Bolehkah I’tikaf di Rumah saat Pandemi?

Oleh: Ustadz Abduh Tuasikal, MSc

Bahasan kali ini disarikan dari bahasan Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i karya Syaikh Muhammad Az-Zuhaily pada bahasan i’tikaf. Aturan-aturan berikut yang dipakai madzhab Syafii saat iktikaf. Moga bisa membantu dalam memahami i’tikaf saat masa pandemi yang mengharuskan kita di rumah saja.

Pengertian i’tikaf

I’tikaf secara etimologi berarti menetapi, tidak meninggalkan. Menurut Imam Syafii, menetapnya seseorang pada sesuatu disebut dengan i’tikaf, terserah ada yang menetap pada kebaikan atau kemaksiatan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam ayat,

إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَٰذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ

“(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?” (QS. Al-Anbiya’: 52)

Tentang iktikaf (menetap) dalam kebaikan disebutkan dalam ayat,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ

“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beriktikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Iktikaf secara istilah syari (terminologi) adalah menetap di dalam masjid, dilakukan oleh orang tertentu, dengan niat yang khusus. Istilah iktikaf di sini hanyalah iktikaf dalam kebaikan saja.

Rukun dan syarat iktikaf

Pertama: Orang yang beriktikaf haruslah memenuhi tiga syarat yaitu Islam, berakal, dan bersih dari hadats besar (yaitu junub, haidh, dan nifas).

Yang masih sah iktikafnya: (1) anak kecil yang sudah tamyiz, (2) wanita yang sudah bersuami dengan syarat telah diizinkan suaminya. Jika wanita ini i’tikaf tanpa izin suami, berarti ia dianggap menyelisihi, i’tikafnya tetap sah, namun melakukan keharaman.

Kedua: Masjid

I’tikaf hanyalah sah jika dilakukan di masjid, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily menyatakan, “I’tikaf di musala rumah wanita atau di musala laki-laki. Tempat semacam ini masih bisa diubah dan orang junub masih boleh berdiam di dalamnya. Para wanita di masa dulu selalu melakukan i’tikaf di masjid. Karena memang i’tikaf itu hanyalah di masjid. Hal ini sebagaimana firman Allah,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ

“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beriktikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187).” (Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i, 2:228)

Berdasarkan ittiba’ dan ijmak, masjid adalah syarat dilakukannya i’tikaf.

I’tikaf ini bisa dilakukan di setiap masjid. Masjid jamik yang didirikan shalat Jumat di dalamnya lebih utama dan afdal karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan iktikaf di masjid jamik. Alasan afdal lainnya, jumlah jamaah di masjid biasa lebih banyak. Memilih masjid jamik juga akan lepas dari perselisihan pendapat, karena ada yang berpendapat bahwa i’tikaf di masjid jamik itu jadi syarat wajib. Kalau yang dipilih adalah masjid jamik, tentu tidak perlu keluar untuk shalat Jumat ke masjid lainnya.

Ketiga: Berniat

Hukumnya adalah wajib mengawali i’tikaf dengan niat, yakni berniat menetap di masjid selama waktu tertentu untuk ibadah.

Keempat: Menetap di masjid

Orang yang beri’tikaf haruslah menetap di masjid selama waktu tertentu yang disebut diam secara urf (menurut kebiasaan). Para ulama Syafiiyah katakan sekadar lamanya thumakninah ketika rukuk dan semacamnya. Kalau hanya lewat dari satu pintu menuju pintu lainnya tidaklah disebut i’tikaf. Diamnya di masjid tidaklah harus satu malam penuh. Akan tetapi, disunnahkan iktikaf dilakukan sehari.

Waktu i’tikaf

I’tikaf boleh dilakukan pada waktu malam atau siang, juga termasuk pada waktu terlarang untuk shalat, boleh juga i’tikaf dilakukan saat hari raya Idulfitri dan Iduladha, serta hari-hari tasyrik.

Syarat i’tikaf adalah berdiam di masjid, boleh dalam waktu lama, bisa pula dalam waktu sebentar saja, sampai satu jam atau sekejap, bisa pula seharian, atau sebulan.

Bagaimana cara i’tikaf saat masa pandemi?

Kalau kita melihat i’tikaf haruslah di masjid, tidak bisa di rumah, walaupun ada musala rumah. Berdiam di musala rumah tidak disebut sebagai i’tikaf.

Sebagai gantinya di masa pandemi, perbanyaklah ibadah di rumah (giat baca Al-Qur’an, kaji tafsirnya, berdzikir, perbanyak shalat sunnah, dll), termasuk pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Moga kita tetap mendapatkan pahala i’tikaf karena pandemi ini jadi uzur yang membuat kita hanya bisa beribadah di rumah.

Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

“Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.” (HR. Bukhari, no. 2996)

Dari hadits itu, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan,

وَهُوَ فِي حَقّ مَنْ كَانَ يَعْمَل طَاعَة فَمَنَعَ مِنْهَا وَكَانَتْ نِيَّته لَوْلَا الْمَانِع أَنْ يَدُوم عَلَيْهَا

“Hadits di atas berlaku untuk orang yang ingin melakukan ketaatan lantas terhalang dari melakukannya. Padahal ia sudah punya niatan kalau tidak ada yang menghalangi, amalan tersebut akan dijaga rutin.” (Fath Al-Bari, 6:136)

Semoga bermanfaat.

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News