkutan melakukan tindakan yang sangat radikal tersebut, baru-baru ini beberapa orang dari wakil rakyat di komisi VIII DPR-RI pun dengan nada tinggi menegur, memarahi dan mengecam yang bersangkutan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat juga ikut kesal karena sebagaimana dinyatakan sekjen MUI, ujung-ujungnya yang bersangkutan selalu mendiskreditkan ummat İslam.

Belum lama ini MUI juga telah mengeluarkan pernyataan resmi yang intinya menyatakan dengan tegas menolak mentah-mentah rencana sertifikasi da’i yang digulirkan Menteri Agama.

Sepertinya baru pertama kali dalam sejarah Republik ini seorang Menteri Agama melakukan kegaduhan sehingga mendapat banyak kecaman di sana-sini. Karenanya tidaklah berlebihan, jika kemudian ada sementara orang yang menjuluki yang bersangkutan sebagai Menteri Radikal.

Sementara itu, tidak sedikit ummat di berbagai Majelis ta’lim yang dalam kebingungannya bertanya : “Bukankah di negeri ini sangat banyak sekali para ulama yang tidak hanya saja menguasai ilmu tapi juga sangat menjiwai Agama? Lalu mengapa tidak dipilih untuk menjadi menteri Agama salah seorang di antara mereka?”

Sangat logis kiranya jika kemudian mereka terpancing untuk bertanya lagi : Apa sesungguhnya tujuan di balik ini semua? Apakah program De-radikalisasi yang terus menerus digulirkan selama ini tujuan sesungguhnya adalah De-Islamisasi?

Apakah isu khilafah. wahabi, radikalisme, terorisme yang selalu diarahkan kepada ummat Islam mayoritas penduduk negeri ini, memang sengaja dirancang dan dihembuskan untuk membuat ummat Islam terkonsentrasikan penuh kepada fitnah-fitnah tersebut, lalu lupa dengan ancaman yang sesungguhnya yaitu kebangkitan komunisme di negeri ini? Wallohu a’lam.

Jika kondisi seperti ini terus dibiarkan, maka penduduk negeri ini, khususnya ummat Islam harus siap menghadapi resiko dari apa yang pernah diingatkan Rasululloh SAW lewat sabdanya Jika dalam kehidupan bermasyarakat bernegara – sebuah jabatan dipercayakan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.
Na’udzu billah min dzaalik.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News