Oleh: El Hakimi
Pemerhati masalah Hubungan Internasional dan Politik Islam
Mengejutkan. Tiba-tiba Taliban berkunjung ke Jakarta. Pada Sabtu 27 Juli 2019. Resmi. Ada delapan orang delegasi. Dipimpin oleh wakil amir, Abdul Ghani Baradar. Gagah dengan kostum khas Afghan. Atas nama Taliban. Bukan atas nama warga negara (boneka) Afghanistan.
Taliban itu unik. Seperti entitas dari dunia lain. Laksana alien. Keberadaannya nyata. Tapi dicoba untuk dihilangkan wujudnya oleh Amerika dan koalisi kufur dunia. Selama hampir 20 tahun terakhir. Tapi kini ia makin kuat. Sementara Amerika kian lemah. Tak bisa lagi Taliban disembunyikan dari peradaban dunia.
Kehadirannya di Jakarta menjadi pesan kepada publik dunia, setidaknya Indonesia. Bahwa Taliban kini sudah bisa safari ke berbagai negara. Tak lagi ditangkap di bandara karena dianggap teroris. Tak dijegal karena tidak diakui sebagai manusia. Taliban bukan lagi makhluq halus, tapi entitas terhormat yang diakui legal eksistensinya secara politik-diplomatik dalam percaturan global. Meski belum punya negara berdaulat. Belum punya negara de jure, tapi sudah punya teritorial berdaulat de facto.
Kehadiran Baradar dan rombongan ke Jakarta juga ditulis oleh media sebagai perwakilan resmi Taliban. Dipublikasikan sebagai tamu terhormat. Tidak lagi disebut gerombolan – layaknya kambing. Tak ada lagi diksi meremehkan, penghinaan dan nyinyir. Stigma teroris agaknya telah dicopot dari baju Taliban.
Sebab Taliban hadir resmi sebagai tamu negara. Perjalanannya diatur oleh menteri luar negeri, Retno Marsudi. Diterima oleh wakil presiden, Jusuf Kalla. Dijamu sebagai tamu negara. Hebatnya, semua atas nama Taliban, bukan semata warga Afghanistan. Atau sebagai teroris yang tak punya negara. Karenanya tak bisa lagi di-nyinyir-in. Oleh siapapun. Terutama mereka yang selama ini perutnya mules mendengar Taliban disebut. Sebuah babak kemenangan yang mengagumkan. Buah kesabaran panjang.
Afghanistan sebagai negara, terbelah dua. Sebagian kecil teritorialnya dikuasai pemerintah yang dipimpin Ashraf Ghani. Ditopang kekuatan militer Amerika. Karenanya lebih tepat disebut boneka. Sebagian lain, mencakup teritorial lebih luas, dikuasai Taliban. Kekuasaannya berakar kuat. Didukung masyarakat. Mengambil posisi musuh bagi Amerika dan bonekanya. Selama 18 tahun terakhir.
Amerika tampaknya sudah kelelahan dalam perang marathon melawan Taliban. Bukannya melemah, Taliban makin kuat dan mencaplok lebih banyak teritorial Afghanistan. Selain karena Amerika sudah tidak lagi fokus melawan teroris. Ia kini lebih asyik perang melawan China. Dan menguras banyak tenaga dan biaya.
Dilema bagi Amerika. Jika mau hengkang dari Afghanistan, seharusnya penerus kekuasaan yang diridhai Amerika adalah bonekanya. Tapi kan lemah. Tak berdaya melawan Taliban. Maka Amerika tak bisa lari dari fakta, bahwa penguasa Afganistan yang paling siap melanjutkan pemerintahan hanya Taliban.
Jika Amerika hengkang, pemerintah boneka akan segera hilang ditelan Taliban. Perang selama 18 tahun dengan kerugian ribuan nyawa dan trilyunan dolar biaya, harus berakhir menyedihkan. Musuh yang amat dibenci akhirnya menang.
Dilema ini yang hendak diurai Amerika. Ia ingin segera pulang, tapi tetap dengan kepala tegak. Atau minimal pura-pura tegak. Atau ingin pulang tapi jangan Taliban yang berkuasa. Atau jika harus berkuasa, jangan menjadi basis kekuatan umat Islam dunia. Atau jangan menjadi pangkalan untuk meluncurkan serangan ke negara lain.
Amerika ingin Taliban dan pemerintahan boneka di Afghanista bersekutu dalam membangun negara bersama. Sehingga menjamin pengikat persatuannya tetap nasionalisme – bukan Islam, ideologinya tetap Liberalisme – bukan Islam, dan politiknya tetap Demokrasi – bukan Islam. Tentu saja, konstitusinya juga gado-gado – jangan Islam.
Agaknya Taliban pandai memainkan posisi tawar. Ia tahu Amerika sudah kelelahan dan lemah. Sudah saatnya Taliban pasang harga tinggi, dan harga mati – tak bisa ditawar. Taliban pasang harga mati bahwa semua pembicaraan damai harus dengan syarat seluruh pasukan asing hengkang dari bumi Afghanistan. Jika tidak, perang akan terus berlanjut.
Syarat ini bagus banget. Ia benar secara Islam, karena penjajah kafir harus dilawan dan dipaksa pulang. Benar pula secara nasionalisme, karena siapapun yang cinta Afghan tak akan rela buminya dijajah oleh pasukan asing. Sehingga Taliban lebih mendapat dukungan, baik dari kalangan Islam maupun nasionalis. Narasinya lebih lebih masuk akal.
Sementara pemerintah boneka, yang dipimpin Ashraf Ghani itu, justru minta Amerika bertahan. Sebab boneka akan rapuh tanpa Amerika. Poin ini menjadi titik lemah narasi mereka, lantaran akan ditolak kalangan Islamis dan ditenteng kalangan nasionalis. Karenanya kian tak populer. Apalagi jika Amerika benar-benar pergi. Boneka akan seperti layangan putus benang.
Melihat dilema seperti ini, Amerika akhirnya memilih pragmatis. Padahal dulu datang dengan jumawa. Laksana penguasa alam semesta. Kini tak mampu untuk sekedar berkelit dari tekanan Taliban, apalagi melawan Taliban.
Amerika melunak. Ia bersedia duduk berunding dengan Taliban. Dan ini juga bagian dari syarat yang diminta Taliban, yaitu tak mau berunding dengan boneka, maunya dengan si tuan. Taliban mau berunding dengan boneka hanya jika si tuan telah pergi. Nah lo. Pusing kan.
Sejak awal 2019 rangkaian perundingan telah dihelat. Lokasinya di Doha, Qatar. Nah kini Amerika ingin melibatkan Indonesia untuk membantu menjembatani dialog. Wajar, karena Indonesia dianggap simbol negara muslim dengan penduduk terbesar. Selain karena Indonesia bisa diterima Taliban sebagai saudara seiman, dan diterima Amerika sebagai mitra penting di kawasan.
Kehadiran Taliban di Jakarta tak akan memberi keuntungan buat Amerika. Sebab hingga kini Taliban bertahan dengan syarat Amerika keluar secara total dari tanah Afghan. Siapapun yang ingin membujuk agar syarat itu diperlunak – termasuk Jakarta – tak akan digubris Taliban. Sudah kadung dipatok harga mati.
Sebaliknya, safari ke Jakarta justru menguntungkan Taliban. Setidaknya bisa menyapa publik Indonesia yang mayoritas muslim. Yang dukungan mereka terhadap Taliban akan sangat bermakna.
Kehadiran Taliban menunjukkan bahwa mereka telah kembali menjadi manusia. Dan terhormat. Setelah belasan tahun dijadikan hantu oleh Amerika dan seluruh warga dunia, termasuk umat Islam Indonesia. Publik sebelumnya bahkan takut untuk sekedar menyebut nama Taliban, karena dianggap identik dengan teroris – sosok paling jahat di muka bumi.
Sudah saatnya publik Indonesia siap-siap menerima Taliban. Sebagai warna baru dalam percaturan politik global. Untuk diambil pelajarannya. Komunitas kecil dan miskin tapi berhasil mengalahkan Amerika, sang super power tunggal dunia.
Sebentar lagi Taliban akan menjadi negara berdaulat – insyaallah – dengan warna syariah yang puritan. Ini yang paling menarik, mereka bisa menjadi negara merdeka dan berdaulat, diakui secara legal oleh komunitas global, tapi konstitusi dan ideologinya murni Islam. Mereka berperang di atas ideologi Islam, dan tak pernah mau menegosiasikan ideologi itu apapun yang terjadi. Sudah harga mati. Karenanya Demokrasi akan dikirim pulang ke Amerika bersama seluruh tentaranya – dengan hina.
Prediksi akan segera kembalinya kekuasaan Taliban secara penuh di Afghanista bukan kesimpulan lebay. Sebab skenarionya tak mungkin mundur. Maksudnya, tak mungkin ada negara yang siap menggantikan Amerika untuk sekedar perang melawan Taliban. Amerika yang super power saja keok.
Sementara menguatkan sang boneka juga tak mungkin. Sudah terlalu kecil teritorialnya. Terlalu lemah kekuasaannya. Terlalu banyak koruptornya. Terlalu rendah moral tempurnya. Dan Amerika tahu itu.
Maka satu-satunya solusi hanya bergerak maju. Memberi jalan bagi Taliban untuk memimpin Afghanistan. Tentu dengan pengakuan diplomatik dari komunitas global. Tak mungkin ada jalan mundur lagi. Insyaallah. Allahu akbar.
Amerika tinggal memikirkan dua hal, pertama, bagaimana cara pulang kampung dengan terhormat. Disambut sebagai pahlawan. Bukan disambit sebagai pecundang, di negerinya sendiri. Kedua, bagaimana caranya Taliban bisa dikunci di tanah Afghanistan saja kelak ketika berkuasa, jangan melebar ke luar sehingga membahayakan singgasana kekafiran dunia.
Keberhasilan Taliban ini menyuguhkan cerita baru kepada umat Islam. Tentang dua jalan perjuangan. Pertama, jalan parlemen. Kedua, jalan perlawanan non parlemen.
Umat sudah banyak mendengar cerita sukses perjuangan dengan jalan parlemen. Contohnya Turki dengan tokoh sentralnya Erdogan. Juga Mesir dengan Mursi dan partai Ikhwan. Atau Masyumi di Indonesia. Meski lebih banyak cerita pilunya. Tapi perjuangan dengan jalan ini hingga kini terbukti tidak bisa menuntaskan idealisme, sebab memang tidak ditujukan untuk merebut kemerdekaan dengan Islam, tapi hanya menghalangi lebih banyak kerusakan dan menghadirkan lebih banyak maslahat bagi umat Islam dan seluruh elemen masyarakat.
Nah kali ini ada cerita sukses perjuangan dengan jalan perlawanan non parlemen. Atau jalan jihad. Ada beberapa yang masih tertatih-tatih seperti jihad di Suriah, Yaman, Gaza, Moro, Cechnya dan lain-lain. Tapi Taliban hadir dengan kisah suksesnya. Setelah berjibaku 18 tahun di medan perang, kini mereka sedang menanti buah perjuangan itu. Sehingga layak dijadikan guru bagi siapapun yang ingin menempuh jalan tersebut.
Buahnya nyata insyaallah. Kemenangan berupa kemerdekaan, kedaulatan, pengakuan internasional dan konstitusinya murni Islam. Pertama kali dalam sejarah modern – jika nanti Taliban benar-benar berkuasa penuh – ada negara syariah diakui secara diplomatik. Sebuah kemenangan gemilang sebagaimana kemenangan Nabi saw dengan perjanjian Hudaibiyah – diakui secara politik oleh musuh.
Ahlan wa sahlan Taliban ! Selamat datang di Jakarta. Kami menyambutmu dengan gembira, kawan.