Nazar El-Mahdudzi
Aktivis 98
Banyak opini kemenangan setelah Pilpres 2019. Prabowo Subianto mengklaim menang dengan perolehan suara 62 persen. Sejumlah lembaga survei melalui hitung cepat (quick count) menyatakan Jokowi menang 55 persen.
Pendapat publik terbelah. Di media mainstream, apalagi media sosial, perang opini berlangsung sangat seru. Semua pendukung paslon 02 dan 01 haqul yakin kandidatnya menang.
Sikap pendukung 01 mengandalkan opini Quick Count, mengantarkan tandingan opini Lembaga Survei yang telah terlegitimasi KPU Vs Team Sukses Prabowo-Sandi.
Sementara Jokowi dalam pidato “kemenangan” tidak berani mengklaim telah memenangkan data Pilpres berdasar C1yang sah.
Framing media Lembaga Surveyli sebuah era post truth yang sudah menjadi pandemi (wabah) global di seluruh dunia.
Situasi dimana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan fakta-fakta yang obyektif.
Mengapa itu semua bisa terjadi? Khusus di Indonesia disebabkan adanya public distrust (ketidakpercayaan publik) yang sangat akut terhadap Lembaga Survei dan pemerintah.Apapun yang disampaikan mereka tidak akan dipercaya publik.
Situasi ini ditemukan dari fakta-fakta kecurangan sebelum dimulai Pilpres tanpa langsung ditangani secara hukum oleh KPU untuk dikenakan sangsi kepada Partai dan Caleg.
Bahkan respon Lembaga Survei malah menaikan cukup telak dengan tingkat elektabilitas hingga selisih 25 persen kemenangan Jokowi-Amin.
Tanpa disadari Jokowi-Amin justru dimenangakan kembali tapi kemenangan menurun dengan selisih 8 persen.
Kepercayaan masyarakat saat ini, mempertanyakan adakah Lembaga Survei mempunyai data tabulasi C1 sah secara hukum ??
Publikasi Lembaga Survei dapat menjadi alansir hoax dalam statistik jika tidak menggunakan argumentasi data sah C1 dan bukan mengandalkan data hasil survey untuk membentuk opini.