Ketika Amien Rais Melawan dalam Kesendirian

Amien Rais (IST)

Oleh: Bagus Mustakim
(Penyusun Autobiografi Amien Rais: Inilah Jalan Hidup Saya, diterbitkan oleh Pustaka Insan Madani th 2010)

Ketika saya menyusun Autobiografi Amien Rais pada th 2010, ada satu pertanyaan yang saya ajukan ke beliau, mengapa setelah berhenti dari Ketua Umum PAN beliau tidak lantas mandito sebagai guru bangsa, tapi tetap aktif mengkritisi pemerintahan SBY? Sementara saat itu PAN berada dalam koalisi pemerintahan SBY.

Saat itu beliau menjawab bahwa sebagai orang yang sudah tidak lagi pegang kendali partai, Pak Amin tidak mengetahui seluk beluk strategi dan kebijakan partai secara detil.

Sementara untuk sikap kritisnya, Pak Amin menegaskan bahwa keseimbangan kekuasaan harus dijaga. Tidak boleh ada satu kekuatan politik yang memegang kekuasaan tanpa kontrol. Kalau tidak ada lagi kekuatan politik yang menjadi kontrol, maka beliaulah yang akan mengambil posisi itu, agar demokrasi tetap sehat.

Bisa jadi sikap keras Pak Amien terhadap Jokowi disebabkan karena adanya kecenderungan kekuasaan politik yg tidak berimbang. Seperti yg kita ketahui, sebelum berkuasa, PDIP merupakan kekuatan oposisi yg konsisten tidak masuk pemerintahan SBY selama 10 tahun. Setelah memenangkan pemilu pada tahun 2014, hampir semua kekuatan politik merapat ke PDIP. Golkar, PAN, PPP yg awalnya berseberangan politik bergeser menjadi pendukung Jokowi.

Tidak hanya orpol, banyak kekuatan masyarakat sipil, termasuk media massa yang berhaluan sebagai pendukung pemerintah. Bisa jadi kecenderungan ini terjadi karena adanya hubungan psikologis sebagai sesama kekuatan oposisi pada masa sebelumnya.

Dalam konteks inilah, agar demokrasi tetap sehat, Pak Amien berusaha menghidupkan kekuatan oposisi. Bukan tanpa risiko, Pak Amien dibully habis-habisanan di medsos. Disebut sengkunilah, inilah, itulah dsb. Khususnya oleh mereka yg pada th 98 masih bayi atau anak-anak, atau bahkan belum lahir. Ketokohan Pak Amien sebagai pahlawan reformasi pun terdegradasi besar-besaran.

Namun pilihan Pak Amien utk menjaga demokrasi di negeri ini tidak bergeming. Beliau rela kehilangan popularitas dan kepahlawanannya demi demokrasi yang sehat. Beliau tidak mau demokrasi di negeri ini kembali ke era orba dengan yang mempraktikkan demokrasi semu dan prosedural.

Demi pilihan ini, Pak Amien juga rela dicaci maki oleh anak-anam ideologisnya, yang sedang mencari keberuntungan politik di kubu yang berlawanan, atau sekedar tidak memahami perjuangan menyelamatkan demokrasi yang dilakukannya. Beliau juga rela ditinggalkan oleh gerbong politik yang memilih mengambil jalan demokrasi prosedural.

Di usianya yang senja, beliau tetap menyuarakan demokrasi. Karena tidak ada lagi yang peduli dengan demokrasi. Mereka hanya menjalankan demokrasi prosedural untuk berkuasa atau merebut kekuasaan. Pak Amien, dengan segala risikonya, tetap istiqamah mengawal demokrasi.

Situasi ini mirip seperti di era orba, ketika semua kekuatan politik tidak ada lagi yg peduli dg demokrasi. Saat itu Pak Amien berhasil menggugah kalangan kampus utk bergerak memperjuangkan demokrasi melalui gerakan reformasi.

Sayang saat ini kampus tak lagi bisa diajak berjuang. Bahkan gelar guru besar Pak Amien pun mereka rampas.

Pak Amien benar-benar melawan sendirian. Meskipun kini harus berhadapan dengan tuduhan makar dan provokator.

Seandainya saya berada di jalur yang berbeda dengan beliau, saya tidak akan menyebutnya makar atau meneriakinya sebagai provokator. Saya akan tetap berdoa untuk keselamatan dan kesehatan beliau.

Doa yang sama yang saya panjatkan pada tahun 1998 dan di tahun 2010 ketika saya dapat kesempatan ekaklusif untuk menyusun kepingan-kepingan pengalaman dan pikiran politik beliau dalam sebuah buku autobiografi.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News