Arab Saudi menawarkan teladan efisiensi dalam penanganan pandemi COVID-19 secara terpadu. Hanya satu tindakan, dua perkara terselesaikan.
Kerajaan tersebut mengarantina ribuan orang di dalam kamar hotel. Sebagian di suite mewah. Selain memutus mata rantai penyebaran COVID-19, pemerintah juga menyuntikkan dana segar dalam industri perhotelan yang hampir bangkrut.
Menghadapi hampir 5.000 kasus infeksi, Saudi menghentikan penerbangan dari luar negeri, menerapkan lockdown parsial, dan memberlakukan jam malam skala nasional. Pekan lalu, aturan jam malam berlaku hingga 24 jam di sejumlah kota. Berarti, selama sehari penuh warga tak boleh berkeliaran tanpa kepentingan mendesak.
Semua regulasi tersebut menghantam telak sektor pariwisata, salah satu andalan devisa negara setelah minyak. Tradisi ibadah umrah ditiadakan sementara waktu. Industri perhotelan pun terpuruk. Tingkat okupansi hampir nol. Walaupun tergolong kaya-raya, perekonomian negara tetap akan terguncang jika situasi tersebut dibiarkan.
Pemerintah lantas mengambil solusi luar biasa. Kamar hotel yang kosong disewa negara untuk mengarantina ribuan pendatang dari luar negeri. Juga warga domestik yang terinfeksi atau pernah kontak dengan pasien COVID-19. Ini tak hanya berlaku di Ibu Kota Riyadh. Beberapa hotel di banyak kota diborong untuk antisipasi.
Sebuah hotel bintang empat di pusat Riyadh memiliki lebih dari 100 kamar. Pertengahan Maret, hanya lima tamu yang menginap. Pemerintah menawarkan 4 juta riyal (Rp 16,7 miliar) per bulan untuk menjadikan hotel tersebut sebagai fasilitas karantina. Hotel lain dari grup yang sama, dengan kualitas dan kelas lebih tinggi, disewa dengan nilai 6 juta riyal.
Bagi kedua belah pihak, solusi itu saling menguntungkan. Manajemen hotel mendapatkan uang masuk yang sangat didambakan. Ada pemasukan berarti operasional hotel terus berjalan. Berarti meminimalkan risiko pemutusan hubungan kerja dengan karyawan. Di lain pihak, Saudi menyuntikkan stimulus (secara tidak langsung) untuk sektor pariwisata, sekaligus mendapatkan lokasi untuk kepentingan medis. Sekali merengkuh dayung, satu-dua pulau terlampaui.
“Konsesi itu jauh lebih baik ketimbang mengoperasikan hotel kosong,” kata seorang narasumber dari industri perhotelan, anonim, kepada AFP, Senin (13/4). “Itu menghindarkan karyawan dari kemungkinan terburuk, yaitu potong gaji hingga 50 persen atau ambil cuti panjang tanpa gaji.”
Pada awalnya, hotel menolak. Imej sebagai hotel karantina dianggap buruk bagi bisnis. Namun, tingkat hunian yang terjun bebas memaksa banyak manajer pasrah. Mereka beramai-ramai mendekati pemerintah daerah dan menawarkan hotel untuk disewa.
Akhir Maret, Kementerian Pariwisata menyatakan hampir 1.900 kamar hotel atau fasilitas pariwisata di Riyadh sudah disewa pemerintah untuk persiapan karantina. Lebih dari 2.800 kamar hotel tersedia di Mekkah dan sekitar 1.900 kamar lainnya disiagakan di kawasan timur.
Hingga pekan ini, total 11 ribu kamar tersedia di seluruh wilayah Kerajaan. Menurut Kemenpar, persiapan karantina diprioritaskan untuk menyambut kepulangan warga negara Saudi dari luar negeri, begitu akses penerbangan internasional dibuka lagi.
Bagaikan Liburan
Pemerintah mewajibkan karantina minimal 14 hari bagi kedatangan dari luar negeri. Baik warga negara sendiri maupun warga negara asing. Perlakuan karantina tak terlalu diskriminatif. Kecuali bahwa kamar hotel paling mewah diberikan kepada warga negara kelas atas. Fasilitas hotel bebas digunakan, termasuk layanan kamar. Seluruh biaya dilunasi pemerintah.
Pelatih Timnas Sepak Bola Saudi Abdulhakeem al-Tuwaijri menyampaikan kepada AFP bahwa pengalaman karantina di hotel mewah bagaikan paket liburan memuaskan. Bersama seluruh skuad yang kembali dari pelatihan di Barcelona, ia diwajibkan menginap dua pekan di sebuah hotel di Mekkah.
“Fasilitas hotel bintang lima di Eropa tak ada apa-apanya,” katanya penuh kebanggaan.
Kontrol medis ekstraketat selama masa karantina tak terlalu menyulitkan. Pasalnya, Tuwaijri dipilihkan kamar tipe plush suite. Tingkat kenyamanan lebih tinggi, ruangan lebih luas, dan pemandangan lebih indah. “Rasanya lebih seperti liburan,” ujarnya.
Cerita lainnya cukup menggelikan. Sekelompok orang dari Asia Selatan digiring ke hotel ketika pesawat mereka transit di bandara Riyadh. Awalnya kebingungan, tapi kemudian memanfaatkan situasi dengan memesan layanan kamar “berlebihan”. Mumpung gratis.
Beberapa pendatang menunjukkan reaksi keberatan dengan sistem karantina di hotel. Begitu pesawat mendarat, pihak bandara langsung mengangkut mereka ke hotel. Mereka protes. Tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Barang bawaan tertukar atau salah taruh. Ada pula komplain karena pesanan makanan tak kunjung datang.
Protes semacam itu dianggap keterlaluan dan tidak tahu berterima kasih.
“Arab Saudi bukan jawara dalam hal hak asasi manusia. Namun, mereka berusaha bersikap baik dengan cara mengarantina orang di hotel berbintang,” kata Quentin de Pimodan dari Lembaga Riset untuk Kajian Eropa dan Amerika (RIEAS). “Itu seperti menjatuhkan dua burung dalam satu lemparan batu. Hotel selamat, juga industri pariwisata.”
Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) menggulirkan reformasi segala sektor dalam beberapa tahun terakhir. Ia ingin mengubah citra Saudi dari sebuah kerajaan konservatif menjadi negara modern. Salah satunya, pemerintah menggenjot sektor pariwisata sebagai sumber pendapatan utama. Supaya tidak melulu bergantung pada hasil minyak.
Program “visa turis” diluncurkan pada September 2019 untuk mendongkrak kedatangan wisatawan manca dari seluruh dunia. Ambisinya muluk. Saudi harus dikunjungi 100 juta wisman dalam setahun. Target harus tercapai, maksimal pada 2030.
Keinginan Pangeran MBS disambut baik pelaku industri. Pihak swasta berlomba-lomba membangun hotel, dengan pemerintah memperkirakan 500 ribu kamar dibutuhkan dalam satu dekade mendatang. Tak kurang dari 138 proyek pembangunan hotel tengah dipersiapkan periode 2019-2020. Total akan ada 54.143 kamar baru untuk tahun depan.
Celakanya, COVID-19 menyerang tanpa ampun. Pariwisata di seluruh dunia terkoyak. Industri perhotelan rugi besar. Saudi merasakan pukulan serupa. Namun, langkah pemerintah dalam menyelamatkan industri ini patut dipuji. Negara lain, yang memiliki anggaran pas-pasan, barangkali bisa menirunya. Tentu dengan skala lebih kecil atau modifikasi bentuk berbeda.