Pandemi COVID-19 di Inggris mengganas dari hari ke hari. Hingga Kamis (2/4), lebih dari 29 ribu orang terinfeksi dan lebih dari 2.350 pasien kehilangan nyawa. Empat dokter dikabarkan gugur saat berjuang di garda terdepan.
Mereka adalah Alfa Sa’adu, Amged el-Hawrani, Adil El Tayar, dan Habib Zaidi. Keempatnya merupakan warga negara minoritas: Muslim, juga keturunan Afrika, Asia, dan Timur Tengah.
Di negara kulit putih yang mengagungkan nasionalisme, mereka menjadi teladan bahwa solidaritas kemanusiaan tidak memandang warna kulit, asal negara, atau pribumi dan pendatang. Akhlak, perbuatan, dan dedikasi mereka menjadi ukuran. Patokan untuk diteladani.
Dr Salman Waqar, Sekretaris Jenderal Asosiasi Medis Islam Inggris, menyatakan kontribusi keempat dokter itu tiada tanding.
“Mereka semua lelaki yang berbakti pada keluarga, dokter senior yang berkomitmen, dan telah mendedikasikan hidupnya demi melayani masyarakat atau orang sakit selama puluhan tahun,” katanya seperti dilansir situs berita Al Jazeera.
“Mereka memberikan pengorbanan tertinggi saat melawan COVID-19. Kami meminta semua orang melakukan bagian mereka dengan tetap tinggal di rumah demi melindungi hidup dan mencegah lebih banyak kematian.”
Gugurnya keempat dokter tersebut menghadirkan gambar besar tentang kontribusi vital tenaga medis dari latar belakang minoritas di tubuh Dinas Kesehatan Nasional Inggris (NHS). Kaum minoritas senyatanya menjadi tulang punggung NHS. Sekitar 40,1 persen staf yang bekerja untuk NHS merupakan Etnis Minoritas dan Kulit Hitam (Black and Minority Ethnic/BME).
Pemerintah Inggris menyatakan belasungkawa mendalam dan menjadikan tragedi ini sebagai titik tolak untuk meningkatkan kinerja melawan pandemi. Menteri Dalam Negeri Priti Patel memulai gerakan penghormatan atas jasa tenaga medis dengan memberikan kelonggaran visa.
“Sekitar 2.800 staf medis dengan batas waktu visa hingga 1 Oktober bakal diperpanjang setahun tanpa biaya,” katanya, Selasa (31/3) lalu.
Perdana Menteri Boris Johnson, yang positif terinfeksi bersama Menteri Kesehatan Matt Hancock dan Pangeran Charles, menjanjikan upaya tes atau pengujian secara masif. Sejak lockdown nasional pada 23 Maret, Inggris gagal meredam laju penyebaran virus. Upaya tes skala besar, seperti dilakukan Jerman, diharapkan memutus mata rantai penularan.
Inggris melakukan tes untuk 153 ribu warga sejauh ini. Rerata tertinggi adalah 10 ribu tes dalam sehari pada Selasa lalu. Targetnya, 25 ribu tes bakal dilakukan sehari mulai pertengahan April. Jika jumlah pasien tidak bertambah, korban jiwa dari kalangan dokter dan perawat otomatis bisa diminimalisasi.
Profil Empat Dokter Pahlawan di Inggris
Amged el-Hawrani
Ia lahir di Sudan, anak kedua dari enam bersaudara. Ia pakar telinga, hidung, dan tenggorokan (THT) di sebuah rumah sakit universitas di Inggris bagian utara. Di mata keluarga, Amged merupakan figur ayah yang berjuang untuk banyak orang.
Walaupun tidak memiliki riwayat penyakit berat, ia tak kuasa melawan serangan COVID-19. Ia meninggal dunia pada Sabtu (28/3), dalam usia 55 tahun. Amged dimakamkan di Bristol, barat daya Inggris, tempat ibunya tinggal, pada Selasa.
“Amged berkarakter kuat, baik secara fisik maupun mental, tapi berpembawaan tenang dan lembut,” kata Amal, adik bungsunya, saat memberikan penghormatan terakhir. “Kekuatannya selalu digunakan demi kebaikan. Ia seorang pelindung, perisai, dan berjuang untuk orang-orang dan saudara-saudaranya.”
Habib Zaidi
Ia dikenal sebagai dokter umum yang baik hati dan penuh dedikasi. Ia lahir di Pakistan, pindah ke Inggris hampir 50 tahun lalu, dan bekerja di Leigh-on-Sea di Essex, daerah tenggara.
Zaidi meninggal dalam usia 76 tahun, Rabu (1/4). Terinfeksi COVID-19, ia memutuskan mengisolasi diri di rumah selama sepekan. Sang dokter tak tertolong setelah dibawa ke rumah sakit dan dirawat di unit perawatan intensif, Selasa.
“Zaidi dokter yang sangat disukai dan dihormati. Ia bagaikan paket lengkap yang banyak dicari para pasien. Ramah, peduli, dan periang,” ungkap Christine Playle (73), mantan pasien Zaidi. “Ia sangat berdedikasi dan bahkan rela mengorbankan nyawanya.”
Adil El Tayar
Ahli bedah dan transplantasi organ ini merupakan lulusan Universitas Khartoum, Sudan, pada 1982. Ia meninggal dunia pada 25 Maret dalam usia 64 tahun. Seiring pandemi, El Tayar bekerja di Rumah Sakit Wilayah Hereford di Inggris bagian barat sebagai sukarelawan di departemen darurat. Ia yakin tertular virus saat menangani pasien di rumah sakit. Ia mengisolasi diri di rumah, tapi kemudian dirawat di rumah sakit menggunakan ventilator.
“Ia mau ditempatkan di mana saja, supaya menjadi orang berguna di saat krisis. Sayang sekali, hanya 12 hari waktu yang diberikan kepada Adil untuk beralih dari dokter yang tampaknya sehat dan cakap bekerja sampai akhirnya terbaring di kamar mayat,” kata sepupunya Zeinab Badawi, seorang jurnalis BBC.
Duta Besar Inggris untuk Sudan Irfan Siddiq menyatakan belasungkawa mendalam melalui Twitter. Ia juga berterima kasih kepada setiap tenaga medis di mana pun yang menunjukkan “keberanian luar biasa” dalam perang melawan COVID-19.
Alfa Sa’adu
Sa’adu lahir di Nigeria dan bekerja dengan NHS selama hampir 40 tahun. Ia meninggal dunia pada Selasa dalam usia 68 tahun, setelah dua pekan berperang melawan COVID-19. Lulus dari University College Hospital Medical School pada 1976, ia pergi ke London dan mengawali karier medis sebagai konsultan bidang kedokteran geriatri. Ia pensiun dengan jabatan terakhir direktur medis di sebuah rumah sakit.
“Ia sangat peduli dan selalu bersemangat untuk menyelamatkan orang lain. Matanya selalu bersinar-sinar setiap kali berbicara tentang obat-obatan,” kata Dani, putra Sa’adu. “Ayah saya suka mengajar mahasiswa kedokteran di Inggris dan Afrika. Ia pensiun dan bekerja paruh waktu di Queen Victoria Memorial Hospital di Welwyn, Hertfordshire, sampai akhirnya meninggal dunia.”
Mantan Presiden Senat Nigeria Bukola Saraki memuji Sa’adu sebagai “teladan kepemimpinan orang-orang diaspora dari negara kita”.