Sahabat Andi Arief, Nezar Patria membuat catatan di akun Facebook-nya terkait tertangkapnya mantan Ketua SMID itu dalam kasus Narkoba.
Nezar yang menjadi sahabat Andi sejak kuliah di UGM dan sama-sama menjadi aktivis mahasiswa melawan Rezim Soeharto menilai harus objektif dalam menilai kasus ini.
Berikut ini catatan Nezar Patria:
Saya tahu ini catatan yang percuma: Andi Arief ditangkap polisi dengan tuduhan memakai sabu, dan apapun komentar saya tentang sisi lain AA mungkin akan dilihat sebagai sebuah pembelaan. Tapi saya duga dia tak minta dibela. Saya percaya dia akan berani menghadapi risiko terburuk atas apa yang dilakukannya.
Saya ingin mengatakan agar kita bersikap lebih adil kepada seseorang yang sedang tersudut. Foto-foto penangkapannya menyebar dan viral di WA. Saya tak tega melihatnya. Tentu itu ada sebabnya mengapa gambar itu menjadi viral. AA adalah “penyerang utama” di kubu Prabowo. Berulangkali dia menembakkan isu yang bikin gempar. Dari soal kardus mahar sampai kontainer kotak suara. Dia dicaci dan juga dipuji. Para pembencinya menyebutkan dia “pemabuk penyebar hoaks”. Para pemujanya mengatakan dia “pengkritik pedas kekuasaan”. Tergantung di mana mereka berdiri, dan siapa yang mereka dukung.
Saya kira AA mungkin tak butuh label itu semua. Seorang kawan mengatakan dia punya urat politik yang kuat, dan akan bekerja sesuai misi politik yang diamanatkan kepadanya. Kalau saja kemarin Demokrat jadi merapat ke kubu Jokowi, maka dia akan berada di depan menjadi “kapal perusak” yang menyerang Prabowo. Dia akan menjadi sama bisingnya, seperti peluru yang pernah dia tembakkan ke kubu itu dengan “jenderal kardus”. Bagi AA, bermain politik sama halnya dengan pertandingan sofbol, olahraga kegemarannya.
Saya mengenalnya cukup lama, sejak kami menjadi mahasiswa di UGM dan bersama menggerakkan jaringan mahasiswa pro demokrasi di berbagai kota pada awal 1990an dan bersama masuk daftar aktivis gerakan mahasiswa yang diculik Tim Mawar pada 1998. Karena itu, meskipun kami berbeda pilihan, ikatan perkawanan masihlah cukup baik. Kami bersitegang dan mungkin akan tak bertegur sapa untuk beberapa saat karena berbeda jalan. Tapi segelas kopi dan kenangan yang sulit dipadamkan kadang menganyam apa yang koyak itu.
Sebagai kawan, AA adalah seorang kawan yang baik. Dia peduli dengan temannya yang kesulitan, dia bermurah hati memberikan sebagian gajinya kepada kawan yang sakit dan mendapat kemalangan. Tidak peduli haluannya apa, membenci atau memujanya. Ketika saya terjebak dalam gencatan senjata yang macet di pedalaman Aceh, saat TNI garang bertempur dengan GAM waktu itu, dia mengirim pesan pendek setelah melihat berita tentang itu di televisi: “Segera kembali ke Jakarta ya. Kamu jangan mati dulu”. Saya membacanya sambil tersenyum kecut.
Semasa mahasiswa di Yogyakarta, dia adalah salah satu “bintang” di kampus Fisipol. Sering menulis di koran lokal, terampil berdiskusi, dan garang di mimbar bebas demonstrasi. Kami bersama membangun satu organisasi aksi yang sangat populer pada masa itu di UGM, Komite Penegak Hak Politik Mahasiswa (Tegaklima) yang kemudian menjadi tulang punggung bagi pembangunan gerakan yang lebih besar dan serius, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).
Ketika Peristiwa 27 Juli 1996 meletus (inilah pengantar ke eskalasi politik kejatuhan kediktatoran Orde Baru), dan SMID dituduh sebagai dalang kerusuhan itu dan dicap sebagai organisasi terlarang, AA tiba-tiba muncul di sebuah jumpa pers di Yogya, yang diorganisir diam-diam, dan setelah memberi pernyataan menggemparkan, dia kembali menghilang bersama kawan-kawannya. Jakarta murka karena pada saat jumpa pers itu AA merontokkan semua versi tuduhan Orba itu. Dia, saat itu Ketua Umum SMID, menjadi buruan nomor satu setelah Budiman Sudjatmiko dan kawan-kawan PRD ditangkap.
Berbagai “hoax” muncul, bahwa anak-anak muda itu adalah titisan komunis, yang tentu saja ditanggapi masyarakat sebagai dagelan politik yang menggelikan. YB Mangunwijaya pernah menulis kolom di sebuah majalah saat tuduhan itu terlontar, dan dia mencontohkan bagaimana AA yang melakukan jumpa pers diam-diam itu dengan mengenakan baju sofbol dituduh aneh-aneh. “Bagaimana mungkin anak-anak muda berwajah mbois itu komunis?”, begitu kira-kira Romo Mangun menulis. AA sejak itu memimpin jaringan PRD bawah tanah. Dia sangat garang. Hidupnya 24 jam politik. Sampai semuanya berakhir di 1998.
Setelah 1998, banyak di antara mantan aktivis mahasiswa itu memilih jalannya masing-masing. Ada yang meneruskan sekolah sampai PhD, ada yang jadi pengusaha, wartawan, dan tentu saja politisi. AA memilih jalan politik, dan dia dengan sadar menjalaninya dengan berbagai risiko. Saya tahu banyak yang jengkel dengan ulahnya, meskipun banyak juga yang memuji manuvernya. Tentu banyak yang saya tak tahu juga, misalnya bagaimana dia bisa berujung dengan apa yang diberitakan hari-hari ini.
Bagi saya pribadi, AA tetaplah seorang kawan, dan demikian terus adanya. Kami sering berbeda sikap dan pilihan, dan punya keteguhan masing-masing dalam soal itu. Saya sadar di tengah keriuhan menjelang pemilu seperti ini menulis komentar tentang seorang kawan yang seakan menjadi musuh semua orang adalah tidak populer. Semua akan masuk bingkai “kami atau mereka”. Semua bisa tampak melulu salah, bahkan jika ada seorang suci yang benar-benar bisa berjalan di atas air, para pencercanya akan mencibir: “Dia berjalan, karena dia tak bisa berenang”.
Saya hanya ingin menilai kawan saya, Andi Arief, dengan adil. Itu saja