Oleh: Defiyan Cori
Ekonomi Konstitusi
Polemik mahalnya tiket pesawat dengan menuding mahalnya harga avtur yang dijual oleh BUMN Pertamina bisa saja telah berakhir dengan terbitnya Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (Kepmen ESDM) Nomor 17 Tahun 2019 tentang Formula Harga Dasar dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis BBM Umum Avtur yang Disalurkan Melalui Depot Pengisian Pesawat Udara, pasca Direktur Utama Pertamina dipanggil Presiden ke istana negara pada Hari Kamis tanggal 14 Februari 2019. Dan, pada Hari Sabtu tanggal 16 Februari 2019 Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menindaklanjuti Kepmen ESDM ini dengan merevisi harga jual avtur eceran di dalam negeri dari Rp 8.210 per liter menjadi Rp 7.960 per liter atau turun sejumlah Rp 250 per liter (3,4%). Walaupun sebenarnya harga jual avtur eceran di dalam negeri oleh Pertamina sebelum keputusan penurunan ini oleh Pemerintah masih lebih murah dibandingkan harga jual avtur eceran di Singapura, yaitu Rp 10.760 per liter atau selisih harga lebih mahal dari harga jual avtur eceran Pertamina sejumlah Rp 2.550.
Sebagaimana ketentuan pasal 66 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum (Public Service Obligation) dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN, termasuk dalam hal ini adalah kajian kelayakan (feasibility) finansial atau margin bagi BUMN, jika kebijakan harga tersebut tak layak, maka Pemerintah harus mengkompensasi intervensi politik dalam penetapan harga tersebut.
*Dilema Posisi BUMN*
Selain menjadi bagian yang mendukung penyelenggaraan fungsi kemanfaatan umum sebagaimana ketentuan UU No. 19 Tahun 2003, maka BUMN juga terikat dengan ketentuan UU Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 yang mengharuskan Pertamina untuk mengikuti kaidah-kaidah organisasi korporasi. Artinya, selain tugas PSO di satu sisi, Pertamina juga harus mampu memenuhi tuntutan pemegang saham dalam memenuhi sasaran (target) komersial, menghasilkan laba, membagi hasil laba (dividen), membayar pajak ke negara dan mengalokasikan dana sebagai bagian dari tangggungjawab sosial korporasi (Corporate Social Responsibility/CSR).
Dengan 2 (dua) tanggungjawab yang tidak ringan itu, dibanding korporasi swasta yang hanya terikat pada UU PT, maka posisi BUMN Pertamina selalu dalam posisi beban lebih berat apabila adanya intervensi politik dalam penetapan harga jual produk atau jasa. Dalam konteks opini harga jual avtur eceran Pertamina yang lebih mahal (walau faktanya lebih murah) dan menjadi salah satu komponen biaya yang menyebabkan harga tiket pesawat menjadi mahal, telah dijawab Pertamina dengan berkorban untuk sesama BUMN. Pertamina telah menjadi solusi bagi terbangunnya sinergi BUMN yang patut diapresiasi oleh publik karena mampu menghilangkan ego korporasinya dalam membantu “saudara”nya BUMN Garuda Indonesia (walau tak 100 persen lagi milik negara) dan mendukung Presiden Republik Indonesia dalam melayani masyarakat konsumen supaya tidak terbebani harga tiket pesawat yang mahal.
Posisi BUMN yang dilematis diantara 2 (dua) produk UU yang tidak saling mendukung penguatan BUMN sebagai PSO dan sebagai korporasi yang berorientasi laba (profit oriented) harus segera diakhiri. Sebab, dalam jangka panjang bukan tidak mungkin BUMN justru tidak hanya akan kesulitan dalam menjalankan operasinya, tetapi juga akan semakin sulit mengembangkan usahanya secara korporatis dalam membangun industri migas dan energi alternatif lainnya dari kemampuan modal sendiri. Apabila hal ini yang terjadi, maka negara yang akan merugi karena tidak dapat deviden yang signifikan sebagai alokasi penerimaan negara untuk anggaran pembangunan, dan bisa jadi ketergantungan terhadap utang semakin akut. Tentu Presiden takkan membiarkan hal ini sampai terjadi di masa datang.
*Ketidaklogisan Pajak BUMN*
Selain dari penurunan harga jual avtur eceran yang sudah lebih murah dibanding bandara-bandara luar negeri lainnya di ASEAN, beberapa negara di Asia dan Australia, maka sebagaimana yang pernah kami sampaikan di berbagai media bahwa beban pajak BUMN, khususnya Pertamina akan menjadi salah satu komponen yang membuat kontribusi laba Pertamina akan berkurang. Berkurangnya laba Pertamina akibat penurunan harga avtur eceran di dalam negeri harus dicarikan solusinya agar Pertamina tak menghadapi kendala untuk melakukan operasionalisasi usaha, seperti membayar gaji karyawan, membayar cicilan utang dan aksi korporasi mengembangkan bisnis intinya (core business). Salah satu yang paling mungkin dan.logis untuk dihapuskan adalah beban pajak yang dikenakan pada BUMN, seperti Pajak Penjualan (PPn), Pajak Penghasilan (PPh) yang persentasenya 10 persen. Selain pajak ini, Pertamina juga dibebankan iuran BPH dan truput fee yang dibayarkan ke PT. Angkasa Pura yang juga signifikan menambah pengurangan laba secara periodik. Seharusnya melalui sinergi antar BUMN seperti apa yang sudah dilakukan oleh Pertamina terhadap kesulitan yang dihadapi oleh Garuda Indonesia dapat menjadi alasan untuk menghapus beban ini ke Pertamina.
Selanjutnya, jika mengacu pada kepemilikan negara (saham) atas BUMN, maka pengenaan pajak pada BUMN adalah tidak tepat dan masuk akal (unreasonable). Bagaimana mungkin perusahaan milik negara kemudian dikenakan pajak sendiri oleh negara yang dalam hal ini pemerintah. Seharusnya, BUMN selain menjalankan PSO yang bebannya tidak ringan, maka pemerintah harus mengkompensasinya (trade off) dengan penghapusan beban pajak. Tidaklah logis pajak dibebankan pada BUMN, sementara juga dibebankan PSO dan dividen yang tak diberlakukan pada Persereon Ternatas (PT) atau korporasi swasta.
Dalam perspektif fluaktuasi harga keekonomian minyak dunia, ada baiknya Presiden membentuk sebuah otoritas yang dapat mengelola soal kenaikan dan penurunan harga produk dan atau jasa dalam industri secara sektoral sehingga tidak muncul kartel atas harga-harga yang memberatkan konsumen, seperti kasus mahalnya tiket pesawat ini. Lembaga ini adalah lembaga independen seperti Dewan Indeks Harga Konsumen seperti di negara Amerika Serikat (USA) yang memilki otoritas dan memberi masukan kepada Presiden, sebagaimana halnya peran yang telah dilakukan selama ini oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dalam menerima keluhan para konsumen, akan tetapi dengan memberikan wewenang yang diperluas.
Terhadap “ancaman” untuk mengajak swasta masuk dalam bisnis avtur ini dengan menuding monopoli Pertamina meminjam kewenangan Presiden, telah terbukti bahwa perusahaan baru dibidang migas khususnya avtur, yaitu AKR yang bekerjasama dengan British Petroleum (BP) akan membuka layanan usaha ini. Dengan melihat kepentingan swasta yang diemban, maka Presiden harus memastikan bahwa orang per orang atau kelompok. kepentingan bisnis di cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak dengan “menekan” posisi Presiden dan BUMN yang dijamin oleh konstitusi tidak hanya memperhatikan kepentingan keuntungan dirinya sendiri dan mengabaikan kesejahteraan dan hak orang banyak.