PBNU Dukung Revisi UU KPK, Dukung Pelemahan KPK?

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendukung revisi undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Memang Undang-Undang KPK sudah berapa tahun? Sudah 10 tahun lebih kan? Semua undang-undang kalau sudah terlalu lama harus dievaluasi,” kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj, Jumat (6/9/2019).

Kiai Said Aqil menegaskan, semua UU kalau sudah terlalu lama harus dievaluasi dan diperbaiki sana sini karena sudah tidak relevan lagi.

“Pasti ada yang sudah tidak relevan. Jadi, saya mendukung sekali. Setiap undang-undang setiap 10 tahun sekali harus dievaluasi,” katanya.

Menanggapi penolakan pimpinan KPK, Kiai Said Agil mengatakan, “Yang jelas semua harus lebih lagi seperti penyadapan harus ada aturannya, kemudian penyidikan harus ada fatsun, norma, atau akhlak dalam bahasa agamanya.”

Dalam pandangan Kiai Said Aqil, revisi UU KPK tidak berarti melemahkan KPK. Tetapi, orang malahan makin percaya dan bangga dengan KPK.

“Tidak mengkhawatirkan KPK mencoreng nama baik bangsa justru KPK memperbaiki nama baik bangsa,” katanya.

Draf Pelemahan Revisi UU KPK

Dikutip dari CNN Indonesia, Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Oce Madril menyatakan draf revisi UU KPK yang telah disusun DPR itu sangat berbahaya bagi kelangsungan KPK maupun pemberantasan korupsi di Indonesia. Di matanya, pada draf tersebut tak ada poin-poin untuk memperkuat KPK.

Sebaliknya, Oce menilai isi draf perubahan tersebut malah melumpuhkan kewenangan lembaga antirasuah yang telah berdiri selama 16 tahun ini.

Oce kemudian menyebutkan beberapa poin yang melemahkan kewenangan KPK. Pertama terkait keberadaan dewan pengawas (dewas). Oce berpendapat tugas dewas yang tertulis dalam draf revisi UU KPK hanya memangkas peran pimpinan KPK.

Ia merinci beberapa kewenangan dewas yang bisa melemahkan KPK yaitu soal pemberian izin penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan, sampai melaporkan perkara yang belum selesai dalam kurun waktu satu tahun. Pada draf revisi UU KPK, dewas diatur dalam BAB VA. Ketentuan tentang anggota dewas, fungsi, hingga tata cara pemilihan tertuang dalam Pasal 37A sampai 37G. Dewas itu juga menggantikan keberadaan penasihat KPK.

“Dewan Pengawas itu akan bisa menghambat, akan bisa memperlemah, melumpuhkan kewenangan-kewenangan inti dari KPK, terutama kewenangan dalam penindakan,” tuturnya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News