Serpong – Di tengah penderitaan wabah Covid-19 ini, mestinya rakyat tidak dibebani dengan harga BBM yang tinggi. Apalagi kalau itu digunakan untuk ‘mensubsidi’ Pertamina.
Selain itu, Alasan Pemerintah untuk tidak menurunkan harga BBM di saat harga minyak dunia anjlok dinilai tidak logis dan terkesan mengada-ada. Semua data dan logika yang dipakai Pemerintah untuk mempertahankan harga BBM, justru malah menjadi fakta yang mendukung perlunya penyesuaian harga jual BBM tersebut.
Dalam raker dengan Komisi VII DPR RI, Menteri ESDM, Arifin Tasrif menjelaskan beberapa alasan kenapa Pemerintah tidak menurunkan harga BBM. Menurut Tasrif, margin (selisih) harga minyak mentah dunia dengan harga jual BBM sangat minim dan dinamis sehingga sangat berisiko jika harus dilakukan penyesuaian tarif. Apalagi, di antara negara Asean harga minyak Indonesia relatif murah. Untuk itu Pemerintah memilih sikap “wait and see” untuk menyesuaikan harga BBM.
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto merasa sebenarnya ada alasan lain yang dipakai Pemerintah untuk mempertahankan harga BBM. Namun alasan itu tidak dibuka secara transparan dalam rapat kerja Komisi VII DPR RI dengan Menteri ESDM, Jumat (4/5)
“Kita sayangkan sikap Pemerintah yang tetap tidak mau menurunkan harga BBM. Padahal itu merupakan keputusan raker Komisi VII dengan Menteri ESDM pekan lalu,” ujar Mulyanto.
Dengan asumsi harga minyak dunia, yg sekitar 30 USD/barel (asumsi APBN 63 USD/barel) serta nilai kurs dollar sekarang sekitar 14.900 rupiah/usd, maka keuntungan Pertamina diperkirakan dapat mencapai belasan triliun rupiah perbulan.
“Harusnya angka itu cukup untuk menjadikan harga BBM jauh lebih murah,” tegas Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI ini.
Mulyanto menambahkan sekarang ini masyarakat banyak yang bertanya kemana larinya selisih keuntungan besar Pertamina tersebut.
Bila Pemerintah tidak segera merespons pertanyaan publik ini secara transparan dan mudah dimengerti, maka akan menimbulkan kekecewaan dan suudzhon publik, seolah pemerintah dikendalikan oleh mafia minyak.
Sebelumnya Dirut Pertamina menjelaskan, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, bahwa marjin keuntungan BBM tersebut digunakan untuk membeli crude oil domestik yg harganya lebih mahal dari minyak dunia, biaya pengoperasian tambang dan kilang di hulu, serta biaya operasional lainnya.
Dari keterangan Ini sebenarnya sudah sangat jelas, bahwa marjin harga yang seharusnya dinikmati rakyat, berupa murahnya harga BBM, tertahan untuk menutupi keperluan operasional Pertamina.
“Jadi memang tidak keliru juga kalau dikatakan, bahwa dengan harga BBM yang masih tinggi ini, rakyat tengah mensubsidi operasional Pertamina,” tegas Mulyanto.
“Ini tentu tidak adil. Di tengah penderitaan wabah Covid-19 ini, masyarakat justru dibebani harga BBM yang tinggi untuk ‘mensubsidi’ Pertamina”, tambah Mulyanto.
[subhan/kontributor]