Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus bertanggungjawab atas kerugiaan Pertamina Rp11 triliun.
“Sebagai pemimpin pemerintahan, rakyat wajar menuntut pertangungjawaban Presiden Jokowi,” kata Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara kepada suaranasional, Rabu (2/9/2020).
Menurut Marwan, kerugian Pertamina sebenarnya terjadi akibat kebijakan pemerintah yang melanggar konstitusi, peraturan dan good corporate governance (GCG). Dalam kondisi harga BBM yang tetap tinggi seperti sekarang, Pertamina malah bisa untung Rp 12,25 triliun, jika pelanggaran tidak terjadi.
“Namun karena berbagai pelanggaran oleh pemerintah, 265 juta rakyat kehilangan kesempatan memperoleh manfaat SDA migas bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat,” ungkap Marwan.
Marwan mengatakan, Pertamina harus menanggung beban pencitraan politik dalam rangka Pilpres 2019, sehingga harus terlebih dahulu menanggung beban biaya subsidi BBM dan LPG sejak April 2017.
Menurut Dirkeu Pertamina Emma Sri Martini pada RDPU Komisi VII DPR, akumulasi tanggungan Pertamina tersebut adalah Rp 96,5 triliun kompensasi dan Rp 13 triliun subsidi. Sehingga total beban kebijakan populis tersebut adalah Rp 109,5 triliun. Utang pemerintah ini memang kelak akan dibayar, tapi jadwalnya tak jelas, terutama karena besarnya defisit APBN akibat korona. Jika tak segera dilunasi, Pertamina justru terancam gagal bayar atau default.
“Karena utang pemerintah Rp 109,5 triliun tak dilunasi, Pertamina harus menerbitkan surat utang. Beban surat utang Pertamina sejak 2011 mencapai US$ 12,5 miliar. Khusus untuk 2018-2020, akibat menanggung akumulasi utang pemerintah Rp 109,5 triliun di atas, Pertamina setiap tahun harus menerbitkan bond US$ 750 juta (2018), US$ 1,5 miliar (2019) dan US 3 miliar (2020), pada tingkat bunga (kupon) yang berbeda-beda antara 3,65% hingga 6,5%,” pungkasnya.