Di Era Presiden Joko Widodo (Jokowi) merebak korupsi politik mulai dari kasus Jiwasraya sampai suap yang melibatkan politikus PDIP Harun Masiku.
“Sejumlah skandal korupsi tingkat tinggi (high-profile corruption) menyeruak ke ruang publik. Satu di antaranya, mega skandal PT Asuransi Jiwasraya, yang merugikan negara sebesar Rp 13,7 triliun,” kata Ketua Dewan Pengurus IDe Abdurrahman Syebubakar dalam pernyataan kepada suaranasional, Jumat (4/9/2020).
Menurut Abdurrahman, kasus Jiwasraya merupakan skandal korupsi terbesar dalam sejarah politik Indonesia, melibatkan elit politik dan taipan Benny Tjokro.
“Dengan skala kerugian negara yang sangat besar, periode terjadinya skandal pada 2016-2018, dan aktor yang terlibat, yaitu mantan Direktur Keuangan PT. Jiwasraya, Hary Prasetyo yang juga Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden (KSP) 2018-2019, sulit menyangkal keterkaitan mega korupsi tersebut dengan pembiayaan petahana pada Pilpres 2019,” paparnya.
Kata Abdurrahman, Presiden Jokowi berusaha menenggelamkan skandal Jiwasraya dengan berbagai cara. Termasuk memerintahkan seluruh anggota partai koalisi pemerintah untuk menolak pembentukan panitia khusus (pansus) di DPR yang akan melakukan pengusutan secara menyeluruh.
31 kasus korupsi kader partai politik antara 2014 dan 2017, 22 diantaranya berasal dari koalisi parpol pendukung Presiden Jokowi. Lebih lanjut, pada 2018, KPK menangkap 21 kepala daerah dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT). Hampir semuanya berasal dari parpol pendukung pemerintah: 8 kader PDIP, 5 Golkar, 2 Nasdem, 1 Perindo, dan 1 kader Partai Nasional Aceh (PNA). Sisanya dari parpol non koalisi, yaitu 2 kader PAN dan 1 Partai Berkarya (Syebubakar 2018).
Ia mengatakan, deretan kasus di atas bukan daftar lengkap skandal korupsi politik di era Jokowi. Masih banyak lagi kasus korupsi dan potensi korupsi yang menyelinap melalui berbagai proyek infrastruktur dan regulasi. “Di antaranya, skandal suap anggota KPU oleh Harun Masiku yang keberadaannya hingga kini masih raib, mega proyek pemindahan ibukota negara, RUU Omnibus Law yang menindas hak-hak buruh, UU Minerba yang memanjakan korporasi dan mengancam lingkungan, dan UU “Korona” No.2/2020 yang membuka jalan korupsi politik,” jelasnya.
Abdurrahman mengatakan, patut diduga, resistensi Presiden Jokowi untuk memimpin perang melawan korupsi disebabkan keterlibatan lingkaran politik dan koalisi partai pendukung pemerintah dalam berbagai tindak pidana korupsi.
“Presiden Jokowi sendiri terjerat lingkaran setan politik di bawah kendali oligarki politik dan oligarki ekonomi yang melahirkan dan mengitari kekuasaannya. Sehingga pilihan yang tersedia adalah membuka lahan korupsi bagi para oligark dan melumpuhkan KPK sekaligus,” ungkapnya.
Kata Abdurrahman, pada 2015, Presiden Jokowi membiarkan terjadinya pelumpuhan KPK melalui skenario kriminalisasi Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua Bambang Widjojanto.
Selain itu, pemerintahan Jokowi enggan mengusut kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan, pada April 2017. Otak di balik penyerangan ini tidak ditemukan hingga kini.
“Sementara, pelaku lapangan, yang diduga hanya pemeran pengganti, dihukum ringan. Puncaknya, revisi UU No. 30/2002 tentang KPK pada akhir 2019 yang mengebiri kewenangan luar biasa dari lembaga anti korupsi ini sehingga tidak bisa lagi melaksanakan tugasnya secara efektif,” jelasnya.
Makin maraknya korupsi politik di era Jokowi ternyata berbanding lurus dengan tingginya tingkat kecurangan pemilu, termasuk politik uang. Pada Pemilu 2014, sekitar sepertiga pemilih terpapar politik uang, menjadikan Indonesia peringkat ketiga tertinggi dalam praktik politik kotor ini. Hanya berada di belakang Uganda dan Benin, dua negara di kawasan Afrika (Muhtadi 2018, Aspinall dan Berencshot 2019).
“Pada pemilu 2019, praktik politik uang tetap tinggi, bahkan meningkat dengan modus tersamar seperti sumbangan untuk rumah ibadah, klub sepak bola, renovasi sekolah atau jalan desa (Mietzner 2019, Bawaslu 2019). Selain politik uang, pemilu 2019 dikotori oleh capres petahana dengan mobilisasi anggota kabinet dan birokrasi di pusat dan daerah, persekusi dan kriminalisasi tokoh oposisi, pemanfaatan anggaran dan fasilitas negara, hingga sandra politik beberapa tokoh yang diduga bermasalah secara hukum, dan klaim bohong atas capaian kinerja,” pungkas Abdurrahman.