Pro kontra terhadap disahkannya Undang-Undang KPK masih berlanjut hingga hari ini Unjukrasa sejumlah elemen masyarakat yang pro dan kontra, pun terus terjadi. Pihak yang kontra menilai revisi UU tersebut merupakan bentuk pelemahan terhadap komisi anti rasuah itu. Sedangkan pihak yang pro meminta pihak-pihak yang tidak setuju revisi lebih baik mengambil langkah hukum, misalnya mengajukan judicial review ke MK.
Menyikapi hal itu, koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak), Lieus Sungkharisma meminta semua pihak untuk segera menghentikan polemik terkait disahkannya UU KPK tersebut.
“Sudahlah, stop pro itu. Jika semua pihak bersikukuh dengan argumennya masing-masing, justru hal itu menjadi kontraproduktif. KPK tak akan bisa bekerja dengan maksimal,” katanya.
Lieus sendiri mengaku setuju adanya perubahan bagi penguatan KPK. “Saya setuju UU KPK direvisi, tapi bukan dalam bentuknya seperti yang sekarang ini,” katanya. Revisi itu, tambah Lieus, seharusnya pada Tupoksinya hingga KPK tidak lagi sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi, tapi menjadi Komisi Penegakan Hukum (KPH) yang fokus menindak dan menangkap para penegak hukum yang melakukan abuse of power,” katanya lagi.
Menurut Lieus, biarlah tugas penyidikan, penyelidikan dan penindakan korupsi dilakukan oleh Polisi, Jaksa dan Hakim. “KPK justru bertugas mengawasi kerja Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokat. Dengan demikian KPK menjadi KPH (Komisi Penegakan Hukum) yang fokus pada memeriksa, menindak dan menangkap Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya,” ujar Lieus.
Dengan Tupoksi itu, ujar Lieus lagi, negeri ini akan punya aparat penegak hukum yang terseleksi dan bersih hingga satu saat nanti kita tak butuh lagi institusi-institusi semacam KPK itu,” jelasnya.
Lieus menyebut, dengan Tupoksi yang fokus pada pengawasan dan penindakan terhadap empat institusi penegak hukum seperti itu, tugas pengawasan dan penindakan terhadap tindak pidana korupsi biar menjadi kerja dan tanggungjawab kejaksaan dan kepolisian.
“Dengan demikian akan tercipta aparatur penegak hukum yang bersih. Hal ini sudah terbukti bisa dilakukan di sejumlah negara. Hongkong misalnya,” ujar Lieus.
Lieus yakin, dengan aparatur penegak hukum yang bersih dan bebas korupsi, low enforcement bisa diwujudkan dan suatu saat nanti lembaga macam KPK tak diperlukan lagi.
Sayangnya, kata Lieus, dalam revisi yang sudah disahkan pemerintah dan DPR, bukan perobahan tupoksi itu yang terjadi. “Tak heran kalau muncul kesan, revisi yang tergesa-gesa itu justru dilakukan untuk melemahkan KPK dan menyelamatkan para koruptor,” ujar Lieus.
Dikatakan Lieus, jika tupoksi KPK tetap seperti sekarang ini, ia meragukan KPK akan menjadi lembaga yang benar-benar kuat. “Pengalaman membuktikan KPK selalu berada dalam arus tarik menarik kepentingan politik dan institusi-institusi yang menyuplai para penyidiknya ke KPK. “Situasi ini akan terus terjadi jika tupoksi KPK tidak dirobah,” jelas Lieus.
Ditanya apakah dengan revisi UU tersebut KPK akan menjadi lebih efektif dalam memberantas korupsi di Indonesia, Lieus angkat bahu. “Mana saya tau. Kita lihat saja nanti,” katanya.
Lieus berharap, jika KPK tidak bisa diubah menjadi lembaga penegak hukum yang mengawasi dan menindak aparat penegak hukum yang melakukan abuse of power, setidaknya KPK dikembalikan pada semangat pembentukannya dulu, yakni menjadi lembaga yang benar-benar untuk memberantas praktik korupsi di negeri ini.
“KPK jangan terus menerus dipolitisasi dan dijadikan ajang perebutan kekuasaan antar institusi atau menjadi alat perlindungan bagi kekuasaan sebagaimana kesan yang selama ini terlihat. KPK harus bebas dari semua kepentingan itu,” katanya.