Acara Webinar BPIP Kok Ujuk-Ujuk

Oleh: Jacob Ereste

Kedeputian Jianri BPIP tiba’yoba menggelar Webinar dengan topik bahasan “Aktualisasi Pancasila Dalam Pendidikan Hadapi New Normal”.

Pertanyaan pertama yang menggelitik ingin disampaikan, adakah hubungan dari Webinar ini dengan gonjang-ganjing hendak bangkitnya ideologi komunis di Indonesia yang semakin gaduh mempertenyakan kebungkaman BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila) seusai melaksanakan konser yang gagal hendak menghimpun dana ?

Kedeputian Pengkajidan dan Materi (Jianri) BPIP menggelar webinar dengan tema “Aktualisasi Pancasila dalam Pendidikan Menghadapi Era New Normal” pada hari Selasa (9/6/2020) secara viritual melalui aplikasi zoom itu pun tanpa mengajak hingga tidak memberi peluang bagi warga masyarakat luas ikut serta mengungkapkan pikiran dan pandangan serta gagasannya mengenai cara yang baik dan benar serta efisien dalam melakukan pembinaan pada pemahaman ideologi Pancasila. Hingga tafsir rumusan dari Pancasila itu tidak sepihak dan menjadi minopoli segelintir orang saja.

Pertanyaan berikutnya adalah apa ukurannya bagi mereksa yang berhak pasang omong pada tararan pembinaan untuk ideologi Pancasila yang sudah disepakati menjadi ideologi negara dan bangsa Indonesia namun belum juga memantul dalam hidup dan kehidupan sehari-hari, baik dalam cara dan penataan negara maupun dalam tata cara berhubungan dengan masyarakat.

Essensi dari acara diskuasi yang dibungkus dengan Wibinar itu terkesan jadi latah dan sekedar asal bisa bergiat saja dalam suasana gaduh covid-19 yang terlanjur tidak bisa berbuat apa-apa kecuali konser banyak menuai kritik dan banyak ruginya itu. Toh, motor yang dilelang pun justru memalukan karena tidak pula dapat dikirimkan ke Jambi.

Lalu apa saja sih inti pokok materi yang bisa diserap dari Wakil Ketua Dewan Pengarah BPIP, Jendral (Purn.) Try Sutrisno yang menjadi keynote speaker. Apalagi dari ejumlah narasumber yang tidak jelas juntrungan dari apa yang dibicarakan untuk warga bangsa Indonesia yang tengah diteror oleh bisingnya isu komunis yang mau bangkit lagi di negeri yang juga sudah lupa menyanyikan bait-bait lagu Garuda Pancasila.

Kalau pun lewat acara Webinar BPIP hendak disebut secara khusus hendak membahas aktualisasi Pancasila dalam dunia pendidikan di tengah era new normal. Terus aktualisasikan semacam apa yang bisa didapat oleh warga masyarakat ?

Dari laporan pemberitaannya saja yang tiba-tiba muncul tanpa angin tanpa hujan itu pada jaringan whatsapp telah mengusik rasa komunikasi yang nyaman dengan para komunikan yang ada. Sebab informasinya — mulai dari acaranya yang terkesan tertutup dan eklusif sungguh tidak memberi apa-apa kecuali hanya pamer gagasan dan pendapat belaka. Tidak ada kaitannya dengan tugas dan fungsi BPIP yang harus melakukan pembinaan pada pemahaman ideoligi Pancasila yang tengah diledek oleh ideologi komunis.

Narasumbernya, Wakil Kepala BPIP, Prof. Hariyono; Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Kehidupan Bernegara (LPPKB), Soeprapto; Pemimpin Umum Majalah Prisma, Daniel Dhakidae; Peneliti Sosiologi Pendidikan Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Anggi Afriansyah termasuk Deputi Bidang Jianri, Prof. FX Adji Samekto yang menyampaikan tujuan dan maksud dari digelarnya webinar Aktualisasi Pancasila dalam Pendidikan Menghadapi Era New Normal ini, pun tak jelas paparan dari aktualisasinya.

Justru “webinar semacam ini perlu dilakukan, karena merupakan upaya untuk mendiskusikan salah satu sasaran pembangunan nasional yang merupakan perwujudan dari Pancasila”.

Jadi, tujuan dari pembangunan di Indonesia ini pun masih perlu didiskusikan. Padahal, tujuan pembangunan itu sudah selesai, dan sekarang tinggal dilaksanakan termasuk pembinaan nyata dari BPIP terhadap segenap warga bangsa, jika tidak perlu disebut agak lebih spesial pada aparat penyelenggara negara dan pemerintahan.

Kalau mau memakai ungkapan Wahyu Sulaiman Rendra seorang seniman dan sastrawan besar Indonesia yang santun itu, sesungguhnya perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Jadi bukan omong doang.

Lagian, acara BPIP segede dan semahal itu mengapa tidak dipersiapkan lebih matang, sehingga dapat diikuti oleh banyak pihak. Setidaknya agar kesan ekslusif dan hendak dominan atau memonopoli tafsir Pancasila bisa juga dimulai dari teknis serta cara pelaksanaan pembinaannya hingga materinya yang gampang dicerna oleh semua lapisan masyarakat.

Gitu saja kok repot, kata Gus Dur.

Bekasi, 9 Juni 2020

Simak berita dan artikel lainnya di Google News