Oleh : Hersubeno Arief
Pengamat politik
Untung saja ada koruptor. Dan untungnya koruptor itu bersatu. Menjadi oligarki yang saling melindungi.
Coba bayangkan, andaikata mereka tidak bersatu. Bahu membahu mempercepat revisi UU. Memilih figur cacat sebagai pimpinan KPK yang baru. Bersekongkol melemahkan KPK. Apa jadinya dengan bangsa kita?
Para akademisi, lemah syahwat menghadapi berbagai ketimpangan di tengah masyarakat. Mahasiswa lelap dalam tidur panjang dan mimpi indah. Tak peduli apapun yang terjadi, di luar diri mereka sendiri.
Media terus membebek, menghamba pada kuasa. Para aktivis menjadi pelacur, hanya demi sekerat remah kekuasaan. Para tokoh, cerdik pandai kehilangan akal sehatnya. Dungu!
Dan yang paling parah, masyarakat kita terbelah semakin dalam. Dua kubu saling bertentangan. Dua kelompok yang terus menerus mencari kesalahan masing-masing. Saling terkam. Saling hajar!
Karena perbedaan pilihan politik. Mereka mengalami disorientasi. Tidak bisa membedakan buruk dan baik. Mana yang dungu dan mana yang akal sehat!
Berkat para koruptor, berkat oligarki, ada tanda-tanda yang sangat kuat, semua elemen masyarakat mulai bangkit bersatu. Mulai dari akademisi, tokoh masyarakat, mahasiswa, LSM, media, kembali ke jalur semula.
Siuman. Back on the right track.
Ratusan profesor dan dosen di UGM, almamater Presiden Jokowi menyuarakan protesnya. Mereka menyesal telah mendukung Jokowi. Kampus UII Yogyakarta menyiapkan mosi tidak percaya.
Di Bandung konsolidasi mahasiswa Unpad malah jauh lebih maju. Mereka sudah menyampaikan mosi tidak percaya terhadap Jokowi.
Di Pekanbaru, Riau ribuan mahasiswa turun ke jalan memprotes Jokowi. Mereka bahkan mengambil alih sidang paripurna DPRD.
Di Jakarta sejumlah mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, Kamis (19/9) menduduki gedung DPR. Mereka menyampaikan mosi tidak percaya kepada DPR.
Kampus-kampus besar seperti Trisakti dan UI mahasiswanya kembali turun ke jalan. Menunjukkan jati dirinya sebagai kampus reformasi dan kampus perjuangan.
Dua group media besar yang selama ini menjadi penyokong utama Jokowi —untuk sementara— kembali ke jalan yang benar. Alhamdulillah……
Kompas mulai sangat kritis terhadap Jokowi. Menelanjangi klaim Jokowi, bahwa dia mengajukan revisi atas pasal-pasal, seakan memperkuat KPK. Padahal pasal-pasal itu memang tidak ada dalam RUU KPK yang baru. Dengan bahasa lain, Kompas menyatakan Jokowi berbohong.
Berita semacam itu menyalahi kebijakan editorial, gaya bahasa Kompas yang njawani. Prinsip mereka selama ini adalah jurnalisme “slaman, slumun, slamet.”
Indonesianis Ben Anderson menyebut Kompas sebagai “jurnalisme meliuk.” Swasensor. Menerapkan sensor internal, sebelum kena sensor penguasa.
Gegara isu pelemahan KPK, kebijakan redaksi itu mulai ditinggalkan. Mereka mulai garang.
Tempo menulis Tajuk, sebagai sikap redaksi yang sangat keras mengecam Jokowi. Sampul muka majalah Tempo menampilkan gambar Jokowi dengan bayangan hidung yang memanjang, mirip boneka Pinokio.
Dalam dongeng anak-anak yang sangat populer dan mendunia, Pinokio adalah boneka yang digambarkan hidungnya memanjang, setiap kali berbohong.
Sampul majalah ini membuat pendukung garis keras Jokowi meradang. Mereka mengadukan kasusnya ke Dewan Pers, dan berencana melaporkan ke polisi.
Di dunia maya, caci maki, sumpah serapah, ditujukan ke Tempo. Buzzer menyerbu tak kenal ampun.
Tempo bergeming. Koran Tempo edisi Jumat (20/9) memilih headline sangat garang dan menantang. Dengan judul dalam huruf kapital: MENOLAK KEMBALI KE ORDE BARU.
Foto ribuan mahasiswa di depan pagar gedung MPR/DPR sambil mengepalkan tangan, dipajang satu halaman penuh.
Goenawan Mohammad pendiri majalah Tempo melalui akun twitter menyatakan kekecewaannya terhadap politisi yang disebutnya penuh kepalsuan.
Oleh pegiat dunia maya kicauannya itu dianggap sebagai bentuk kekecewaannya terhadap Jokowi.
Seperti sebuah virus, gerakan ini menyebar dan menular dengan cepat. Tiba-tiba muncul kesadaran bersama bahwa Jokowi adalah bagian dari persoalan. Bagian dari oligarki yang melindungi para koruptor.
(Lebih hebat dari Jokowi dan Prabowo)
Isu pelemahan KPK ternyata bisa menjadi isu bersama. Bisa menjadi solidarity maker. Berkah di balik musibah. Menyatukan masyarakat sipil. menyatukan elemen-elemen anak bangsa yang terpecah belah.
Apa yang susah payah dilakukan oleh Jokowi dan Prabowo, dengan mudah “dilakukan” oleh para oligarki dan koruptor.
Tidak perlu naik MRT dan makan siang bersama. Tak perlu ada diplomasi nasi goreng. Tak perlu ada janji-janji kursi di kabinet, jabatan-jabatan basah di pemerintahan. Konsesi jabatan di DPR, duta besar, maupun BUMN. Tidak perlu ada konsesi bisnis, atau bantuan pelunasan utang.
Tiba-tiba semua menyatu, menghadapi musuh bersama.
Gerakan ini seperti aliran sungai yang datang dari ribuan arah. Berbagai penjuru Indonesia. Tanpa komando. Mereka mencari muara ke samudera luas. Menjadi gelombang besar. Siap melibas oligarki dan koruptor.
Dimanapun perubahan besar, bukan didorong oleh struktur formal. Dorongan pada perubahan (sosial, politik) selalu datang dari kelas menengah, kaum terdidik.
Akibat perbedaan pilihan politik, selama lima tahun terakhir, kelas menengah terdidik seperti mengalami disorientasi.
Kini urusan politik sudah selesai. Tampaknya telah tiba waktunya kaum cerdik pandai menjalankan tugas mulia: menjaga keutuhan dan keselamatan bangsa dan negara.