Regulasi dan Sinkronisasi Dalam Omnibus Law Perlu Dilakukan Tanpa Mengabaikan Hak dan Kepentingan Buruh

Oleh: Jacob Ereste

(Catatan dari diskusi terbatas Buruh & Mahasiswa di Bigor, 15 Juni 3020)

Dalam Pidato kenegaraan HUT ke-74 Kemerdekaan Republik Indonesia, pada 16 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo sudah mengajak pemerintah pusat, pemerintah daerah, MPR, DPR, DPD, dan DPRD untuk mereformasi aturan dan perundang-undangan yang dirasa menyulitkan masyarakat dan menghambat kemajuan Indonesia.

Catatan itu memang bisa mengingatkan bahwa pada kaum buruh maupun serikat buruh tak diajak atau todak jadi bagian dari elemen yang patut untuk diperhitungkan dalam menyusun RUU Omnibus Law yang menjadi pokok perseteruan banyak pihak dengan kaum buruh dan serikat buruh.

Jadi sejak 2014, Presiden Jokowi sudah berupaya melakukan reformasi regulasi. Namun dalam pidato kenegaraan itu seperti menberi sinyal saja pada pemerintah akan lebih serius dalam upaya reformasi regulasi-regulasi yang menghambat inovasi dan kemajuan bangsa membangun daya saing dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Omnibus Law Cipta Kerja telah dijadikan salah satu pilihan dari upaya reformasi regulasi itu.

Omnibus Law Cipta Kerja pertama kali disampaikan Presiden Jokowi saat pidato pelantikan periode kedua pada 20 Oktober 2019. Presiden mengatakan akan langkah perbaikan regulasi itu menurutnya meliputi segala bentuk kendala. Dan regulasi itu idealnya harus membuat semua peraturan jadi sederhana. Maka itu banyak uturan yang dipangkas. Hanya saja pihak pemerintah cuma mengajak DPR tanpa melibatkan masyarakat yang terkait dengan upaya untuk menerbitkan dua undang-undang besar itu.

Yang pertama adalah Undang-undang Cipta Kerja. Dan yang kedua UU UMKM. Keduanya masuk menjadi bagian dari Omnibus law.

Omnibus law adalah satu undang-undang yang sekaligus merevisi beberapa undang-undang, bahkan puluhan undang-undang yang sudah ada sebelumnya.

Yang runyam, dalam proses penyusunan RUU Omnibus Law itu pemerintah mengabaikan steak holder yang berkepentingan dengan apa yang menjadi tujuan dari RUU Omnibus Law itu. Rakyat, buruh dan serikat buruh serta elemen masyarakat yang terpaut dengan RUU Omnibus Law itu terkesan sangat diabaikan. Termasuk saat RUU Omnibus Law itu mulai dibahas di Baleg DPR RI.

Masalahnya DPR RI bukan saja mengabaikan peran serta masyarakat yang selama ini diklaim mereka wakili di parlemen, tetapi juga ada sejumlah kepentingan dari rakyat itu juga yang diabaikan. Sehingga jelas mengancam masa depan hidup dan kehidupan mereka untuk memperoleh kesejahteraan yang berkeadilan.

Adapun lapisan masyarakat yang sangat merasa adanya ancaman dari RUU Omninus Law itu diantaranya adalah buruh dan serikat buruh, masyarakat adat, warga masyarakat pecinta dan pelindung lungkungan hidup serta masyarakat pers dan sejumlah aktivis yang perduli pada kelangsung hidup segenap warga bangsa Indonesia agar bisa lebih baik, harmonis, sejahtera dan adil serta aman dan nyamam untuk membangun tata hidup dan kehidupan dalam satu bingkai peradaban yang mulia dan terhormat.

Oleh karena itu, wajar bila kaum buruh bersama elemen warga masyarakat lain berupaya keras untuk mengawal dan mencermati perkembangan dari pembahasan RUU Omnibus Law yang ditilik akan merusak tatanan hidup dalam arti luas bagi segenap warga bangsa Indonesia pada masa mendatang.

Tak ada pilihan bagi segenap elemen masyarakat dalam menyikapi RUU Omnibus Law ini, bila tidak ada keinginan memperbaikinya bersama segenap warga masyarakat yang bisa terdampak buruk oleh RUU Omnibus Law ini nanti, maka harus dibatalkan. Kecuali dari pihak DPR dan pemerintah mau duduk bersama dalam proses pembahasannya kemudian.

Kesimpulan senada pun juga disuarakan oleh forum diskusi buruh bersama mahasiswa di Banten (Februari 2020) dan Bogor hari Senin 15 Juni 2020.

Jakarta, 16 Juni 2020

Simak berita dan artikel lainnya di Google News