Rezim Drakula

Penulis: Smith Alhadar
Editor: Abdurrahman Syebubakar

Tidak ada kata yang lebih tepat untuk menamai rezim Jae, kecuali rezim drakula. Betapa tidak, rezim ini terus-menerus menghisap darah rakyat hingga lemas tak berdaya, sebagian mati kehabisan darah. Malah, rezim ini lebih jahat dari drakula karena menyerang rakyat di siang bolong.

Di tengah wabah pandemi covid-19 yang melibas kehidupan sosial dan ekonomi rakyat, rezim malah menaikkan iuran BPJS Kesehatan hingga hampir 100 persen. Ini tindakan menghisap darah rakyat untuk menghidupkan rezim yang mulai kehabisan darah.

Kerja drakula memang demikian: selalu mencari darah segar untuk menghidupkan dirinya sendiri. Sering juga drakula beroperasi atas perintah drakula yang lebih superior. Siapa drakula yang lebih superior itu? Tak lain dan tak bukan kaum oligark.

Merekalah yang memberikan ide menghisap darah rakyat agar rezim survive, yang pada gilirannya melanjutkan pelayanan rezim kepada kaum oligark yang berjasa besar bagi kemenangan Jae dalam pilpres yang curang.

Sebenarnya tersedia banyak cara lain untuk mendapatkan uang tanpa memeras rakyat. Dan cara-cara itu, di antaranya, menghentikan proyek infrastruktur. Lalu dananya dialokasikan untuk membantu rakyat yang gelagapan menghadapi keadaan sulit ini. Lagi pula, pelayanan sosial kepada rakyat merupakan perintah Konstitusi. Toh juga, dana yang akan dipakai untuk membantu rakyat adalah duit rakyat sendiri.

Bahkan, pelayanan itu harus diberikan secara cuma-cuma. Dan pandemi corona saat ini telah menciptakan kemiskinan masif. Mereka yang tadinya rentan miskin jatuh miskin. Kelompok miskin makin miskin, dan 20 juta lebih rakyat yang lapar kronis sebelum pandemi, bisa bertambah. Mungkin saja sebagiannya mati kelaparan.

Jumlah keseluruhan tiga kelompok tersebut – sangat miskin, miskin dan rentan miskin – saat ini bisa lebih dari 200 juta jiwa. Sementara bantuan sosial rezim yang dibebankan kepada pemda tidak mencakup semua mereka ini. Sudah begitu, bansos banyak yang salah sasaran. Maka tega benar rezim memeras rakyat yang untuk sekadar memenuhi kebutuhan minimal saja mereka sudah tak sanggup.

Malah bansos masih dijadikan komoditas politik oleh rezim drakula. Di kantong bansos selalu tertulis “bantuan presiden”, seolah-olah bantuan itu datang dari kantong pribadi presiden, padahal itu uang rakyat. Dan rakyat diperlakukan secara hina, ketika presiden melempar-lemparkan bantuan melalu jendela kaca mobil. Kelakuan yang meniru penjajah dalam memperlakukan pribumi.

Penghisapan dan penghinaan terhadap rakyat tidak sampai di situ. Atas perintah kaum oligark, rezim drakula mengeluarkan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang menghisap darah buruh. RUU ini lebih menekankan pada kepentingan investor ketimbang kesejahteraan buruh. Padahal, tanpa Omnibus Law pun kehidupan buruh Indonesia sudah memprihatinkan.

Berikut, rezim drakula memanfaatkan harga minyak dunia. Ketika harga minyak dunia anjlok, negara di mana-mana di dunia menurunkan harga BBM di dalam negeri untuk membantu perekonomian rakyat yang tersapu angin puyuh corona. Namun, rezim malah memanfaatkannya untuk memeras rakyat. Harga lama BBM dipertahankan. Harga iuran listrik malah juga naik, padahal harga batu bara dan solar yang digunakan PLN untuk memasok listrik anjlok drastis.

Sementara darah rakyat dihisap, KKN dipermudah rezim. Ini dapat dilihat pada, pertama, KPK diperlemah dengan dalih aneh bahwa kerja lembaga antirasuah itu telah menghambat investasi. Kedua, Istana berkolusi dengan staf khusus milenial dengan memberikan proyek pelatihan kartu prakerja senilai Rp 5,7 triliun. Belakangan terungkap, perusahaan startup “Ruang Guru” ternyata milik warga Singapura.

Yang paling memprihatinkan, dan masih ramai dibicarakan publik hingga hari ini, adalah upaya melegalkan korupsi tanpa sanksi pidana maupun perdata melalui Perppu No 1 Tahun 2020. Perppu ini menyatakan, pengguna dana untuk menanggulangi covid-19 bernilai lebih dari 400 triliin bebas dari tuntutan hukum. Demikian juga, kalau terjadi KKN oleh para pengguna dana. Artinya, Perppu melegalkan penggarongan uang negara dengan melanggar Konstitusi.

Anehnya, delapan fraksi DPR RI, kecuali fraksi PKS, mengesahkannya, kendati Perppu merampas hak budgeting DPR. Fenomena ini menggambarkan bahwa telah terjadi saling sandera antara DPR, rezim, dan oligarki. DPR dan oligarki berkepentingan menyelamatkan rezim untuk menjaga kepentingan politik dan ekonpmi mereka. Dan Perppu itu dipandang sebagai jalan keluar terbaik.

Sementara itu, rezim membutuhkan dukungan DPR dan oligarki untuk kelangsungan hidupnya. Penyerahan hak legislatif pada eksekutif menunjukkan anggota DPR juga bekerja untuk kepentingan oligarki yang berjasa membawa mereka ke Senayan. Demikian juga rezim. Tanpa dukungan finansial oligarki, mustahil Jae memenangi Pilpres. Tak heran kalau kemudian legislatif, eksekutif, dan oligarki bekerja sama untuk kepentingan masing-masing.

Bagaimanapun, kerja sama tiga pihak yang tidak berorientasi kepentingan rakyat telah menimbulkan kekacauan di pemerintahan. Beleid-beleid yang dikeluarkan rezim simpang-siur, tumpang-tindih, berubah-ubah, dan sama sekali tidak berorientasi kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.

Kerja sama tiga kekuatan itu berakibat jauh, yakni penghisapan darah rakyat masih akan berlangsung bahkan mungkin dengan kebijakan-kebijakan yang lebih zalim terhadap rakyat. Dan ini akan membuat negara semakin hancur. Tidak ada harapan ke depan rezim akan memperbaiki diri, berkomitmen pada pemberantasan korupsi, melayani rakyat, dan melepaskan diri dari oligarki.

Dalam konteks ini, saya meminta Jae untuk mengundurkan diri demi kebaikan bersama. Jae akan dikenang sebagai orang baik yang lebih mementingkan rakyat, bangsa, dan negara, ketimbang kepentingan diri sendiri, oligark, dan Cina. Tidak ada gunanya mempertahankan kekuasaan di tengah penderitaan rakyat. Jika tak mundur, saya khawatir rakyat yang akan bergerak.

CATATAN KRITIS IDe#43*
*Institute for Democracy Education*
Jakarta, 16 Mei 2020