Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi
Musibah kembali terjadi pada pengelolaan BUMN, kali ini menyangkut kinerja manajemen Perusahaan Listrik Negara (PLN) terkait dengan padamnya listrik secara tiba-tiba seharian pada Hari Minggu tanggal 4 Agustus 2019, sejak kurang lebih pukul 09.07 wib. Disaat kita akan memperingati Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-74, yang saat dipraklamirkan itu adalah masa terang benderang setelah melewati era kegelapan kolonialisme, malah PLN menyediakan kegelapan bagi masyarakat di sekitar Jawa dan Bali.
Atas permasalahan padamnya listrik sebagai bentuk keteledoran manajemen PLN ini mengakibatkan Presiden Joko Widodo sampai TURUN TANGAN langsung ke kantor PLN di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pertanyaannya adalah, kemana aspek pengawasan atas hajat hidup orang banyak yang selama ini harus dilakukan tidak hanya oleh PLN, namun juga oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian BUMN, Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, Kepala Bappenas, Kementerian Perhubungan (terkait antisipasi energi sektor transportasi), dan Kementerian Keuangan (terkait kapasitas keuangan BUMN)?
Manajemen PLN
Sektor kelistrikan adalah energi bagi bangsa dan negara, apalagi masyarakat sebagai konsumen kegiatan sehari-hari mereka sangat bergantung pada listrik yang disediakan oleh PLN. Pengelolaan korporasi BUMN PLN tidak boleh dijalankan secara gegabah dan serampangan tanpa peremcanaan dan pengawasan yang terukur dan terarah. Resiko bisnis di sektor kelistrikan tak jauh berbeda dengan industri pertambangan mineral, minyak dan gas bumi yang beresiko dan dengan investasi yang besar (high-investment risk). Tidak ada satupun perusahaan di dunia ini, termasuk PLN yang mampu menghindarkan diri dari resiko yang tinggi dari kegiatan pengelolaan energi listrik dengan voltase yang tinggi, meskipun Standar Operasi dan Prosedur (SOP) sudah dijalankan dengan baik dan benar. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah benar SOP tersebut telah dijalankan oleh manajemen PLN yang baru saja pada Hari Jum’at tanggal 2 Agustus 2019 diganti Plt. Direktur Utamanya (Dirut) dari Joko Abdul Manan kepada Sripeni Inten Cahyani yang merupakan mantan Dirut anak perusahaannya PLN, PT. Indonesia Power.
PLN, sebagaimana halnya Pertamina dan Garuda Indonesia adalah beberapa BUMN diantara BUMN lainnya yang merupakan harta kekayaan negara (asset) kebanggaan rakyat Indonesia harus dikelola secara hati-hati dan profesional. Atas kejadian padamnya listrik tanpa pemberitahuan kepada publik atau tak terduga tersebut pantas disebut manajemen PLN abai dan tak melaksanakan tanggungjawabnya dengan sungguh-sungguh untuk kemaslahatan rakyat, utamanya konsumen. Dan peristiwa itu dapat dianggap bahwa jajaran Direksi dan Komisaris PLN mencoba “menampar” wajah Presiden dengan sengaja. Sebuah perlakuan yang buruk atas Kepala Negara dan mengenai konsumen terbesar dan sebagian tentunya adalah para pemilih saat Pemilihan Presiden secara langsung pada tanggal 17 April 2019 yang baru lalu.
Pada Hari Senin tanggal 5 Agustus 2019, kembali PLN melakukan pemadaman listrik, yang kemudian akan semakin membuat publik bertanya-tanya tentang kemampuan keuangan PLN yang sebenarnya saat ini dalam mengelola pembangkit listrik.
Seperti diketahui, bahwa wilayah Pulau Jawa dan Bali merupakan konsumen terbesar dan aktifitas tersibuk roda perekonomian bangsa, otomatis dengan pemadaman listrik selama 2 (hari) berturut-turut akan menghilangkan potensi pendapatan masyarakat sebesar Rp 180 Miliar lebih (asumsi kerugian per hari Rp 90 Miliar lebih). Hal ini disampaikan langsung oleh Direktur Pengadaan Strategis 2 Djoko Raharjo Abumanan menjelaskan estimasi kebutuhan listrik pada hari libur bagi pelanggan di Jabodetabek, Banten, dan Jawa Barat 22.000 Megawatt (MW).
Kebutuhan tersebut dapat disuplai sebesar 13.000 MW dari seluruh pembangkit di Jabodetabek, Jawa Barat, dan Banten. Dari jumlah itu, terdapat selisih 9.000 MW yang merupakan potential lost per jam.
Berarti ada kehilangan 9.000 MW, misalnya 10 jam dikalikan Rp 1.000 (KwH) karena perhitungan rata-rata (tarif listrik) Rp 1.000 per kWh.
Tindak Lanjut Dan Hukuman
Namun demikian, Manajemen tidak bisa dipersalahkan secara diametral, karena para Menteri terkait juga harus turut bertanggungjawab atas kinerja BUMN agar opini publik tidak serta merta menumpahkan kekesalan manajemen PLN tersebut secara langsung kepada Presiden sebagai Kepala Pemerintahan yang akan mengganggu posisi politik Presiden dihadapan partai politik koalisi. Untuk itu seyogyanya Presiden melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Agar mempertimbangkan dengan melakukan evaluasi terhadap kinerja para Menteri yang mempunyai tugas pokok dan fungsi terkait dengan salah kelola (mismanagement) PLN yang berdampak pada kepentingan orang banyak.
2. Kemajuan pengelolaan kebijakan dan program energi harus terus diupayakan dan dipastikan berjalan lancar dengan melakukan pemeriksaan secara fisik kapasitas keuangan BUMN-BUMN atas laporan keuangan BUMN yang telah disampaikan, khususnya PLN terkait kasus rekayasa laporan keuangan Garuda Indonesia yang ditemukan oleh BPK dan OJK.
3. Sebaiknya pihak PLN segera menyampaikan Manajemen Pengelolaan dan Penanganan Permasalahan yang dihadapi terkait pemadaman listrik dimaksud dan Rencana Kerja Tindak Lanjut (RKTL) kepada publik sebagai pengetahuan umum agar masyarakat dapat mempersiapkan diri dalam melaksanakan kegiatan perekonomian sehari-hari dan mencari upaya alternatif energi selain pasokan dari PLN yang sedang terganggu
Agaknya memang tidaklah masuk akal jikalau sampai Manajemen PLN tak mengetahui pembamgkit yang masih beroperasi dengan baik dan mana yang sudah mulai rusak (aus. Semakin tidak elok bagi PLN apabila padamnya listrik sebuah tindakan kesengajaan dalam meruntuhkan kinerja dan wibawa pemerintahan, dalam hal ini moral hazardnya sungguh keterlaluan, “bermain gendang” di atas kesulitan rakyat dan konsumen pelanggan yang mencintai PLN sebagai perusahaan MILIK NEGARA. Permohonan maaf saja tentu tidaklah CUKUP..